Perdebatan Raja Milinda (Ringkasan Milinda Panha) |
||
oleh: Bhikkhu Pesala |
Pendahuluan |
Milinda Panha merupakan buku kuno muktabar tentang Buddhisme yang benar-benar dianggap tinggi sehingga dimasukkan oleh orang Burma di dalam Kitab Suci Pali Canon. Di dalam buku Palinya dikatakan bahwa percakapan antara Raja Milinda dengan Nagasena terjadi 500 tahun setelah Sang Buddha parinibbana. T.W. Rhys David —penerjemah yag terhebat untuk buku-buku Pali, mengganggap buku ini sangat bagus.
Beliau mengatakan, "Saya berani mengatakan bahwa 'Pertanyaan Raja Milinda' ini jelas merupakan karya terbaik untuk prosa India; dan benar-benar buku terbaik di kelasnya dipandang dari sudut kesusastraan, yang telah diproduksi di negara manapun juga".
Gaya Milinda Panha sangat mirip dengan dialog Platonik, dimana Nagasena memainkan peran sebagai Socrates dan menang berdebat dengan Raja Milinda dalam sudut pandang Buddhis, karena penalarannya yang sehat dan perumpamaannya yang pas. Si pengarang memang tidak dikenal, tetapi hampir dapat dipastikan dia dahulu hidup di India Barat Laut atau di Punjab, karena dia sama sekali tidak menyebutkan suatu tempat di India bagian Selatan Sungai Gangga. Dan ini didukung oleh keterangan yang ada tentang Raja Menander, raja orang-orang Bactria yang dikenal sebagai Milinda.
Banyak yang diketahui tentang Raja Menander. Sejumlah besar mata uang koinnya telah ditemukan di daerah yang luas di bagian India Utara, sampai sejauh Kabul di sebelah Barat, Mathura di sebelah Timur serta Kashmir di sebelah Utara. Gambar di koinnya seringkali merupakan seorang laki-laki muda, atau kadang-kadang juga seorang laki-laki yang sangat tua.
Plutarch mengatakan, "Menander adalah seorang raja yang terkenal karena keadilannya, dan sangat dekat dengan rakyatnya. Sehingga pada waktu dia meninggal, yang terjadi di suatu camp, berbagai kota berebut untuk memiliki abunya. Pertengkaran itu diselesaikan dengan kesepakatan semua wakil dari kota-kota itu untuk membagi reliknya, dan kemudian mereka mendirikan monumen-monumen untuk mengenang sang raja".
Satu penemuan yang diterbitkan belakangan ini menulis tentang harta kekayaan Mir Zakah yang mengkonfirmasikan kepemimpinan Menander di Ghazni dan daerah-daerah sekitarnya di Lembah Kabul sebelah Utara (ada 521 mata uang Menander dalam harta peninggalan itu). Penemuan Attic Tetradrachm Menander akhirnya menyelesaikan spekulasi itu. Dia pasti telah memerintah di daerah Kabul. Di sebelah Utara dia menduduki Hazara dan Lembah Swat. Jadi Menander adalah satu dari raja-raja Yunani yang terus berada di Bactria melanjutkan kekuasaan Yunani yang didirikan oleh Alexander Agung, dan Menander adalah salah satu raja yang paling penting. Mungkin dia bertahta dari kira-kira 150 SM sampai 110 SM (jadi percakapan ini terjadi tidak lebih dari 400 tahun sesudah Sang Buddha parinibbana). Strabo mengingatkan tentang kehebatan cara kerajaan Bactria mengembang keluar dari batas mulanya, dan dia secara kebetulan juga menyebutkan bahwa raja yang terutama bertanggung jawab untuk perluasan itu adalah Demetrius dan Menander.... Tetapi dibanding Demetrius, Menander memberikan tanda yang jauh lebih dalam pada tradisi India.
Menander merebut Delta Indus, peninsula Surastra (Kathiavar), menduduki Mathura di Jumna, menyerbu Madyamika (Nagari dekat Chitor) dan Saketam di Selatan Oudh, serta mengancam ibukotanya —Pataliputta. Tetapi penyerbuan itu dipukul mundur dan Menander dipaksa kembali ke negaranya sendiri. Karena rakyat Bactria kemudian menjadi Buddhis maka dapat dipastikan bahwa Raja Menander benar-benar adalah King Milinda yang diacu di dalam buku itu. Namun ada juga kemungkinan bahwa percakapan itu merupakan alat sastra yang digunakan oleh pengarang untuk menambahkan daya tarik pada apa yang pada mulanya merupakan eksposisi doktrin Buddhis, dan merupakan sangkalan terhadap pandangan salah yang selama itu telah disebarluaskan oleh mereka yang memusuhi Buddhisme.
Cerita pembukaan dalam Milinda Panha yang berkenaan dengan masa muda Nagasena juga hampir identik dengan cerita tentang Mogaliputta Tissa muda yang diceritakan dalam Mahavamsa, Kronik Ceylon. Mogaliputta Tissa Thera hidup kira-kira 100 tahun sebelum Menander dan disebutkan dua kali di dalam teks (Miln.hal.3,71) sehingga mungkin saja cerita inilah yang lebih tua. Tetapi, Mahavamsa ditulis jauh sesudahnya oleh Mahanama pada permulaan abad ke 4 M, sehingga cerita itu mungkin saja telah dipinjam oleh Mahanama dari buku Milinda Panha, yang pada waktu itu merupakan kitab suci yang diedit oleh Buddhaghosa (Dalam Milinda Tika —uraian tentang Milinda Panha, dinyatakan bahwa beberapa syair dalam prolog dan epilog dalam Milinda Panha dikarang oleh Buddhaghosa).
Dari percakapan yang dianggap terjadi antara Milinda dengan Purana Kassapa, Makkhali Gosala dan beberapa pertapa lain, jelas terlihat bahwa cerita perkenalan ini hanya karangan belaka, karena pertapa-pertapa ini sejaman dengan Sang Buddha. Cerita ini didasarkan pada Samanaphala Sutta dari Digha Nikaya. Tetapi ada satu perbedaan yang patut dicatat. Di dalam Samanaphala Sutta, Pangeran Ajatasattu mengunjungi Sang Buddha tetapi tidak bisa mengenalinya; sementara dalam pendahuluan di Milinda Panha, Raja Milinda berkata tentang Nagasena, "Tidak perlu menunjukkan dia kepadaku". Jadi Raja Milinda tampak lebih tinggi daripada Pangeran Ajatasattu.
Bangkitnya Kerajaan Magada
Di dalam Mahaparinibbana Sutta, Sang Buddha meramalkan bahwa kota Pataliputta, yang dibangun persis sebelum kemangkatannya, akan menjadi kota besar.
"Ananda, dari antara kota dan kota besar yang kini merupakan pusat komunikasi dan perdagangan suku Aria, kota yang baru ini akan menjadi kota terbesar yang disebut Pataliputta, suatu tempat dimana barang-barang dibongkar, dijual dan didistribusikan. Tetapi kota ini akan mengalami bahaya banjir, api, dan pertikaian dari dalam" (D.ii.87,88). Kerajaan Magadha, yang beribukota Pataliputta (Patna Modern), lama kelamaan menjadi kota yang paling berkuasa di seluruh India.
Di pertengahan abad ke 4 SM seorang Sudra bernama Mahapadma Nanda merampas tahta Kerajaan Magadha dan menguasai kerajaan yang membentang dari Sungai Brahmaputra di sebelah Timur sampai ke Beaz di sebelah Barat. Tetapi di seberang Sungai Beaz ada beberapa kerajaan kecil.
Pada periode yang sama itulah Alexander Agung menguasai Persia dan menyeberangi Hindu Kush untuk masuk ke Bactria (Afganistan Utara). Dibutuhkan waktu 2 tahun untuk menaklukkan daerah yang tidak ramah ini, tetapi waktu melakukan hal itu Alexander Agung mendirikan juga beberapa kota yang menembus jauh ke Utara sampai ke Samarkand dan Leninabad (di USSR). Ada juga kota lain yang telah diidentifikasikan di Charikar (sebelah Utara Kabul). Setelah mendengar tentang Sungai Indus, Alexander Agung kembali menyeberangi Hindu Kush pada tahun 327 SM dan terus mendesak ke Taxila (Takkasila) di sebelah Timur. Tetapi ketika dia sampai di Sungai Jhelum, dia dihadang Raja Paurava yang mempunyai gajah-gajah perang. Bahkan para veteran Macakadonia pun tidak mampu melawan musuh seperti itu. Maka Alexander terpaksa mundur sampai ke Sungai Indus untuk kemudian kembali melalui Persia dimana dia meninggal di Babylon pada 323 SM. Walaupun demikian dia telah meninggalkan fondasi Kerajaan Bactria dan telah menjelajah Sungai Jhelum dan Sungai Indus.
Setelah kematian Alexander, Chandragupta —pendiri Dinasti Maurya, dapat mengusir garnisum Yunani dari Lembah Indus. Pada tahun 321 SM dia mengalahkan Nanda dan menguasai Kerajaan Magadha dari ibukotanya Pataliputta. Penerus Alexander —Seleukos I Nikator, memimpin suatu ekspedisi melawan orang-orang India pada tahun 311 SM dengan harapan merebut kembali daerah Punjab. Tetapi dia terhalang kekuasaan Chandragupta. Pada tahun 304 SM Seleukos dengan senang hati menanda-tangani suatu persetujuan dengan Chandragupta, dan memberikan anak perempuannya untuk dinikahi dan bahkan juga memberikan daerah-daerah yang luas, yang sekarang menjadi Baluchistan dan Afganistan, sebagai alat tukar untuk 500 gajah perang. Seleukos mengirimkan duta besarnya —Magasthenes, ke Pataliputta. Dilihat dari peninggalan tulisannya, kita mengetahui tentang besarnya pasukan dan kekuatan pertahanannya di sana. Chandragupta memerintah selama 24 tahun. Lalu anaknya —Bindusara, yang tidak banyak kita ketahui, memerintah selama 28 tahun sampai meninggalnya di tahun 269 SM.
Pada saat kematian Bindusara, putra tertuanya sudah menjadi raja muda di Takkasila, sedangkan putranya yang kecil —Asoka, adalah raja muda di Ujjeni di sebelah Selatan. Asoka bertempur dengan saudara lelakinya memperebutkan hak untuk bertahta dan saudara lelakinya terbunuh dalam pertempuran itu. Asoka kemudian menjadi penguasa kerajaan yang besar, dari Bengala sampai ke Afganistan. Walaupun demikian dia tetap masih belum puas. Tetapi setelah sembilan tahun bertahta, setelah pertempuran berdarah merebut Kerajaan Kalinga (Orissa), Asoka meninggalkan peperangan dan menjadi pengikut Buddhisme yang taat. Kaisar Asoka mengirimkan utusan-utusan bhikkhu ke daerah tapal batas kekaisarannya yag luas. Banyak prasasti Asoka yang telah diketemukan di Lembah Kabul yang ditulis dalam bahasa Yunani dan Aramaik. Dan dimana-mana, prasastinya menyebutkan bahwa dia telah berhasil menyebarkan Dhamma di Mesir, Siria, Macadonia, Yunani, Cyprus, Bactria, Kashmir, Gandhara, dan sebagainya. Mahavamsa mengatakan bahwa banyak utusan yang dikirimkan ke Kashmir, Gandhara, Bactria, Himalaya, Sindh (Gujarat). Prasasti pada tempat penyimpan relik yag diketemukan dalam stupa-stupa Sanci menyatakan keberhasilan misi itu ke Pegunungan Himalaya. Sungguh disayangkan bahwa catatan-catatan stupa yag lain telah dirusak. Namun dapat kita pastikan keberhasilan misi ke Kashmir dan Gandhara, karena bahkan di jaman Sang Buddha-pun Takkasila merupakan pusat belajar yang terkenal. Mahavamsa juga mencatat bahwa pada peresmian Stupa Agung di tahun 157 SM, para bhikkhu datang dari Alasanda (Charika) di Yonas (Bactria).
Bangkitnya Kerajaan Bactria
Setelah Asoka mangkat pada tahun 227 SM, kekaisaran Maurya mulai terpecah-pecah. Pada tahun 250 SM meletus pemberontakan dari kekaisaran yang didirikan oleh Seleukos, di bawah pimpinan gubernurnya —Diodutus I. Kekaisaran itu terus berkembang di bawah penggantinya —Diodotus II dan Euthymus. Pada permulaan abad 2 SM, para penguasa Yunani dari Kerajaan Bactria baru menyeberangi Hindu Kush dan mulai menyerbu India dari Barat Laut. Di antara raja-raja Yunani yang berkuasa sampai di sebelah Selatan Kush, kelihatannya Apollodotus-lah raja yang pertama. Dua kali dia disebutkan berhubungan dengan Menander. Kekuasaan mereka berkembang ke Barat Daya sampai Ariana (Afganistan Selatan) dan ke Selatan sampai Lembah Indus.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, Menander pasti telah berkuasa di Lembah Kabul dan Swat dan pada suatu saat dia juga mencaplok Lembah Indus. Sagala —kota yang disebutkan dalam Milinda Panha sebagai tempat dimana percakapan itu terjadi, adalah kota kuno orang-orang Madra yang sampai di daerah itu kira-kira pada abad 6 SM. Sekarang kota itu disebut Sialkot, yang terletak di antara Sungai Chenab dan Ravi, dekat perbatasan Kashmir. Di buku Milinda Panha halaman 83, disebutkan bahwa Kashmir berjarak 12 Yojana (84 mil) dan bahwa tempat kelahiran Milinda adalah di Pulau Alasanda, yang jaraknya 200 Yojana dari situ. Ada banyak kota yag didirikan oleh Alexander selama penaklukkan itu, yang di antaranya mungkin merupakan tempat kelahiran Menander. A.K. Narain telah menyarankan kota yang didirikan di Charikar, tetapi jaraknya kurang dari 200 Yojana (1400 mil) dari perkiraan lainnya. Ataukah mungkin itu kota Alexandra yag terletak di Leninabad atau salah satu kota-kota Alexandra yang terletak lebih jauh lagi di Barat?
Bagaimana pun juga, dari bukti-bukti yang ada dapat kita perkirakan bahwa Menander lahir di Bactria tetapi dibesarkan di Ariana (Lembah Kabul), dan bahwa di tahun-tahun pertama pemerintahannya dia mengembangkan kerajaan ayahnya sampai ke Lembah Indus dan lebih jauh lagi, untuk kemudian mungkin mendirikan ibukota di Sagala. Tidak seperti Bactria yang banyak sekali dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani, daerah-daerah baru ini sudah Buddhis. Pada waktu itu, Menander telah banyak dididik dalam tradisi Yunani tetapi juga telah mengenal Buddhisme. Tak pelak lagi Menander pasti sering menjumpai para bhikkhu yang hidup di kerajaannya. Walaupun demikian, kelihatannya agak tidak mungkin kalau pengetahuannya tentang doktrin Buddhisme cukup untuk dapat mengadakan dialog seperti yang ditulis dalam Milinda Panha. Di situ Milinda tampak memiliki pengetahuan yang luas tentang teks yang ada. Saya berpendapat bahwa pengarangnya paling-paling telah bertemu sebentar dengan Menander, dan mungkin sekali dia mendasarkan karyanya ini pada tradisi dialog lisan. Kemudian dia menggunakan pengetahuannya sendiri yang luas untuk mengembangkan dialog itu menjadi karya yang panjang, yang dapat kita nikmati sekarang ini. Mungkin dia menggunakan dialog sebagai alat untuk menambah daya tarik pada risalatnya. Dan untuk menyenangkan hati raja Yunani itu, dia membuat raja sebagai salah satu tokoh utamanya.
Hipotesis ini mendapat dukungan dari terjemahan bahasa China yag hanya terdiri dari 3 bagian pertama yang hampir identik dengan teks Pali dalam pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, tetapi berbeda dalam cerita pendahuluannya. Dalam hal ini, kedua-duanya tidak tampak otentik.
Perbandingan Dengan Teks China
Sebagaimana telah ditunjukkan oleh V. Trenchner ketika dia menyalin teks Pali di tahun 1860-an, dapat kita pastikan bahwa Milinda Panha yang asli tertulis dalam bahasa Sansekerta karena permulaannya adalah "Tam yatha nusuyata" (demikianlah telah diturunkan), dan bukannya "Evam me sutam" (demikianlah yang telah saya dengar). Dan hal ini dipastikan oleh adanya terjemahan teks ke dalam bahasa China, yang menunjukkan beberapa perbedaan yang patut dicatat, walaupun jelas sumbernya sama.
1. | Dalam tiga bagian pertama, versi China sama dengan versi Pali, dan ini menunjukkan bahwa empat bagian lain (Dilema, Pertanyaan Yang Terjawab Dengan Kesimpulan, Praktek Pertapa, Dan Perumpamaan) merupakan tambahan kemudian. |
2. | Karya bahasa China —Nagasena-bhikkhusutra, mengambil nama sang bhikkhu; sementara karya bahasa Pali —Milinda Panha, mengambil nama sang raja. |
3. | Karya bahasa Pali mempunyai dua belas pertanyaan ekstra. |
4. | Cerita-cerita kehidupan lampau Nagasena dan Milinda tidak sama. |
5. | Versi China tidak menyebutkan Abhidhamma; sementara hal itu sering disebutkan dalam versi Pali. |
6. | Pada klasifikasi Bodhipakkhiya Dhammas yang sangat terkenal, penerjemah China melenceng dalam beberapa istilah, dan ini menunjukkan bahwa dia tidak terbiasa dengan teks Pali. |
7. | Versi Pali mengatakan bahwa binatang mempunyai akal tetapi tidak mempunyai kebijaksanaan; versi China mengatakan bahwa binatang mempunyai kebijaksanaan tetapi hatinya berbeda. |
Walaupun ada banyak perbedaan kecil di antara dua teks itu, hubungan yang erat antara perumpamaan-perumpamaan yang digunakan untuk menerangkan istilah yang didefinisikan, serta urutan pertanyaannya, membuat kita yakin bahwa keduanya adalah terjemahan karya yang lebih tua (mungkin dalam bahasa Sansekerta). Tetapi kita harus hati-hati menyimpulkan: yang mana yang lebih otentik. Bhikkhu Thich Mihn Chau, dalam usahanya membuktikan keantikan karya asli yang mendasari terjemahan China, menyatakan bahwa karya itu ditulis segera setelah Sang Buddha mangkat. Beliau menunjukkan tidak adanya klasifikasi teks ke dalam Vinaya, Sutta, Abhidhamma dan Nikaya, yang didefinisikan dengan baik baru pada Konsili Ke Tiga, sementara Menander baru lahir lebih dari 100 tahun setelah konsili ini. Jadi, jelas bahwa "yang asli" tidak dibuat sebelum abad pertama SM. Jangka waktu yang panjang sebelum terjemahan-terjemahan itu muncul pada sekitar tahun 400 M, merupakan waktu yang cukup lama untuk melakukan berbagai penambahan dan amandemen, atau penghilangan dan pengosongan.
Melihat alasan-alasan yang telah disebutkan di atas dan fakta bahwa percakapan dalam Milinda Panha dikatakan terjadi kira-kira 500 tahun setelah Sang Buddha mangkat, sementara Menander hidup paling tidak 100 tahun lebih awal, maka kemungkinan besar Milinda Panha dikarang beberapa waktu setelah kematian Menander. Mungkin saja karya itu berdasar pada tradisi lisan dari percakapan yang benar-benar terjadi antara Menander dengan satu atau beberapa bhikkhu.
Penerus Menander —Ratu Agathocleia dan Strato I Soter, melanjutkan tahta kerajaan sampai setidak-tidaknya 40 tahun setelah kematian Menander. Tetapi kehidupan mereka menyaksikan munculnya dinasti baru di India Barat, yaitu Dinasti Saka (Scythia) dan Yueh-Chih dari Asia Tengah. Lalu Era Bactria Yunani pun berakhir.
Penyusunan Buku Pali
Epilog mengatakan bahwa buku itu terbagi dalam 6 bagian dan 22 bab yang berisi 262 pertanyaan, sementara 42 pertanyaan lagi belum diturunkan, jadi semuanya sebenarnya berjumlah 304. Tetapi sungguh sulit melihat bagaimana ini dihitung. Ada banyak ketidak-cocokan hitungan dalam teks, walaupun hal ini mungkin sudah dapat diduga karena karya itu sudah sangat tua.
Sekarang ini hanya ada 237 pertanyaan. Dalam menomori bab saya mengikuti urutan teks Pali-nya. Hanya saja saya telah memasukkan 7 bab terakhir ke dalam bab 17.
Dalam edisi Milinda Panha ini, walaupun saya telah mengikuti susunan seperti dalam teks Pali, banyak perumpamaan yang saya hilangkan. Dan yang panjang-panjang (walaupun indah) saya singkat, namun saya harap hal ini tidak merusak keindahan karya aslinya. Tujuannya adalah agar buku ini cukup padat dan lebih menarik bagi pembaca negara-negara Barat yang sibuk. Buku ini adalah suatu ringkasan, bukan terjemahan, dan karena itu di sana-sini saya menggabungkan beberapa alinea menjadi satu agar menjadi ringkas. Walaupun demikian saya tetap berusaha menyesuaikan dengan maksud pengarang aslinya, yang merupakan penjelasan ajaran Sang Buddha dan uraian tentang beberapa konsep salah yang mungkin menyesatkan.
Referensi yang diberikan dalam catatan kaki adalah nomor halaman teks Pali dari Pali Text Society. Dalam terjemahannya, nomor-nomor halaman ini diberikan dalam tanda kurung di bagian atas kiri, atau di dalam tubuh teks pada buku Vinaya dan Jataka.
Untuk membantu mereka yang ingin mengetahui kata Pali yang diterjemahkan (yang kadang-kadang berbeda dengan terjemahan Rhys Davids atau Miss Horner), saya sertakan kata-kata Pali di bagian Appendix. Saya juga telah menyusun Daftar Kutipan Kitab Suci yang diberikan pengarang Milinda Panha dan beberapa bacaan lain yang hanya terdapat di Milinda Panha, yang mungkin menarik untuk dipelajari lebih lanjut.
Bagi mereka yang belum terbiasa dengan terminologi Buddhis, saya telah menyertakan Appendix Istilah-istilah Pali dengan penjelasan singkat mengenai maknanya.***
Sumber: |
Perdebatan Raja Milinda (Ringkasan Milinda Panha), Bhikkhu Pesala; Kaliyani Kumiayi SE, Dra.Sujata Lanny Anggawati, Dra.Yasodhara Wena Cintiawati (alih bahasa); Bhikkhu Uttamo (editor); Sangha Theravada Indonesia, 1995. |