Tahan Gempa |
oleh: Bhikkhu Subalaratano Thera |
"SADDHA SADDHU PATITTHITA, artinya memiliki keyakinan yang kuat adalah sangat bermanfaat".
Belum lama ini terjadi gempa bumi di Negara Iran, yang telah menewaskan puluhan ribu manusia tanpa memilih usia. Kemudian disusul lagi dengan gempa bumi di Filipina yang juga banyak menimbulkan korban.
Bagi Indonesia masalah gempa bumi bukan masalah yang baru karena Indonesia juga merupakan daerah rawan gempa. Memang belum pernah ada gempa yang hebat terjadi di Indonesia.
Ketika terjadi gempa bumi umumnya banyak bangunan-bangunan yang porak poranda diguncang gempa. Adanya bangunan yang mudah roboh dan hancur lebur, ada bangunan yang hanya mengalami retak dan ada pula bangunan yang masih berdiri kokoh.
Mudah dipahami bahwa bangunan yang hancur lebur adalah bangunan yang tidak tahan gempa disebabkan fondasinya kurang kuat menahan getaran gempa. Sedangkan bangunan yang hanya mengalami retak adalah bangunan yang lebih kuat fondasinya. Bangunan yang masih utuh adalah bangunan yang memiliki fondasi yang tahan terhadap goncangan gempa bumi.
Begitu pula dengan kehidupan umat beragama, bilamana tidak memiliki pedoman agama yang disebut keyakinan terhadap Dhamma akan mudah sekali runtuh akibat goncangan arus materi dewasa ini. Seperti muculnya pergeseran tata nilai pergaulan, perubahan tata pola berpikir manusia. Semua perubahan ini terjadi erat sekali dengan adanya kemajuan teknologi manusia yang telah menciptakan kemudahan hidup.
Hubungan manusia makin mudah (komunikasi), pertukaran pendapat makin cepat (informasi) dan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain bisa makin cepat. Hal-hal ini menyebabkan timbulnya geseran antara kebudayaan satu dengan lainnya.
Tidak bisa dihindari terjadi pula pertukaran pemikiran dari agama yang satu ke agama yang lain. Masing-masing akan mempertahankan pandangannya. Sejauh menyangkut adanya persamaan tidak menjadi masalah, tetapi bilamana ada perbedaan, yang pasti ada, bisa terjadi saling kikis mengikis keyakinan.
Umat Buddha di Indonesia hendaknya jangan ketinggalan kereta untuk membina keyakinannya dengan baik, agar tidak menjadi umat Buddha tanpa keyakinan yang kuat. Tanpa memiliki keyakinan yang kuat akan mudah roboh oleh getaran gempa keragu-raguan (vicchikicca).
Kepada suku Kalama, dua puluh lima abad yang lalu, Buddha Gotama menawarkan suatu cara bijaksana untuk menghilangkan keragu-raguan yang timbul terhadap suatu ajaran (Dhamma). Beliau menyarankan agar mengadakan pemahaman atau penghayatan yang mendalam untuk melenyapkan keraguan tersebut. Bukan dengan percaya keyakinan akan muncul. Main percaya saja secara membuta malah akan menjadi ragu.
Ketika berada dî kota Alavi, Yakkha Alavaka bertanya kepada Buddha: "Dengan apa, Sang Bhagava, makhluk hidup mengarungi lautan (samsara) agar bisa selamat?"
Buddha Gotama menjawab: "Hanya dengan memiliki keyakinan yang kuat, makhluk hidup selamat dalam mengarungi lautan (Samsara) ini, Alavaka".
Agar Umat Buddha memiliki keyakinan yang kuat, langkah yang harus dilaksanakan adalah pemahaman Dhamma dan rajin
menghadiri Dhammadesana. Dari pemahaman inilah muncul pengertian yang benar yang
akan menjadi dasar yang kuat bagi keyakinan. Setelah mengerti (añña) barulah
timbul keyakinan (saddha). Barang siapa telah mengerti tidak ada lagi keragu-raguan
(vicchikicca) terhadap kebenaran Buddha
Dhamma.
Terhadap tiga belenggu yang harus dilenyapkan bagi seorang Sotapanna (yang memasuki arus kesucian), yaitu:
1. | SILABATAPARAMASA, percaya hanya dengan melaksanakan upacara saja akan mendapat keselamatan dan kebahagiaan. |
2. | VICCHIKICCA, keragu-raguan mengenai apakah Buddha Dhamma merupakan ajaran yang benar. |
3. | SAKKAYADITTHI, pandangan salah beranggapan adanya pribadi utuh dan kekal dalam dirinya. |
Dewasa ini akibat kesibukan mengejar materi saja, banyak manusia termasuk juga umat Buddha belum memiliki keyakinan yang kuat terhadap Dhamma (agama). Sehingga tidak bisa dihindari atau terjadi pergantian agama bilamana menghadapi suatu masalah atau benturan pandangan. Banyak pemuda pemudi menukar agama demi tidak kehilangan pacar. Tidak menyadari bahwa "pacar" itu tidak kekal, dapat diganti bisa seperti baju, sedangkan Dhamma adalah kekal.
Diperlukan suatu tekad (aditthana) yang kuat serta semangat (viriya) dalam membina keyakinan terhadap Dhamma. Seperti seorang ahli yang sadar akan bahayanya gempa yang menggoncangkan keyakinan dalam dirinya. Sering manusia berjuang menentukan antara berbuat baik demi keyakinan Dhamma atau berbuat kejahatan karena dorongan kebutuhan hidup. Bagi orang yang batinnya telah ada keyakinan Dhamma yang kuat ia akan dapat menentukan sikap yang benar, tidak akan memilih cara yang salah.
Sesungguhnya umat Buddha telah memiliki TIGA PERLINDUNGAN (Tisarana),
tapi banyak yang belum mengerti benar. Tiga perlindungan kepada Buddha-Dhamma dan
Ariya Sangha adalah perlindungan yang bersifat aktif bukan pasif. Berlindung di sini
bukan menyerahkan diri tapi berjanji untuk melaksanakan ajaran Dhamma demi tercapainya kebahagiaan tertinggi. Tiga
permata ini bukan TIGA tapi tetap SATU disebut
Ratanattaya, permata yang bersudut tiga.
Berlindung secara aktif seperti seorang pasien yang yakin akan seorang dokter yang
merawatnya, keyakinannya menyebabkan ia mau melaksanakan nasihat dokter tersebut.
Buddha Gotama juga seorang "dokter ahli" (bhesajja-guru) dalam soal batin
(citta). Beliau adalah orang pertama di dunia yang
memiliki Asavakhayañana, pengetahuan luhur bagaimani
melenyapkan kekotoran batin (citta).
Namun Beliau menyatakan bahwa hasil terakhir
dari kesempurnaan tergantung kepada si pelaksana Dhamma, Beliau hanyalah
"Penunjuk
jalan" saja (Tumhehi kiccam atapam, akataro
Tathagata). Bila umat Buddha ingin merealisir kesempurnaan, kebahagiaan tertinggi
laksanakanlah Dhamma dengan pengertian yang benar.
Saat ini kita telah berada di ambang Kathina-kala, masa yang sangat ditunggu oleh Umat Buddha dalam praktek Dana Paramita di saat yang tepat. Menanam kebajikan pada saat yang tepat seperti menanam bibit di musim yang cocok akan menghasilkan buah yang hanyak.
Marilah kita melaksanakan kebajikan ini dengan pikiran (citta) yang bersih, bebas dari pikiran yang jahat (akusala-citta). Inilah merupakan bibit unggul dalam kebajikan.
Sang Buddha telah menyatakan bahwa pikiran (citta) yang bersih, "bebas dari sifat jahat" (kusalacitta) merupakan sumber kebahagiaan. Akibat perbuatan baik sangat ditentukan oleh sifat pikiran (citta), pada saat NIAT (pubba-cetana), saat MELAKSANAKAN (munca-cetana) dan SETELAH MELAKSANAKAN kebajikan (apara-cetana).
Bilamana seseorang berbuat kebajikan (kusala-kamma) didorong oleh adanya citta yang sifatnya ALOBHA (tidak serakah), ADOSA (tidak benci) tapi masih MOHA (tidak mengerti). Kebajikan seperti ini digolongkan menjadi DVIHETUKA-KUSALA. Sebaliknya bilamana seseorang berbuat kebajikan (kusala) didorong oleh citta yang sifatnya ALOBHA (tidak serakah), ADOSA (tidak benci) dan juga AMOHA (MENGERTI). Kebaikan tersebut digolongkan menjadi TIHETUKA-KUSALA.
DVIHETUKA-KUSALA dan TIHETUKA-KUSALA bilamana bersekutu dengan Cetana yang masih, pikiran "tidak ada kejahatan" (kusala) baik pada waktu NIAT, pada waktu MELAKUKAN dan SETELAH MELAKUKAN, maka kebajikan tersebut akan menjadi KEBAJIKAN TINGKAT TINGGI (Ukkattha-kusala).
Tetapi bilamana DVIHETUKA-KUSALA dan TIHETUKA-KUSALA bersekutu dengan Cetana yang masih "ada kejahatan" (akusala), apakah pada NIAT, pada waktu MELAKUKAN atau SETELAH MELAKUKAN maka kebaikan tersebut menjadi KEBAIlKAN TINGKAT RENDAH (omaka-kusala).
Kebajikan tingkat tinggi dan kebajikan tingkat rendah tentu berbeda pula dalam akibat yang berbuah kebahagiaan yang berlimpah ruah (luar biasa), sedangkan kebajikan tingkat rendah akan berbuah cukup saja (biasa).
Abhivadana silissa, niccam vudapaccayayino, Cataro Dhammavadanti ayu, vanno, sukham, balam
Melaksanakan sila yang kokoh, selalu berbuat kebajikan (dana) akan memperoleh tambahan 4 hal yaitu USIA, KECANTIKAN, KEBAHAGIAAN, KEKUATAN.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia dan sejahtera.***
Sumber: |
BUDDHA CAKKHU No.19/XI/90; Yayasan Dhammadipa Arama. |