Gangamala Jataka |
Sumber Asli: JATAKA STORIES; Diterjemahkan dari Bahasa Pali oleh Profesor E.B. Cowell |
Sang Buddha menceritakan kisah ini ketika berada di Jetavana, berkaitan dengan pelaksanaan hari suci.
Suatu hari, Sang Buddha menuju tempat siswa-siswaNya yang sedang melaksanakan hari suci dan beliau berkata, "Siswa-siswaKu, perbuatan kalian sungguh terpuji. Bila seseorang melaksanakan hari suci, ia harus berdana kepada orang yang membutuhkan, melaksanakan ajaran-ajaran moral, tidak pernah menunjukkan kemarahan, berbuat kebajikan, dan mengerjakan kewajiban-kewajiban di hari itu. Pada kehidupan yang lalu, orang bijaksana mendapatkan buah karma yang sangat besar dari melaksanakan hari suci, walaupun hanya sebagian". Lalu diceritakanlah kisah berikut.
---
Ketika Brahmadatta memerintah di Benares, tersebutlah seorang pedagang kaya di kota itu. Ia bernama Suciparivara, yang kekayaannya mencapai delapan ratus juta. Suciparivara adalah orang kaya yang sering berdana dan melakukan perbuatan-perbuatan baik lainnya. Istri, anak-anak, pembantu rumah tangga dan pelayannya melaksanakan enam hari suci pada setiap bulannya.
Pada masa yang sama Bodhisatta dilahirkan dalam sebuah keluarga miskin. Berharap untuk mendapatkan kerja, Bodhisatta pergi ke rumah Suciparivara. Ia memberi hormat kepada Suciparivara, dan berkata, "Aku ingin bekerja di rumah tuan".
Biasanya bila pekerja yang lain datang padanya, pedagang itu akan berkata, "Di rumah ini semua pekerjanya melaksanakan ajaran-ajaran moral. Bila engkau dapat melaksanakan ajaran-ajaran itu, engkau boleh bekerja padaku".
Tapi kepada Bodhisatta ia tidak berkata seperti itu, melainkan hanya berucap, "Baiklah, orang baik, engkau boleh bekerja padaku".
Sejak itu, Bodhisatta mengerjakan semua pekerjaannya dengan sabar dan sepenuh hati, tanpa kenal lelah. Dia berangkat kerja dini hari dan baru pulang menjelang malam.
Satu hari, di kota Benares berlangsung perayaan hari suci. Suciparivara berkata kepada para pelayan wanitanya, "Hari ini adalah dari suci. Kalian harus memasak nasi untuk para pekerja lebih pagi, agar mereka dapat memakannya lebih awal sebelum menjalankan puasa".
Bodhisatta selalu bangun pagi-pagi dan segera pergi bekerja. Tidak seorangpun yang memberitahu ia untuk berpuasa pada hari itu. Semua orang, Suciparivara, istri, anak-anak dan para pekerjanya, makan di pagi hari kemudian berpuasa sepanjang hari. Selanjutnya masing-masing orang kembali ke tempat kediamannya dan berdiam di sana merenungkan ajaran-ajaran moral. Sedangkan Bodhisatta bekerja keras sepanjang hari dan pulang ke rumah setelah hari sore. Tukang masak memberinya air dan menawarkan semangkuk nasi.
Bodhisatta berkata, "Pada jam-jam ini biasanya ribut sekali, tapi sekarang tidak. Kemana perginya mereka semua?"
"Mereka semua sedang berpuasa di tempat kediaman masing-masing".
Bodhisatta berkata, "Aku tak ingin menjadi satu-satunya orang yang berkelakuan tidak baik di antara orang-orang yang melaksanakan ajaran-ajaran moral".
Ia pergi dan bertanya pada Suciparivara apakah ia dapat melaksanakan hari suci secara penuh. Suciparivara mengatakan bahwa ia hanya dapat melaksanakan hari suci setengahnya. Kemudian Bodhisatta mulai berpuasa dan kembali ke tempat kediamannya untuk merenungkan ajaran-ajaran moral. Ia tak makan sepanjang hari sehingga perutnya terasa sakit seperti luka kena tombak. Suciparivara membawakan ramuan-ramuan dan meminta Bodhisatta menelannya.
Tapi Bodhisatta berkata, "Aku tak akan menghentikan puasaku. Aku harus melaksanakannya walaupun aku akan mati karenanya".
Rasa sakit makin hebat menyerang Bodhisatta dan menjelang pagi hari ia telah kehilangan kesadarannya. Menjelang kematiannya, orang-orang membawanya ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Pada saat itu, raja dan ratu dari Benares dengan kereta kerajaan beserta prajurit tiba di tempat itu. Ketika melihat kemegahan itu, timbul keinginan dalam diri Bodhisatta untuk mendapatkannya. Setelah meninggal, berkat melaksanakan hari suci, walaupun cuma setengahnya, ia menitis kembali dalam kandungan sang ratu.
Sepuluh bulan kemudian, ratu melahirkan seorang anak yang diberi nama Pangeran Udaya. Setelah dewasa, Pangeran Udaya mempunyai pengetahuan yang hebat dalam segala hal. Dia ingat apa yang pernah dilakukannya pada kehidupan yang lalu dan berpikir bahwa ia mendapat karunia yang besar dari hal yang kecil yang pernah dilakukannya itu. Lalu ia menyanyikan lagu kegembiraan hatinya berulang-ulang.
Setelah ayahnya mangkat, ia menjadi raja. Merenungkan keadaannya yang penuh kebesaran, ia kembali menyanyikan lagu yang menunjukkan kegembiraan hatinya.
Suatu hari, mereka mengadakan perayaan. Semua penduduk merasa senang. Seorang pembawa air yang bekerja di dekat pintu gerbang utara Benares sebelumnya telah menyembunyikan uang setengah sen di antara batu bata di tembok benteng istana. Istrinya juga adalah seorang pembawa air.
Istrinya berkata padanya, "Suamiku, ada perayaan di dalam kota. Bila engkau punya sedikit uang marilah kita bersenang-senang di sana".
"Aku punya sedikit uang, istriku".
"Berapa banyak?"
"Setengah sen".
"Di mana?"
"Di antara batu bata di pintu gerbang utara istana, tiga puluh lima mil dari sini. Apakah engkau juga mempunyai sedikit uang?"
"Ya, setengah sen".
"Jadi kita berdua punya satu sen".
"Pergi dan ambillah uangmu yang setengah sen itu".
Pembawa air merasa senang dengan usul yang disarankan istrinya. "Pasti istriku. Aku akan mengambilnya".
Orang itu sungguh kuat, seperti seekor gajah. Ia berjalan lebih dari tujuh dua mil pada waktu siang hari di saat tanah menjadi begitu panas seperti ditaburi batubara yang masih membara. Ia sangat senang, dan dengan mengenakan pakaian usangnya ia sampai di lapangan istana sambil bersenandung.
Kebetulan pada waktu itu Raja Udaya sedang berdiri di depan jendela dan melihatnya datang. Raja ingin tahu siapakah gerangan orang itu. Ia menyuruh pelayannya memanggil orang itu.
"Raja memanggilmu".
"Raja itu bukan apa-apaku, aku tidak mengenalnya".
Karena melawan, akhirnya pembawa air dibawa dengan paksa menghadap raja. Kemudian raja mengucapkan dua bait syair.
Bumi seperti batubara, tanah seperti bara api panas. Engkau menyenyikan lagumu, panas yang sangat tak mengganggumu.
Matahari di atas dan pasir di bawahmu begitu panas. Engkau menyanyikan lagumu, panas yang sangat tak membakarmu.
Mendengar kata-kata raja, orang itu mengucapkan sebait syair.
Adalah semua keinginan ini yang membara, bukan matahari. Adalah kewajiban-kewajiban yang mendesak ini yang harus dikerjakan.
Raja bertanya apa urusannya. Ia menjawab, "Oh raja, aku tinggal di dekat pintu gerbang selatan dengan seorang wanita miskin. Istriku mengusulkan untuk bersenang-senang pada saat perayaan dan menanyakan apakah aku punya sedikit uang. Aku memberitahukannya bahwa aku punya uang yang kusimpan dalam tembok di pintu gerbang utara. Ia menyuruhku untuk mengambilnya. Itulah semua urusanku".
"Lalu apa yang membuatmu senang sehingga engkau tidak mengindahkan angin dan panas dan menyanyi sambil berjalan?"
"Oh raja, aku berjalan sambil berpikir bila aku mendapat uang itu aku dapat bersenang-senang bersama istriku".
"Orang yang baik, apakah hartamu yang disembunyikan di dekat pintu gerbang utara sebesar seratus ribu keping emas?"
"Tidak".
Selanjutnya raja bertanya apakah hartanya sebesar lima puluh ribu, lima puluh, tiga puluh, dua puluh, sepuluh, lima, empat, tiga, dua keping emas, satu keping, setengah keping, seperempat keping, empat sen, tiga, dua, atau satu sen.
Pembawa air menjawab tidak untuk semua pertanyaan raja. "Hanya setengah sen. Itulah semua yang aku punya. Aku akan mengambilnya agar aku dapat bergembira bersama istriku. Dibayangi keinginan seperti itu, angin dan panas tidak menghalangiku".
Raja selanjutnya berkata, "Orang yang baik, jangan pergi ke sana dalam suasana sepanas ini. Aku akan memberimu setengah sen".
"Oh raja, aku akan menerima yang engkau berikan. Tapi aku tak mau kehilangan uangku yang setengah sen. Aku akan tetap pergi ke sana untuk mengambilnya".
"Orang yang baik, tinggallh di sini. Aku akan memberimu satu sen".
Tapi pembawa air tetap akan mengambil uangnya yang setengah sen. Lalu raja menawarkan lebih banyak lagi hingga mencapai sepuluh juta, seratus juta, kekayaan yang tak terhingga, bila pembawa air itu mau membatalkan niatnya untuk mengambil uangnya di tembok istana. Tapi dia selalu menjawab, "Oh raja, aku akan menerimanya, tapi aku akan tetap mengambil uangku yang setengah sen".
Selanjutnya raja menawarkan kedudukan sebagai bendahara istana, dan kedudukan lainnya hingga kedudukan raja muda. Pada akhirnya ia ditawarkan setengah kerajaan bila ia mau tetap tinggal di sana. Pembawa air akhirnya setuju.
Demikianlah raja membagi dua kerajaannya dan meberikan setengahnya kepada pembawa air. Ia diberi gelar Raja Setengah Sen. Raja Udaya dan Raja Setengah Sen memerintah dengan bijaksana.
Suatu hari mereka pergi ke sebuah taman bersama-sama. Setelah bergembira bersama, Raja Udaya berbaring dengan kepalanya berada di atas pangkuan Raja Setengah Sen. Raja Udaya tertidur.
Raja Setengah Sen berpikir, "Mengapa aku harus selalu mendapat setengah bagian kerajaan? Aku dapat membunuhnya dan menjadi raja tunggal".
Ia lalu mengeluarkan pedangnya, tapi kemudian ia ingat bahwa raja itu telah membuatnya menjadi begitu kaya, dan membunuh orang yang begitu dermawan adalah perbuatan yang sangat jahat. Berpikir demikian ia membuang pedangnya dan membangunkan Raja Udaya.
"Maafkan aku oh raja".
"Kawan, engkau tidak punya kesalahan sedikitpun padaku".
"Aku punya kesalahan, oh Raja Udaya".
Raja Setengah Sen lalu menceritakan apa yang telah dipikirkannya kepada Raja Udaya.
"Kawan, aku memaafkanmu. Bila engkau menginginkannya jadilah raja tunggal dan aku berada di bawahmu sebagai raja muda".
"Oh Raja Udaya, aku tidak memerlukan kerajaan ini lagi. Keinginan seperti itu akan membuatku terlahir di alam Peta. Kerajaan ini milikmu. Aku akan menjadi pertapa. Aku telah melihat akar keinginan. Semuanya terjadi akibat nafsu keinginan. Karena itu aku tak mau memiliki nafsu keinginan seperti itu lagi".
Lalu dengan penuh kegembiraan ia mengucapkan sebait syair.
Aku telah melihat akar-akarmu, oh nafsu keinginan. Aku tidak ingin lagi memilikimu, maka nafsu keinginan, engkaupun lenyap.
Seterusnya:
Sedikit keinginan tidaklah cukup. Banyak keinginan membuat kita menderita. Oh! Orang yang bodoh, bangunlah, bila engkau ingin mendapat kebijaksanaan.
Raja Setengah Sen selanjutnya mempercayakan kerajaannya kepada Raja Udaya. Ia sendiri pergi ke Himalaya dan menjadi pertapa dan mencapai Kesempurnaan. Pada saat Raja Setengah Sen menjadi pertapa, Raja Udaya mengucapkan sebait syair dalam kegembiraan sepenuh hati.
Sedikit keinginan telah membuahkan hasil bagiku. Keagungan adalah kejayaan yang kudapat. Keuntungan sejati akan diperoleh bila seseorang punya tekad, menjadi pertapa dan melenyapkan nafsu keinginan.
Tak seorangpun mengerti makna syair ini. Pada satu hari permaisuri menanyakan apa arti syair yang dilantunkan raja itu. Raja tak bersedia memberitahukannya.
Pada masa itu ada seorang pemangkas rambut yang bernama Ganggamala, yang bila memangkas rambut raja menggunakan pisau cukur terlebih dulu, baru kemudian menjepit rambut dengan penjepit. Raja menyukai perbuatan yang pertama tapi perbuatan yang kedua membuatnya kesakitan. Untuk yang pertama, ia akan memberi tukang cukur itu hadiah. Untuk perbuatan kedua ia ingin memancung saja kepala tukang cukur tersebut.
Suatu hari Raja Udaya menceritakan perbuatan tukang cukur itu kepada permaisurinya. Ia bilang tukang cukur rambut mereka adalah orang yang bodoh. Ketika permaisuri menanyakan apa yang harus dilakukan oleh tukang cukur itu, raja menjawab, "Gunakan penjepit terlebih dulu baru pisau cukur".
Permaisuri kemudian memanggil tukang cukur, dan bertanya padanya, "Pada waktu engkau mencukur rambut raja, engkau harus menggunakan penjepit terlebih dahulu, baru kemudian pisau cukur. Engkau akan mendapat hadiah jika melakukan apa yang saya katakan. Bila raja menawarkan hadiah padamu, engkau harus berkata, 'Aku tidak menginginkan yang lain, selain makna syair lagu yang raja nyanyikan'. Bila engkau menuruti perintahku engkau akan mendapat uang banyak".
Tukang cukur setuju. Keesokan harinya ketika mencukur rambut raja, ia menggunakan penjepit terlebih dahulu baru pisau cukur. Raja bertanya, "Ganggamala, apakah ini caramu yang baru dalam mencukur?"
"Oh raja, semua tukang cukur telah menggunakan cara yang baru ini".
Raja kemudian menyatakan akan mengabulkan hadiah apapun yang diminta tukang cukur.
"Oh raja, aku tidak menginginkan yang lain, beritahukan aku apa arti syair lagumu".
Raja merasa malu untuk menceritakannya dan berkata, "Orang yang baik, apa gunanya hadiah seperti itu untukmu? Pilihlah yang lain".
Tapi tukang cukur itu memohon kepada raja untuk menjelaskannya. Raja takut untuk tak memenuhi janjinya. Ia akhirnya menceritakan kisahnya pada kehidupan yang lalu di kota itu.
"Peristiwa itu menjelaskan setengah bait syair laguku. Sisanya menceritakan bahwa kawanku menjadi pertapa dan aku menjadi raja tunggal sekarang".
Mendengar kisah raja, tukang cukur berpikir, "Raja mendapatkan kejayaan dengan hanya berpuasa setengah hari. Kesucian adalah jalan yang benar. Lebih baik aku menjadi pertapa dan berusaha mencapai Kebebasan".
Ia kemudian meninggalkan keluarganya dan menjadi pertapa di Himalaya. Akhirnya ia mencapai Kesempurnaan dan menjadi Pacceka Buddha. Dengan kekuatan ajaibnya ia menciptakan jubah dan mangkuk untuk dirinya sendiri.
Setelah berdiam selama lima hingga enam tahun di gunung Gandhamadana, timbul keinginan dalam dirinya untuk menemui Raja Udaya. Ia lalu terbang menuju taman raja. Di sana ia duduk di kursi kerajaan. Penjaga taman memberitahu raja bahwa Gangamala telah menjadi Pacceka Buddha dan berada di taman. Raja datang dengan segera untuk memberi hormat kepada Pacceka BUddha. Ibu Ratu juga menuju ke sana. Raja beserta pengikutnya sampai di tempat itu dan memberi hormat.
Pacceka Buddha berkata dengan ramah, "Brahmadatta, apakah engkau memerintah dengan adil dan bijaksana serta melakukan perbuatan-perbuatan luhur lainnya".
Ibu Ratu menjadi marah.
"Orang dari kasta rendah ini sungguh tak tahu diri. Berani ia memanggil anakku dengan Brahmadatta?"
Selanjutnya ia mengucapkan sebait syair.
Penerangan sempurna membuat orang melenyapkan Karma buruknya. Melalui penerangan sempurna Gangamala mencapai keagungan. Dan sekarang ia memanggil anakku Brahmadatta.
Raja menegur ibu Ratu, dan menjelaskan siapakah Pacceka Buddha itu. Ia mengucapkan sebait syair.
Lihatlah bagaimana kematian terjadi. Kesabaran membuahkan hasil. Orang yang dulunya memberi hormat pada kita, sekarang Rajapun harus memberi hormat padanya.
Walaupun raja telah menegur permaisurinya sebagian penduduk bangkit dan berkata, "Tidaklah sopan orang dari kasta rendah menyebut nama raja seperti itu".
Raja memarahi orang-orang itu dan mengucapkan bait syair yang terakhir.
Janganlah memandang hina Gangamala, yang telah mencapai Kesempurnaan di jalan kebenaran, yang telah menyeberangi gelombang penderitaan, yang telah bebas dari penderitaan.
Berkata seperti itu raja memberi hormat Pacceka Buddha, dan memintanya untuk memaafkan ibu Ratu. Pacceka Buddha memafkan semuanya. Raja memintanya untuk tinggal di sana tapi ia menolaknya. Ia kemudian melayang di udara di hadapan orang banyak. Sebelum terbang kembali ke Gandhamadana, ia mengingatkan raja terhadap kewajibannya.
---
Setelah itu Sang Buddha berkata, "Siswa-siswaKu, engkau dapat melihat bahwa berpuasa adalah sepatutnya dilakukan". Dan Ia juga mengungkapkan bahwa Raja Setengah Sen adalah Ananda, ratu adalah ibu dari Rahula, dan Raja Udaya adalah dirinya sendiri.***
Sumber: |
JATAKA —Kumpulan Cerita Pilihan; Pemuda Vihara Vimala Dharma, Bandung; 1991. |