Suruci Jataka |
Sumber Asli: JATAKA STORIES; Diterjemahkan dari Bahasa Pali oleh Profesor E.B. Cowell |
Kisah ini diceritakan Sang Buddha ketika tinggal lama di Savatthi di rumah Ibu Migara yang besar. Kisah ini berkenaan dengan bagaimana Visakha menerima Delapan Anugerah.
Satu hari Visakha mendengar pembabaran Dhamma di Jetavana. Pada akhir pembabaran ia mengundang Sang Buddha beserta pengikutnya untuk datang ke rumahnya pada hari berikutnya. Tetapi malam itu angin ribut yang besar membanjiri empat benua di dunia.
Sang Buddha berkata kepada pengikut-pengikutnya, "Sebagaimana hujan turun di Jetavana, demikian pula o para pertapa, hujan turun di empat benua. Biarkan dirimu basah sampai ke kulit-kulit. Ini adalah badai besar dunia yang terakhir bagi-Ku".
Maka dengan para pertapa yang basah kuyup, dengan kekuatan-Nya Ia menghilang dari Jetavana dan muncul pada sebuah ruangan di rumah besar Visakha.
Melihat Sang Buddha, Visakha berteriak, "Sungguh-sungguh mukjizat! Mengherankan! O... keajaiban telah dilakukan oleh kekuatan Sang Tathagata! Dengan banjir sebatas lutut, ya, setinggi pinggang, tidaklah membasahi kaki atau jubah Sang Tathagata!"
Dengan senang dan gembira dia melayani Buddha dan seluruh rombongannya. Setelah selesai makan ia berkata kepada Buddha, "Saya sangat membutuhkan anugerah dari tangan Yang Terbekahi".
"Visakha, Tathagata mempunyai anugerah yang tak terhingga".
"Tetapi seperti apa yang dibolehkan, seperti apa yang tidak menyalahkan?"
"Bicaralah, Visakha!"
"Saya butuh agar sepanjang hidup, saya boleh mempunyai kebenaran untuk diberikan kepada pengikut-pengikut Buddha di waktu musim hujan, makanan untuk semua yang datang sebagai tamu, makanan untuk perjalanan para pendeta, makanan untuk yang sakit, makanan untuk mereka yang menunggui orang sakit, obat-obatan untuk yang sakit, pembagian besar yang terus menerus, serta menyediakan pakaian".
Sang Buddha menjawab, "Karunia apa yang kamu maksud, Visakha, ketika kamu meminta delapan anugerah ini kepada Tathagata?"
Visakha mengatakan kepada Sang Buddha kebaikan yang diharapkannya dan Sang Buddha berkata, "Baiklah Visakha, itu tentu baik, bahwa kebaikan itulah yang kamu harapkan ketika meminta delapan anugerah dari Tathagata. Saya janjikan delapan anugerah itu".
Suatu hari ketika Sang Buddha tinggal di Taman Timur, para pengikut Buddha mulai membicarakan Visakha di Ruang Kebenaran, "Saudaraku, walaupun Visakha seorang wanita, ia menerima delapan anugerah dari tangan Dasabala. Akh... betapa mulia ia".
Sang Buddha datang dan menanyakan apa yang mereka bicarakan. Mereka menceritakannya. Sang Buddha menjawab, "Tidak hanya kali ini saja Visakha menerima anugerah dari-Ku, ia pernah menerimanya pada masa yang lalu". Lalu Sang Buddha menceritakan kisah masa lampau tersebut.
---
Suatu ketika Raja Suruci memerintah di Mithila. Putranya bernama Suruci Kumara. Ketika dewasa ia belajar di Takkasila. Ia pergi ke sana dan beristirahat di halaman gerbang kota. Saat itu putra raja Benares bernama Pangeran Brahmanadatta pergi ke tempat yang sama dan duduk pada bangku yang sama yang diduduki Pangeran Suruci. Mereka kemudian berteman dan berangkat bersama-sama menemui sang guru dan belajar di sana bersama-sama.
Dalam waktu singkat pelajaran mereka selesai. Mereka mohon diri kepada sang guru dan berangkat bersama. Pada satu persimpangan, dimana jalan memisah, mereka berpelukan dan untuk menjaga hubungan persahabatan, mereka saling berjanji, "Jika saya memiliki seorang putra dan kamu seorang putri atau sebaliknya, kita akan menikahkan mereka".
Setelah mereka duduk di singgasana kerajaan masing-masing, Raja Suruci mempunyai seorang putra bernama Pangeran Suruci. Brahmadatta mempunyai seorang putri bernama Sumedha, wanita yang bijaksana. Pangeran Suruci ketika dewasa belajar di Takkasila dan setelah menamatkan pelajarannya ia kembali ke tempat ayahnya. Ayahnya bermaksud menobatkan putranya sebagai raja dengan upacara yang meriah dan berpikir, "Sahabatku Raja Benares mempunyai seorang putri, saya akan menjadikannya istri anakku". Untuk tujuan ini ia mengirimkan utusan dengan mas kawin yang mahal-mahal.
Tetapi sebelum mereka tiba, Raja Benares bertanya kepada permaisurinya, "Istriku, hal apakah yang paling merupakan penderitaan bagi seorang wanita?"
"Bertengkar dengan istri-istri suaminya".
"Jadi istriku, untuk menyelamatkan Putri Sumedha, anak kita satu-satunya dari penderitaan ini, kita hanya akan menikahkannya dengan laki-laki yang hanya mempunyai ia dan hanya ia seorang sebagai istri".
Maka ketika utusan Raja Suruci Kumara datang mengajukan lamaran, sang raja menjawab, "Teman yang baik, sungguhpun benar saya menjanjikan putri saya kepada sahabat saya dulu, tetapi kami tidak berharap melemparkannya ke tengah kerumunan perempuan. Kami hanya akan memberikannya kepada ia yang mau menjadikannya sebagai istri satu-satunya".
Pesan ini disampaikan kembali kepada Raja Suruci, tetapi raja menjadi tidak senang, "Kerajaan kita adalah kerajaan yang besar, kota-kota Mithila meliputi tujuh liga, sedangkan ukuran seluruh kerajaan adalah tiga ratus liga. Raja seperti itu tentunya mempunyai enam belas ribu wanita pada akhirnya".
Tetapi Pangeran Suruci yang mendengar bahwa Sumedha sangat cantik, jatuh cinta hanya dari mendengar kecantikannya saja. Maka berkatalah ia kepada orang tuanya, "Saya hanya akan menikahi Putri Sumedha dan tidak dengan yang lainnya. Dengannya ia di sisiku, apa manfaatnya lagi perempuan-perempuan yang lain? Bawakanlah ia untukku".
Mereka tidak menolak keinginannya untuk mengirimkan sejumlah besar hadiah dan utusan yang baik untuk mengambil Sumedha. Selanjutnya Putri Sumedha dinobatkan menjadi permaisuri Raja Muda Suruci dengan pesta yang sangat meriah.
Setelah mewarisi kerajaan ayahnya, Raja Suruci muda memerintah dengan adil dan hidup sangat berbahagia dengan istrinya. Tetapi walaupun telah tinggal di istana selama sepuluh ribu tahun, mereka tidak dikaruniai seorang anak pun.
Suatu hari seluruh rakyat kota berkumpul bersama di halaman gedung istana sambil marah-marah.
"Ada apa ini?" Raja bertanya pada mereka.
Mereka berkata, "Kami tidak menemukan kesalahan, tetapi Baginda tidak mempunyai anak untuk menjaga garis keturunan. Paduka hanya mempunyai seorang ratu. Seorang raja kerajaan besar seharusnya mempunyai enam belas ribu perempuan pada akhirnya. Pilihlah sejumlah wanita, rajaku, beberapa istri yang subur akan memberimu putra".
"Rakyatku yang baik, apa yang kalian katakan ini? Saya telah berjanji hanya akan memperistrikan Putri Sumedha dan tidak yang lainnya, dengan cara itulah saya memperoleh dia. Saya tidak dapat ingkar, tidak akan ada sejumlah perempuan lain untukku". Demikianlah raja menolak permintaan rakyatnya.
Tetapi Sumedha mendengar apa yang dikatakan suaminya.
"Raja menolak selir-selir untuknya demi kebenaran", pikirnya, "Baiklah, saya akan mencarikan untuknya beberapa orang perempuan".
Berperan sebagai ibu negeri dan permaisuri raja, ia memilih dari lingkungannya sendiri seribu gadis dari kasta ksatria, seribu dari anggota istana, seribu putri dari keluarga rumah tangga biasa, seribu dari gadis-gadis penari, empat ribu seluruhnya, diantarkannya kepada sang raja.
Mereka semua tinggal di istana selama sepuluh ribu tahun, dan tidak seorang putra atau putripun mereka lahirkan. Dengan cara yang sama Sumedha membawa lagi empat ribu gadis sebanyak tiga kali lagi. Tetapi mereka tidak dikaruniai seorang anakpun. Jadi dia telah membawa seluruhnya enam belas ribu wanita.
Empat puluh ribu tahun berlalu, atau lima puluh ribu tahun terhitung sejak Sumedha menikah. Rakyat kota datang berkumpul lagi dengan celaan dan kemarahan.
"Ada apa lagi sekarang?" Raja bertanya.
"Rajaku, perintahkan istri-istrimu untuk berdoa memohon seorang putra".
Raja mengabulkan permintaan mereka. Demikianlah, semua perempuan raja memohon seorang putra dengan segala macam bentuk pemujaan dan membuat bermacam janji, tetapi tak seorang anakpun lahir. Kemudian raja memerintahkan Sumedha untuk memohon seorang putra, Sumedha mengabulkannya. Pada hari kelima belas ia berpuasa, ia melaksanakan hari istirahat kedelapan dan duduk bermeditasi dalam sebuah ruang yang besar, di atas dipan yang nyaman. Para wanita lainnya, berada di taman, berjanji melakukan pengorbanan dengan kambing dan binatang lainnya. Dengan kekuatan kebijaksanaan Sumedha, tempat tinggal Dewa Sakka mulai bergetar.
Dewa Sakka merenungkan dan mengerti bahwa Sumedha berdoa untuk mendapatkan putra.
"Baiklah ia akan mendapat seorang putra, tetapi saya tak dapat segera memberinya. Saya akan mencari seseorang yang cocok untuknya".
Kemudian ia melihat seorang dewa muda bernama Nalakara, seorang penganyam keranjang. Ia seorang makhluk yang terberkahi, yang pada kehidupan lampaunya tinggal di Benares.
Pada kehidupannya yang lampau, pada masa pembenihan, saat sedang dalam perjalanan ke ladang, ia bertemu dengan seorang Pacceka Buddha. Ia mengirimkan bawaannya dan meminta peladang lain menaburkan benih-benih tersebut, sedangkan ia sendiri kembali dan membawa pulang Pacceka Buddha, memberinya makan dan membawanya ke sungai Gangga. Ia dan anaknya membuat pondok dengan pondasi dari batang pohon Ara dan jalinan alang-alang untuk dindingnya. Sebuah pintu dan jalan setapak juga dibuat. Sekitar tiga bulan, Pacceka Buddha tinggal di sana dan setelah musim berlalu, mereka berdua, ayah dan anak, memberinya tiga jubah dan membiarkannya pergi.
Dengan cara yang sama ia melayani tujuh Pacceka Buddha di pondok tersebut, memberi mereka masing-masing tiga buah jubah sebelum mereka pergi. Orang-orang membicarakan bagaimana mereka berdua, ayah dan anak, menganyam keranjang, mencari udang-udang kecil di sungai Gangga dan bagaimana mereka melayani para Pacceka Buddha.
Ketika meninggal, mereka terlahir di surga ketiga belas, menikmati kekuasaan besar di antara para dewa. Mereka berdua setelah tinggal di surga tersebut, ingin mencapai alam dewa yang lebih tinggi. Sakka, yang merasa bahwa seorang dari mereka akan menjadi Tathagata, pergi ke kediaman mereka dan memberi salam ketika salah seorang dari mereka bangkit dan datang menemuinya. Ia kemudian berkata, "Tuan, kamu harus pergi ke alam manusia".
Tetapi ia berkata, "O... Raja, alam manusia penuh dengan kebencian dan memuakkan, mereka di sana melakukan kebaikan dan memberi dana hanya karena mereka menginginkan alam dewa. Apa yang akan saya kerjakan di sana?"
"Tuan, engkau akan menikmati kesempurnaan semua yang dapat dinikmati di dunia. Engkau akan berdiam di istana yang terbuat dari batu berharga, lima dan dua puluh liga beratnya. Janganlah menolak".
Ia akhirnya setuju. Setelah Sakka mendapatkan janjinya, dengan menyamar sebagai seorang bijaksana, ia turun ke taman kerajaan, dan memperlihatkan dirinya melayang di atas para perempuan sambil berujar, "Kepada siapa saya harus memberikan anak yang terberkahi, ia yang menginginkan berkah seorang anak?"
"Saya! Saya!" Ribuan tangan terangkat.
Kemudian Sakka berkata, "Saya memberikan seorang anak untuk setiap kebijaksanaan. Apakah kebijaksanaanmu? Bagaimana kehidupan dan kata-katamu?"
Mereka menurunkan kembali tangan mereka, dan berkata, "Jika anda menginginkan kebijaksanaan, carilah Sumedha!"
Dewa Sakka lalu melayang di udara di depan jendela kamar tidur Sumedha. Kemudian para wanita pergi dan memberi tahu Sumedha, "Ratu, seorang raja dewa telah datang, berdiri di depan jendela kamarmu, menawarkan anugerah seorang anak!"
Dengan penuh keanggunan, Sumedha berjalan ke sana, membuka jendela dan berkata, "Benarkah apa yang saya dengar ini, bahwa Anda menawarkan anugerah seorang anak pada seorang wanita bijaksana?"
"Benar!"
"Berikanlah pada saya!"
"Apakah kebijaksanaanmu? Katakan pada saya, jika kamu dapat menyenangkan saya, engkau akan mendapat anugerah!"
Kemudian untuk menyatakan kebijaksanaannya, ia mengucapkan lima belas baris syair berikut.
Saya permaisuri Raja Suruci, wanita pertama yang pernah ia nikahi. Dengan Suruci sepuluh ribu tahun perkawinan saya tempuh.
Suruci Raja Mithila, pemimpin Istana Videha; saya tak pernah mengabaikan keinginannya, bahkan mempertimbangkan maksud dan dasarnya; kesungguhan, pikiran dan ucapan, di belakangnya maupun di hadapannya.
Jika hal ini benar, o Yang Arya, bolehlah anak tersebut diberikan. Tetapi jika bibirku mengucapkan kebohongan, hancurkanlah kepalaku menjadi tujuh bagian.
Orang tua suamiku terkasih, sepanjang mereka berkuasa; dan sepanjang hidupnya, selalu memberi latihan jalan yang benar.
Keinginanku adalah untuk tidak membunuh satu kehidupanpun, dan ingin mengerjakan kebenaran. Saya melayani mereka tanpa penyesalan; siang dan malam.
Jika hal ini benar, dan seterusnya....
Tidak kurang dari enam belas ribu selir yang ada; o... Brahmana, tak pernah ada kecemburuan dan kemarahan di antara sesama.
Pada keberuntungan mereka hanya saya bersimpati, masing-masing adalah sahabat; hatiku lembut pada semua selir, seperti kepada diriku sendiri.
Jika hal ini benar, dan seterusnya....
Budak, pesuruh, pelayan dan semua yang ada di istana; saya beri mereka makan, saya perlakukan dengan baik, dengan wajah berseri.
Jika hal ini benar, dan seterusnya....
Pertapa, Brahmana dan semua yang meminta di sini, diperhatikan; saya memuaskan mereka dengan makanan dan minuman, tanganku penuh dengan cucian bersih.
Jika hal ini benar, dan seterusnya....
Hari kedelapan setiap minggu, keempat belas dan kelima belas; saya menjalani puasa, saya menjalani kehidupan suci.
Jika hal ini benar, o... Yang Arya, bolehlah anak tersebut diberikan; tetapi jika bibirku mengucapkan kebohongan, hancurkanlah kepalaku menjadi tujuh.
Sungguh, tidak ratusan bahkan tidak ribuan sajak, dapat mencukupi untuk melantunkan pujian akan kebijaksanaannya. Maka Sakka membiarkannya menyanyikan sendiri pujian-pujiannya. Bahkan dalam kelima belas baris syair ini ia tidak memotong, meskipun ia memiliki banyak hal yang harus dikerjakan di lain tempat, kemudian ia berkata, "Berlimpah dan mengagumkan kebijaksanaanmu". Dalam pujiannya ia mengucapkan sepasang syair.
Semua kebijaksanaan agung ini, kemuliaan, o... Putri Raja, ada pada dirimu, milikmu, kamu nyanyikan.
Seorang prajurit, lahir dari darah mulia, semua kemuliaan dan kebijaksanaan; kebenaran kerajaan Videha, putramu, akan segera muncul.
Ketika, kata-kata ini ia dengar, dengan kegembiraan besar, ia mengucapkan dua baris syair yang mengandung pertanyaan untuk Sakka.
Tak terpelihara, dipersuram debu dan kotoran, melayang tinggi di udara; kamu bicara dengan suara syahdu, menusuk hati.
Apakah Anda seorang dewa yang kuat, orang yang bijaksana, tinggal di surga yang tinggi? Katakanlah, kapan kamu datang, o katakanlah siapa Anda?
Sakka mengucapkan enam bait syair.
Sakka seratus mata melihat, untuk semua dewa memanggil, ketika mereka biasa berkumpul di ruang keadilan surga.
Ketika wanita mulia, bijaksana, dan penuh kebaikan, di sini, di dunia, ditemukan; istri-istri, untuk keramahan ibu suami, bahkan dalam ikatan tugas.
Ketika seorang wanita berhati bijaksana, dan kebaikan yang sungguh-sungguh mereka ketahui; baginya, meskipun wanita, mereka menghormat, juga para dewa.
Maka putri, melalui kehidupan berharga, menyimpan kebaikan yang sungguh-sungguh dikerjakan; seorang pangeran lahir, semua kebahagiaan hati dapat diinginkan, telah didapatkan.
Maka engkau mendapatkan kesungguhannya, pangeran, dengan keagungan dunia; dan setelah di alam dewa, seorang baru dan surgawi lahir.
O... yang bijaksana, yang terberkahi, hiduplah dan peliharalah tingkah laku baik; sekarang saya kembali ke surga, gembira oleh pandanganmu.
"Aku mempunyai urusan yang harus dikerjakan di alam dewa, karena itu saya pergi, tetapi kamu harus waspada", dengan nasihat ini ia pergi.
Pada satu pagi, Dewa Najakara menjelma di dalam kandungan Sumedha. Ketika Sumedha menyadarinya, ia menceritakan pada raja dan ia mengerjakan apa yang menjadi keperluan seorang wanita dengan anaknya. Pada akhir sepuluh bulan, Sumedha melahirkan seorang putra, dibeti nama Maha-panada. Rakyat kedua negara bergembira.
"O... Paduka, kami membawakan barang ini untuk uang susu anak laki-laki tersebut". Lalu masing-masing menjatuhkan sekeping mata uang di halaman istana, sampai menumpuk tinggi.
Raja tidak ingin menerimanya, tetapi ia tidak akan mengembalikan uang itu. Ia berkata setelah mereka pergi, "Saat putra tumbuh, uang ini akan digunakan untuk memeliharanya".
Sang putra hidup di tengah kebesaran. Ketika telah cukup usia, tak lebih dari enam belas tahun, ia telah sempurna dalam semua kepandaian. Raja memikirkan usia anaknya, berkata pada istrinya, "Istriku, ketika tiba saatnya untuk upacara pemberkahan anak kita, mari kita membuat tempat yang baik untuk kesempatan tersebut". Istrinya setuju.
Raja mengirim mereka yang memiliki keahlian dalam mencari sebuah tempat untuk sebuah bangunan. Ia berkata, "Saudara-saudaraku, carilah seorang tukang batu terbaik, dan buatkan sebuah istana tak jauh dari istanaku. Ini untuk putraku, kepada siapa kita akan menobatkan sebagai penggantiku". Mereka menyetujui, dan mulai memeriksa permukaan tanah.
Pada saat itu singgasana Sakka menjadi panas. Merasakan hal ini, ia saat itu juga memanggil Vissakamma.
"Pergilah Vissakamma, buatkan Pangeran Maha-panada sebuah istana, setengah liga panjang dan luasnya, dan dua puluh liga beratnya, dengan batu-batu berharga".
Vissakamma menyamar menjadi tukang batu, mendekati orang-orang yang sedang bekerja. Ia berkata pada mereka, "Istirahat dan makanlah dulu, nanti baru kembali".
Setelah mengusir mereka, ia mulai bekerja di dunia dengan para pembantunya, seketika muncullah sebuah istana, yang tinggi sesuai dengan ukuran yang diinginkan.
Sekarang, ada tiga upacara lagi bagi Maha-panada yang akan dilaksanakan bersama-sama. Upacara penasbihan istana, upacara penebaran payung kerajaan di atas kepalanya, dan upacara pernikahannya. Pada saat upacara, semua rakyat dari kedua negeri berkumpul bersama. Selama tujuh tahun pesta, bahkan raja juga meliburkan rakyatnya. Pakaian, hiasan, minuman, makanan dan sebagainya disediakan oleh keluarga kerajaan.
Pada akhir tahun ketujuh, rakyat mulai mengeluh. Raja Suruci menanyakan sebabnya pada mereka.
"O... raja, pesta telah berlangsung tujuh tahun. Kapan pesta ini akan diakhiri?"
"Saudara-saudaraku", kata raja, "Semua ini karena putraku tak pernah tertawa sedikitpun. Maka segera setelah ia tertawa, kita akan menghentikannya".
Kemudian rakyat memukul genderang, dan mengumpulkan tukang akrobat dan tukang sulap bersama-sama. Ribuan tukang akrobat datang. Mereka membagi diri menjadi tujuh kelompok musik dan penari, tetapi mereka tidak dapat membuat pangeran tertawa. Tentu saja, ia tak peduli pada segala macam tarian duniawi. Kemudian datang dua tukang akrobat terkenal, Bhandu-kanna dan Pandu-kanna, Telinga-pendek dan Telinga-kuning. Mereka bilang, "Kami akan membuat pangeran tertawa".
Bhandu-kanna membuat sebuah pohon mangga, yang ia namakan Sanspareil. Sekarang mangga-sanspareil mereka katakan Mangga-vessavana. Dan budak vessavana membawanya. Seperti biasa, mereka memotong kantung makanan mereka dan melemparkan potongannya. Tukang akrobat lain menggabungkan kedua potongan menjadi satu dan menuanginya dengan air. Mereka, dengan mengenakan pakaian dari bunga-bunga, bangkit dan mulai menari lagi. Pertunjukan seperti inipun tak membuat pangeran tertawa. Kemudian Pandu-kanna mengambil beberapa tumpukan kayu api di halaman istana dan pergi ke api bersama pasukannya. Ketika api menyala besar rakyat memercikinya dengan air. Pandu-kanna dengan pasukannya menari dengan pakaian atas dan bawah dari bunga. Ketika rakyat menyadari bahwa mereka tak dapat membuatnya tertawa, mereka menjadi marah.
Sakka merasakan hal ini. Ia mengirimkan penari surga, memintanya membuat pangeran Maha-panada tertawa. Penari surga pergi ke tempat pesta. Dengan masih tetap melayang di udara di atas istana kerajaan, ia mempertunjukkan apa yang ia sebut 'tarian setengah tubuh': satu tangan, satu kaki, satu mata, satu gigi, menari, berdenyut berkedip dan seterusnya. Maha-panada, ketika melihat hal ini tersenyum kecil, tetapi rakyat tertawa terus menerus. Mereka bahkan tak sanggup menghentikan tawa —menertawakan diri sendiri di luar kecerdasan mereka— kehilangan kontrol diri dan berguling-guling di halaman istana. Itulah akhir festival. Akhirnya:
Panada yang agung, raja yang kuat; dengan istananya semua dari emas.
Raja Maha-panada mengerjakan kebaikan dan memberi dana, dan pada akhir kehidupannya ia terlahir di alam para dewa.
---
Sang Buddha mengakhiri ceritanya, "Itulah para pertapa, Visakha telah menerima anugerah dari saya sebelumnya".
Ia menjelaskan kelahiran tersebut, "Waktu itu, Bhaddaji adalah Maha-panada, Visakha adalah Putri Sumedha, Ananda adalah Vissakamma, dan Aku sendiri adalah Sakka".***
Sumber: |
JATAKA —Kumpulan Cerita Pilihan; Pemuda Vihara Vimala Dharma, Bandung; 1991. |