Salahkah Bila Kita Berambisi?

oleh: Ven. Dr. K. Sri Dhammananda

Judul Asli: IS IT WRONG TO BE AMBITIOUS? Ven.Dr.K.Sri Dhammananda; Kuala Lumpur, Malaysia

        Apakah yang dimaksud dengan ambisi atau keinginan bila dilihat dari pandangan umat Buddha dan bagaimana kita akan membentuk kehidupan yang akan datang menurut agama Buddha? Banyak orang mempunyai pendapat yang berbeda mengenai kata "ambisi" ini. Oleh karena itu, saya ingin menjelaskannya untuk mencegah pandangan salah.

        Setiap orang di dunia ini mempunyai beberapa ambisi atau sejenisnya. Jika kita berpaling kepada Sang Buddha, kita dapat mengerti bahwa sebelum menjadi Buddha, Beliau pun memiliki ambisi yang besar dalam pikiranNya yang berasal dari masa lampau. Kemudian Beliau terus mengembangkan ambisi itu, dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain, sampai Beliau mencapai apa yang Beliau kehendaki. Tetapi ambisi ini merupakan sebuah penggambaran cita-cita yang baik dalam mencapai tujuan utama kehidupanNya. Jika kita membaca berbagai kotbah yang diberikan oleh Sang Buddha, kita dapat mengerti bagaimana Beliau harus bekerja keras untuk mencapai tujuan yang Beliau cita-citakan. Hal ini telah Beliau nyatakan kepada kita dengan menunjukkan cerita-cerita tentang kelahiran yang lampau. Beliau juga menjelaskan sifat kebajikan yang luhur dan disiplin yang harus dilaksanakan untuk mencapai kesempurnaan sesuai dengan ambisi Beliau.

        Jika kita membandingkan ambisi-ambisi kita dengan ambisi atau tujuan (cita-cita) seorang Buddha, kita dapat melihat perbedaan yang sangat mencolok, karena sebagian besar tujuan kita didasarkan atas keinginan-keinginan (nafsu-nafsu). Dan kecemasan-kecemasan dalam menikmati kesenangan duniawi. Tetapi lain halnya dengan Sang Buddha, ambisi Beliau terlepas dari nafsu (keinginan) pribadi. Kita mengembangkan ambisi-ambisi dengan mengabaikan kebahagiaan orang lain dan bekerja berdasarkan rasa keakuan untuk mencapai kebahagiaan diri sendiri tanpa mengindahkan perasaan orang lain. ltulah cara kita yang akan menimbulkan masalah-masalah yang sangat besar dan kesengsaraan-kesengsaraan di dunia ini. Kita bersedia mengerjakan segala jenis kejahatan, kekejian, kekejaman atau perbuatan-perbuatan yang berbahaya hanya sekadar untuk memberikan kesenangan pada diri sendiri. Sehingga dari segi pandangan Buddhis, jenis ambisi yang egoistis ini tidak dapat dibenarkan.

        Kita dapat mengembangkan jenis ambisi yang lain yaitu dengan bekerja keras untuk mendapatkan kebebasan, kebahagiaan dan kemerdekaan dari masalah-masalah dunia kita yang ada. Ambisi ini dapat dikatakan wajar dan menurut ajaran Sang Buddha bukanlah merupakan ambisi yang egoistis. Tetapi sebaiknya kita jangan merasa puas ketika kita telah mencapai ambisi-ambisi duniawi ini. Kita harus berusaha lebih jauh dalam hal pengembangan batin kita.

        Langkah berikutnya dari ambisi ini adalah; sambil bekerja untuk kebahagiaan, kebebasan dan keselamatan diri sendiri, kita juga harus memberikan beberapa pelayanan demi keuntungan dan kesejahteraan orang lain atau demi membebaskan penderitaan orang lain. Sang Buddha menyetujui jenis cita-cita ini dengan keyakinan dan perasaan welas asih yang tiada batasnya.

        Pada saat berusaha untuk mencapai kebebasan dan kesempurnaan diri Beliau, Beliau juga membantu pihak lain setiap ada kesempatan. Beliau melanjutkan pelayananNya demi kemanusiaan dengan mengorbankan kesenangan-kesenanganNya untuk kepentingan orang lain, dengan mengembangkan semua sifat-sifat mulia dan kebajikan-kebajikan, serta membasmi pikiran-pikiran jahat dan menjaga terpeliharanya kesucian pikiran. Inilah cara Beliau mengembangkan ambisinya dengan tanpa mementingkan diri sendiri untuk mencapai penerangan sempurna, sehingga Beliau dapat membebaskan orang lain dari penderitaan.

        Ketika Beliau mulai mengembangkan ambisi-ambisi atau cita-citaNya, Beliau tidak pernah mengembangkannya untuk kepentingan sendiri, tetapi untuk keuntungan, kesejahteraan, kebahagiaan dan kebebasan setiap makhluk hidup di dunia ini. Dalam benakNya, Beliau mengembangkan rasa welas asih yang tidak terbatas dan mengembangkan kebijaksanaan dengan mewujudkan hal-hal tersebut dalam kata-kata dan perbuatan. Tetapi ambisi-ambisi kita, yang secara alamiah lebih mementingkan diri sendiri, dapat menimbulkan kesengsaraan dan kesulitan-kesulitan. Oleh karena itu, kita harus mempelajari cara mengarahkan ambisi-ambisi kita sedemikian rupa dalam membebaskan penderitaan-penderitaan orang lain dan membawanya menuju kedamaian dan kebahagiaan. Ambisi-ambisi seperti ini sangat berarti karena dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi umat manusia.

        Sulit sekali menemukan manusia-manusia jujur dan tulus yang sepenuhnya bebas dari pendapat-pendapat pribadi yang mementingkan diri sendiri. Inilah penyebab utama yang menimbulkan banyak masalah di antara umat manusia. Karena kita terikat dengan kehidupan duniawi ini dan kita ingin mengetahui apakah keliru jika memuaskan beberapa ambisi yang ada dalam pikiran. Cita-cita kita untuk menjadi dokter, sarjana hukum, profesor, guru atau pengusaha juga termasuk ambisi. Tetapi tak seorang pun di dunia ini dapat mengatakan bahwa ambisi-ambisi tersebut keliru atau bertentangan dengan agama yang ada.

        Masing-masing terdapat satu cara untuk mengembangkan ambisi-ambisi dari orang-orang yang telah meninggalkan kehidupan keduniawian dan untuk orang-orang yang ingin tetap hidup sebagai umat awam yang masih terikat pada dunia sebagai perumah tangga, karena itu agama Buddha sering disalah-tafsirkan dan disalah-artikan oleh banyak orang.

        Beberapa ajaran dan pengamatan tertentu yang Sang Buddha kemukakan khususnya dimaksudkan untuk orang-orang yang meninggalkan kehidupan duniawi, tetapi bagi segelintir orang hal-hal ini dianggap sebagai ajaran-ajaran yang ditujukan untuk orang-orang yang menjalani kehidupan perumah tangga. Sebagai contoh, selama kehidupan Sang Buddha, banyak orang yang menikmati kesenangan keduniawian mendekati Sang Buddha dan menceritakannya bahwa mereka adalah orang-orang yang terikat dengan keduniawian dan menyatakan bahwa sulit bagi mereka untuk meninggalkan keduniawian dan kesenangan-kesenangannya. Mereka mempunyai banyak tanggung jawah, kewajiban dan tugas, sehingga mereka memohon kepada Sang Buddha untuk menerapkan pandangan hidup keagamaan yang sesuai bagi mereka untuk dipraktekkan.

        Mengetahui keadaan kehidupan perumah tangga. Sang Buddha tidak mengatakan bahwa mereka tidak dapat menjalani suatu kehidupan beragama tanpa meninggalkan kehidupan duniawi. Beliau memberikan garis pedoman yang cukup untuk menjalani suatu kehidupan beragama bagi orang-orang tersebut untuk melangsungkan kehidupan-kehidupan berumah tangga yang normal, dengan cara memenuhi semua kewajiban keluarga mereka tanpa mengabaikan pekerjaan-pekerjaan yang biasa mereka lakukan. Sang Buddha menganjurkan mereka untuk mengikuti prinsip-prinsip keagamaan tertentu yang penting.

        Sang Buddha merupakan guru agama yang sama sekali telah meninggalkan segala sesuatunya yang Beliau miliki dan telah mendapat penerangan sempurna ini, tidak menganjurkan orang lain untuk meninggalkan kehidupan duniawi dengan segera untuk menjalani suatu kehidupan keagamaan. Meninggalkan kehidupan duniawi hanya dilaksanakan bila kesadaran timbul dalam pikiran, jika tidak akan menimbulkan perasaan-perasaan kecewa atau frustrasi, karena orang-orang yang meninggalkan keduniawian secara dini dan tergesa-gesa mungkin akan kembali menjalani kehidupan awam. Jadi, seseorang harus menunggu sampai kesadaran demikian muncul dalam pikirannya.

        Sang Buddha menganjurkan orang-orang untuk bekerja keras tanpa membuang-buang waktu mereka yang sangat berharga untuk mendapatkan uang, menabung untuk masa depan, untuk menopang keluarga-keluarga mereka, memenuhi tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban mereka dan dengan hati-hati mengeluarkan uang dari apa yang telah mereka hasilkan dengan tanpa pemborosan.

        Menurut Sang Buddha, meninggalkan kehidupan duniawi bukan satu-satunya cara untuk mempraktekkan ajaran agama Buddha. Beliau menganjurkan orang-orang untuk mempraktekkan agama Buddha sambil memenuhi tugas-tugas mereka yang biasa. Pada waktu yang sama Beliau mengatakan bahwa tidak berkeberatan atas kesenangan duniawi yang dinikmati oleh umat awam. Beliau telah menerangkan bahwa ada empat macam kesenangan duniawi yang perumah tangga dapat alami: Kebahagiaan pertama adalah jaminan atas kenikmatan keuangan atau mendapat kekayaan yang didapat dengan cara yang benar (Atthi-Sukha); Kedua adalah tentang pengeluaran kekayaan itu dengan bebas untuk dirinya sendiri, keluarganya, teman-teman dan saudara-saudaranya, dan untuk perbuatan-perbuatan yang berjasa (Bhoga-Sukha); Ketiga adalah bebas dan hutang-hutang (Ańana-Sukha); dan kebahagiaan keempat adalah hidup sempurna dan hidup suci tanpa melakukan kejahatan melalui pikiran, ucapan atau perbuatan (Anavajja-Sukha). Ketika anda mengetahui bahwa anda telah mendapat penghasilan untuk diri sendiri melalui cara yang jujur, kebahagiaan yang anda peroleh melalui kekayaan yang telah anda kumpulkan itu memberikan kebahagiaan yang dapat menambah keyakinan dalam kehidupan berumah tangga.

        Ada beberapa orang yang terus menerus mendapatkan penghasilan dan mengumpulkan kekayaan tetapi tidak pernah menggunakan penghasilan mereka dengan cara yang sesuai. Menurut Sang Buddha, kita dapat mengalami kebahagiaan duniawi dengan menggunakan apa yang telah kita hasilkan dengan cara yang sesuai, tanpa melanggar prinsip-prinsip dasar agama kita.

        Tidaklah benar apabila dikatakan bahwa umat Buddha tidak boleh mengalami kebahagiaan duniawi. Ada beberapa hiburan yang tidak berbahaya dalam kebudayaan tertentu yang diperlukan untuk menenangkan pikiran dan mengurangi ketegangan di antara umat manusia. Emosi manusia dapat dipuaskan oleh kesenangan-kesenangan yang tidak berbahaya tanpa mengganggu ketentraman dan kebahagiaan orang lain. Banyak hiburan di Asia yang sebenarnya berkembang lewat agama Buddha.

        Tetapi ketika orang-orang mencapai tingkat perkembangan spiritual tertentu dan melihat kehidupan duniawi yang sesungguhnya, mereka akan menjauhkan hiburan-hiburan tersebut. Melalui periode perkembangan mental yang lama, mereka akhirnya menyadari bahwa dalam analisa kehidupan yang terakhir tidak terdapat apa-apa, melainkan hanya merupakan suatu impian dan kesenangan-kesenangan duniawi yang tidak kekal. Ketiga sifat dari segala sesuatu yang ada: Anicca, Dukkha dan Anatta adalah tidak kekal, tidak memuaskan dan tidak dapat dikuasai yang kesemuanya itu dapat dipahami dengan jelas melalui mawas diri. Mawas diri di sini kita artikan sebagai suatu perwujudan dari kesunyataan akhir yang muncul ketika seseorang terlatih pikirannya melihat kenyataan alam yang sesungguhnya.

        Kita tidak perlu menjelaskan keaneka-ragaman pendapat-pendapat ini kepada setiap orang. Sebagai contoh yaitu ketika kita memperkenalkan agama Buddha kepada anak-anak, tidaklah bijaksana kalau kita mendiskusikan hal-hal yang rumit ini, karena mereka tidak dapat mengerti pandangan yang sedemikian rumit. Diskusi-diskusi semacam ini hanya cocok untuk orang dewasa yang telah matang dan dapat melihat bentuk alamiah dari segala perubahan dan ketidak-kekalan, serta dapat menghargai pengalaman-pengalaman mereka yang memuaskan.

        Beberapa orang mengatakan bahwa agama Buddha bertanggung jawab terhadap negara-negara tertentu yang masih belum berkembang dan terbelakang. Mereka juga mengatakan bahwa agama Buddha selalu berbicara tentang penderitaan dan melepaskan kehidupan keduniawian dengan hanya duduk bermeditasi di dalam hutan. Karena alasan inilah orang-orang Barat pada masa lampau menyebutkan bahwa agama Buddha adalah agama yang pesimis. Apa pun yang mereka katakan maka hal itu tidak ada pertentangan dengan kehidupan yang tidak memuaskan. Tidak ada pertentangan bagi orang yang sudah dewasa yang belajar agama Buddha dengan seksama. Kita harus tahu bagaimana memperkenalkan agama ini menurut taraf pengertian, pendidikan dan kedewasaan orang-orang yang mendengarkan kita. Jika kita hanya membicarakan tentang penderitaan-penderitaan dalam kehidupan, ketidak-pastian dan ketidak-kekalan segala sesuatunya kepada anak-anak dan orang-orang yang belum dewasa, pengaruh-pengaruh kejiwaan sebenarnya dapat mengganggu kemajuan mereka di dunia ini. Inilah sebabnya mengapa Sang Buddha tidak pernah melarang persembahan-persembahan keagamaan seperti mempersembahkan bunga-bunga, menyalakan lilin-lilin, dan sebagainya. Orang-orang yang belum cukup bijaksana dalam memahami ajaran-ajaran yang benar sebaiknya mengembangkan Saddha atau keyakinan mereka dengan cara ini, karena persembahan-persembahan ini dapat mengembangkan Sīla atau Etika yang merupakan tingkat pertama menuju kebebasan batin. Pada tingkat kedua, yakni konsentrasi benar dan kebijaksanaan akan dapat tercapai melalui proses perkembangan batin yang panjang.

        Sang Buddha adalah guru agama yang paling giat dan bersemangat. Beliau menasihatkan orang-orang untuk giat dalam menjalani kehidupan mereka sehari-hari sesuai dengan pengetahuan dan keahlian mereka. Seorang umat Buddha sebaiknya tidak malas dan santai dalam kehidupan sehari-hari dan sebaiknya tidak menyalahkan hal itu pada agama Buddha. Sang Buddha menasihatkan umat awam agar mereka tidak menuruti kegemarannya dengan membabi-buta atau menciptakan penderitaan agar dapat mempraktekkan sebuah agama. Setiap orang harus berusaha untuk hidup saleh, tidak mengganggu pihak lain dan tentram. Agama Buddha terkenal dengan jalan tengahnya. Ini berarti tidak menjalani kedua jalan ekstrim yang disebutkan di atas.

        Anda mungkin akan mengalami kesukaran-kesukaran tertentu dalam kehidupan sehari-hari ketika menjalani kehidupan berumah-tangga. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar dalam menjalani kehidupan duniawi yang penuh dengan ketidak-pastian dan ketidak-puasan. Anda mungkin mendapat kesulitan dalam mempertahankan kejujuran, kebaikan dan toleransi secara utuh. Kehidupan berumah-tangga dengan
mudah dapat mempengaruhi anda untuk menghindari beberapa tanggung jawab. Jadi benarlah kalau dikatakan bahwa tidak seorang pun dapat menjadi seorang manusia beragama yang sempurna dalam kehidupan berumah-tangga. Tanggung-jawab, kewajiban dan tugas-tugas anda dapat mengganggu pikiran anda dan menyebabkan anda melakukan hal-hal tertentu yang bertentangan dengan kesadaran. Sebaliknya, jika anda mencoba untuk menjadi lebih beriman sebagai orang awam dengan mengubah kelakuan anda yang normal (sehari-hari), sikap ini mungkin tidak menarik bagi anggota keluarga anda, teman dan bagi orang lain. Jika anda mengikuti aturan-aturan agama Buddha yang dikhususkan untuk bhikkhu-bhikkhu yang tinggal dalam Vihara atau Biara, rekan-rekan anda mungkin merasa malu dan merasa bahwa anda adalah seorang yang mengganggu mereka, atau berpikir bahwa anda eksentrik. Oleh karena itu, cobalah menjalani suatu kehidupan normal yang penuh dengan kebijaksanaan dengan mematuhi prinsip-prinsip agama dengan bijaksana, tetapi janganlah kemudian menjadi fanatik dalam kehidupan beragama sehingga anda menjadi seorang yang diolok-olok oleh orang lain. Orang-orang tidak hanya akan menertawakan anda, tetapi juga akan mempunyai pandangan salah tentang ajaran agama Buddha. Jika anda tidak fanatik, anda dapat hidup tentram, bahkan dapat bekerja sama dengan penganut-penganut agama lain.

        Sang Buddha telah menunjukkan bahwa anda harus mengetahui keterbatasan manusia dalam segala hal. Coba latihlah prinsip-prinsip agama yang diterima dengan terbuka oleh orang-orang yang bijaksana. Sebagai umat awam Buddhis, tugas anda adalah menjalani kehidupan keagamaan yang biasa, sambil memenuhi kewajiban-kewajiban keluarga anda. Jika anda melalaikan tanggung jawab terhadap keluarga untuk mempraktekkan agama anda, anda akan mengalami beberapa masalah. Anda harus tahu bagaimana menyesuaikan kehidupan anda dengan lingkungan dan masyarakat di mana anda tinggal dan tidak bertentangan dengan praktek-praktek kebudayaan dan tradisi-tradisi yang penting dari mayoritas masyarakat di sana, sepanjang hal-hal itu tidak merugikan. Anda sebaiknya juga bekerja-sama dengan yang lain tanpa memperlihatkan seolah-olah agama anda adalah satu-satunya agama vang benar. Agama Buddha adalah agama yang memberikan kebebasan. Agama Buddha juga menghormati kebebasan agama-agama lain. Akal sehat dan pengertian anda memegang peranan penting dalam mempraktekkan agama ini.

        Banyak orang dibebani oleh pertanyaan ini: Apabila membasmi keinginan adalah hal yang perlu dalam mencapai tujuan akhir sesuai dengan agama Buddha, bagaimana kita dapat hidup tanpa keinginan? Tak dapat disangkal bahwa keperluan tertentu seperti: makanan, pakaian, tempat tinggal, transportasi dan obat-obatan diperlukan dalam kehidupari kita. Pada waktu yang sama kita juga membutuhkan penghasilan yang cukup untuk dapat menunjang keluarga kita dan memenuhi tugas-tugas kita. Keterikatan kepada seorang suami atau istri dan anak-anak adalah wajar. Kita tidak menganggap keterikatan yang demikian sebagai keinginan yang tidak bermoral menurut agama Buddha. Sang Buddha tidak menyatakan bahwa keperluan untuk tetap hidup adalah sebuah keinginan yang menimbulkan karma-karma buruk.

        Jadi, agama Buddha tidak menganggap hal ini sebagai suatu "dosa". Apa yang ingin dijelaskan oleh Sang Buddha adalah bahaya yang akan timbul dari hasrat mementingkan diri sendiri. Orang-orang mengembangkan hasrat mementingkan diri sendiri itu untuk kesenangan duniawi dan membuat hidup mereka berlanjut terus, baik di dunia ini maupun pada kehidupan selanjutnya. Dalam kehidupan ini tidak ada salahnya kita memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang ada, asalkan saja kita tidak mengembangkan keinginan yang tidak senonoh yang mungkin merugikan, tidak saja bagi diri sendiri, tetapi juga orang lain. Bukan hanya agama Buddha, agama lain pun menjelaskan bahwa mementingkan diri sendiri adalah berbahaya.

        Jika hasrat mementingkan diri sendiri itu berbahaya, persoalan berikutnya adalah bagaimana membasminya. Jika kita melihat betapa sulitnya menghentikan keinginan atas harta milik pribadi, kita seharusnya mengerti bahwa orang lain pun mencintai apa yang mereka miliki. ltulah sebabnya mengapa ketika kita mempelajari ajaran yang menjabarkan untuk tidak mengambil barang-barang orang lain, kita menghentikan keinginan untuk memiliki harta benda orang lain. Jika kita menghentikan hasrat mementingkan diri sendiri ini, kita membiarkan orang lain hidup tentram tanpa rasa takut akan harta benda mereka. Hal ini termasuk suatu dana terhadap orang lain. Ketika kita sadar akan keinginan mementingkan diri sendiri ini, kita seharusnya mengambil langkah-langkah untuk melatih pikiran kita dan menganggap semua kebutuhan kita sebagai sesuatu yang tidak kekal tanpa mengembangkan rasa kemelekatan, dengan menganggap hal-hal itu semata-mata hanya sebagai alat penolong untuk memenuhi kewajiban-kewajiban kita. Misalnya, jika kita mempunyai banyak uang, kita sebaiknya melihat hal itu sebagai suatu kesempatan yang baik untuk menolong sesama dan untuk mengembangkan rasa kedermawanan kita. Jika di antara kita tidak memiliki uang untuk disumbangkan, kita sebaiknya bermurah hati dengan kemampuan dan waktu yang kita miliki demi kesejahteraan umat manusia. Kita harus berpikir bahwa kita merupakan penjaga harta benda kita dan kita pun bertanggung-jawab dalam memeliharanya. Kalau kita hanya terikat kepada materi saja, kita akan mengalami masalah-masalah dan kesulitan-kesulitan. Di samping itu rasa takut, rasa tidak aman dan curiga akan mengganggu ketenangan batin kita. Hal ini merupakan beban yang harus kita tanggung karena kemelekatan-kemelekatan kepada harta milik kita. Ada banyak kasus dari orang-orang yang sedemikian melekat kepada harta benda sehingga mereka menjadi gila karena kehilangan harta bendanya baik disebabkan oleh bencana alam, atau pencurian. Agama Buddha mengajarkan kita agar tidak terikat dengan tidak beralasan kepada materi-materi karena kita tidak dapat membawanya serta ketika kita meninggal.

        Kalau kita benar-benar menginginkan kedamaian, satu-satunya hal yang dapat kita kerjakan adalah mengurangi semua tanggung-jawab dan membagi harta benda kita kepada orang lain yang berhak untuk menerimanya atau mendermakan dengan ikhlas untuk organisasi-organisasi keagamaan. Kalau kita mengerjakan hal tersebut, maka pikiran kita dapat terbebas dari keserakahan atas harta benda. Jika anda ingin mengembangkan kehidupan batin, maka anda harus sudah siap untuk mengorbankan hak milik anda demi kesejahteraan dan kebahagiaan orang lain yang sedang menderita kemiskinan dan sakit atau untuk orang lain yang patut menerimanya. Tetapi tidak berarti memiliki kekayaan harus datang secara wajar dan sebagai hasil mawas diri yang benar. Jika seseorang tidak siap merelakan harta miliknya atau orang-orang yang disayanginya, sehingga mendorong dirinya untuk tetap mempertahankannya, ia akan sangat menderita dan hal
ini tidak akan menolong perkembangan batinnya. Cara penyingkirannya harus didahului dengan kebijaksanaan dan pengertian.

        Orang-orang yang belum siap melakukan hal tersebut sebaiknya tidak memaksa untuk menyingkirkan kemelekatan-kemelekatan mereka. Karena tidak akan ada kesempatan untuk menyesal di kemudian hari. Ini adalah persyaratan utama dalam agama Buddha. Orang-orang yang belum mempelaiari bagaimana mempertahankan kepuasan dalam menjalani kehidupan duniawi tidak pernah menambah kepuasan, tetapi sebaliknya mengembangkan rasa iri hati, curiga dan takut. Mereka mengalami rasa cemas dan tidak aman. ltulah mengapa Sang Buddha mengatakan : "Santuthi Paramam Dhamam" —Kepuasan adalah kekayaan yang termulia.

        Orang miskin beranggapan bahwa orang kaya sangat bahagia dan beruntung. Padahal banyak orang kaya yang dihantui ketakutan dan ketegangan, sedangkan orang miskin tidak mengenal ketakutan dan ketegangan yang mengganggu pikiran mereka. Bahkan banyak orang kaya yang selain mengalami masalah-masalah demikian ia pun harus menghadapi kesulitan-kesulitan yang lain. Orang-orang miskin dan orang-orang kaya hanya dapat berbahagia jika merasa puas dan tidak mengharapkan apa yang mereka tidak dapatkan.

        Suatu hari ketika Sang Buddha sedang berjalan-jalan, Beliau terpaksa tidur di dalam hutan tanpa tempat berlindung sedikitpun selama musim dingin. Pagi berikutnya ketika Beliau keluar dan hutan, Beliau bertemu dengan seorang pangeran. Pangeran tersebut bertanya kepada Sang Buddha dari mana beliau datang. Sang Buddha mengatakan bahwa la datang dari hutan dimana la bermalam. Ketika pangeran menanyakan apakah Beliau tidur dengan bahagia dan damai. Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau tidur dengan tenang dan bahagia tidak hanya malam itu tetapi setiap malam.

        Mengapa Beliau mengatakan bahwa Beliau selalu dapat tidur dengan tenang? Hal ini karena tidak adanya ketakutan atau gangguan dalam pikiranNya dan pikiranNya selalu bersih. Beliau bebas dari masalah-masalah keluarga atau masalah-masalahNya sendiri. Oleh karena itu, Beliau tidur dengan tenang. Tetapi pikiran kita belum terbebas dari masalah-masalah yang ada. ltulah sebabnya mengapa kita tidak bahagia dan mengalami kesukaran untuk tidur dengan tenang. Kemelekatan-kemelekatan memang dapat menyenangkan perasaan kita sejenak, tetapi juga mengganggu ketenangan pikiran kita.

        Tetapi Sang Buddha tidak menganjurkan kita untuk segera melepaskan semua kemelekatan-kemelekatan seandainya kita ingin menjalani kehidupan berumah-tangga. Beliau menunjukkan bagaimana kemelekatan-kemelekatan dapat menimbulkan gangguan-gangguan, tetapi juga berusaha untuk menjelaskan bahwa hidup dapat menjadi sangat sengsara atau membosankan tanpa kemelekatan-kemelekatan. Oleh karena itu ketika kita mengembangkan kemelekatan-kemelekatan kita harus mempertimbangkan keburukan-keburukan dari kemelekatan tersebut agar dapat menjauhkan kecemasan dan gangguan-gangguan yang lain. Kita tidak mengetahui perbedaan antara kepuasan emosional dan kebahagiaan. Perasaan senang yang orang-orang rasakan melalui panca indera memang dapat memuaskan dahaga yang haus akan keinginan mereka yang disebut kepuasan emosional. Orang-orang menganggap kepuasan ini sebagai suatu kebahagiaan. Mereka tergila-gila untuk mendapatkan kepuasan, namun hampir semua masalah-masalah manusia, korupsi dan praktek-praktek yang tidak bermoral disebabkan oleh nafsu dan kesenangan indria. Kedamaian dan ketenangan yang kita dapat alami dalam pikiran kita dapat dianggap sebagai kebahagiaan. Tidaklah mungkin mengalami kebahagiaan ini apabila ketakutan, kecurigaan, kesenangan, iri hati dan tanggung-jawab mengganggu pikiran. Ambisi-ambisi yang kita kembangkan dapat menyebabkan kekecewaan dan frustrasi jika mereka memang bersifat ingin mementingkan diri sendiri. Pengetahuan agama penting bagi kita dalam menghadapi masalah-masalah demikian dan dalam mempertahankan sikap mental yang sehat agar dapat terhindar dari kecemasan-kecemasan. Pengertian ini juga penting bagi kita dalam menghadapi kondisi-kondisi duniawi yang sesungguhnya, yang tidak menyenangkan. Segala sesuatu yang ada adalah pangkal dari kondisi duniawi yang bersifat universal.

        Jika perubahan-perubahan dan perpisahan terjadi, kita harus dapat menyesuaikan cara hidup kita. Ini tidak berarti bahwa agama Buddha melarang orang mempunyai keinginan dan kemelekatan. Agama Buddha tidak pernah menyatakan bahwa orang harus mengikuti peraturan-peraturan itu, melainkan menerangkan akibat-akibat yang terjadi jika seseorang menjadi budak dari keinginan dan kemelekatannya.

        Seseorang tidak dapat mengalami kesenangan-kesenangan duniawi dan kemelekatan tanpa mengalami kecemasan dan kesengsaraan. Mereka harus dipersiapkan untuk menerima akibat-akibatnya jika mereka benar-benar ingin menikmati kehidupan duniawi melalui kesenangan indria. Orang-orang yang tidak menyadari akibat-akibatnya akan kecewa sekali ketika mengalami umur tua atau sakit, mereka tidak dapat lebih lama lagi menikmati kesenangan-kesenangan. Orang yang tidak siap menghadapi masalah-masalah ini akan melakukan bunuh diri atau tinggal di rumah sakit jiwa. Jadi jangan menganggap agama Buddha sebagai sebuah agama yang pesimis hanya karena agama Buddha menunjukkan kehidupan yang nyata.

        Kita telah membicarakan cara mengurangi keinginan dan mengapa kita perlu melaksanakannya. Sejauh ini kita telah menerangkan sifat-sifat keinginan kita atas milik orang lain dan sifat keinginan atas milik kita sendiri. Tetapi kita masih mempunyai keinginan atas badan jasmani kita. Keinginan dan kemelekatan ini sedemikian kuat sehingga kita mau melindungi atau bahkan menyelamatkan sebuah jari saja dari tubuh kita dengan menghabiskan uang ribuan dolar. Banyak orang tidak ingin mendanakan sesuatupun dari tubuh mereka untuk kesejahteraan orang lain. Mereka tetap mempertahankan fisik mereka dengan mengorbankan kehidupan orang lain. Tetapi, orang yang bijaksana dengan senang hati akan memberikan sesuatu dari tubuh mereka demi kesejahteraan orang lain. Dengan berbuat demikian, mereka mengurangi kemelekatan jasmani yang kuat. Setelah mereka menyadari keadaan fisik yang sesungguhnya dan tidak kekal ini, barulah mereka akan setuju untuk memberikan bagian-bagian tubuh mereka agar dapat menyelamatkan kehidupan orang lain.

        Seseorang yang dapat memahami kehidupan yang tidak pasti atau tidak kekal ini, dengan sepenuh hati akan menyumbangkan kehidupannya untuk menyelamatkan orang lain. Bagi orang tersebut prinsip-prinsip moral dan kebajikan lebih penting dari kehidupannya sendiri. Inilah cara orang-orang yang penuh pengertian mengurangi kemelekatan mereka setahap demi setahap. Karena tujuan utama dari pemusnahan kemelekatan adalah membebaskan diri dari semua keberadaan jasmani dan penderitaan batin.

        Sang Buddha mengurangi kemelekatanNya secara berangsur-angsur dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain dengan menanam kebajikan-kebajikan, memusnahkan kekotoran batin dan mengorbankan kesenangan duniawiNya, bahkan banyak peristiwa dalam kehidupanNya sendiri dicurahkan demi kesejahteraan orang lain untuk mencapai tujuanNya yaitu Penerangan Sempurna untuk menyelamatkan orang lain dari penderitaan.

        Orang-orang yang berhati mulia dengan senang hati akan mengorbankan kehidupan mereka untuk meringankan penderitaan orang lain. Bagi mereka kehidupan tidaklah berarti dibandingkan dengan dana kepada orang lain yang jauh lebih penting. Jesus Kristus, Socrates, Mahatma Gandhi, dan Martin Luther King juga harus mengorbankan kehidupan mereka demi kesejahteraan orang lain. Tetapi, nama-nama mereka tidak akan pernah terlupakan. Seluruh dunia mengingat dan menghargai mereka. Sebaliknya, mereka yang penuh dengan keserakahan dan merusak perdamaian dan kebahagiaan umat manusia tidak pernah dihargai atau dikenang setelah kematian mereka, melainkan hanya diingat dengan penuh rasa takut dan muak. Coba saja bayangkan bagaimana orang memandang Stalin dan Hitler sekarang.

        Nilai manusia yang sesungguhnya terletak pada kebajikan-kebajikan dan prinsip-prinsip mereka dan bukan pada badan jasmani saja. Menyadari hal ini kita tidak boleh mencoba mempertahankan badan jasmani kita dengan melukai orang lain.

        Walaupun kita telah memusnahkan keterikatan badan jasmani, kita masih mempunyai keinginan untuk hidup dengan kelahiran yang berulang-ulang. Beberapa orang mempunyai nafsu keakuan untuk menikmati kehidupan abadi di Surga atau menikmati kesenangan Surgawi. Sedangkan yang lainnya merindukan kelahiran dalam keluarga yang sangat kaya untuk mendapatkan kesenangan hidup duniawi; semua ambisi-ambisi itu adalah tidak bermanfaat. Ambisi-ambisi demikian dapat diklasifikasikan sebagai nafsu keinginan. Suatu hari kelak, kita harus menanggalkan segala macam keinginan. Jika tidak, kita tidak akan pernah memperoleh perdamaian yang abadi, kebahagiaan, kebebasan, atau keselamatan. Cita-cita untuk mendapatkan kebebasan ini jangan dikacaukan dengan ambisi keakuan atau keinginan untuk memperoleh kesenangan-kesenangan nafsu duniawi. Saat ini seluruh dunia telah berubah menjadi sebuah medan perang karena nafsu keakuan. Mengapa orang-orang ingin melakukan kejahatan dan menipu orang lain? Mengapa mereka ingin mengikuti semua jenis kegiatan yang tidak bermoral dan mempraktekkan hal-hal yang tidak halal? Kesemuanya itu disebabkan oleh keinginan yang didasarkan atas rasa keakuan untuk mengejar kenikmatan. Kegiatan-kegiatan yang demikian menyebabkan stress pada kehidupan mereka dan akan menyebabkan penderitaan mental.

        Ketidak-abadian atau eksistensi yang berulang-ulang merupakan pil yang dilapisi gula yang dilemparkan kepada kita untuk memuaskan keinginan kita. Tanpa konsep tentang kehidupan yang abadi ini, orang-orang tidak dapat menguraikan keinginan mereka yang tidak terpuaskan. Orang-orang telah menciptakan suatu khayalan tentang tempat abadi, di mana mereka dapat menetap dan menikmati kehidupan mereka tanpa adanya penderitaan. Secara alamiah mereka melekat pada kepercayaan yang menyenangkan dan tidak pernah mencoba mengerti apakah kepercayaan yang demikian benar atau tidak. Mereka tidak mengetahui sifat keadaan yang sesungguhnya. Kadang-kadang beberapa umat Buddha yang tidak mengerti ajaran agama Buddha akan mudah terpengaruh kepada orang-orang yang membicarakan tentang
kebahagiaan di Surga.

        Jika orang-orang beragama datang dan memberitahukan mereka bahwa ada tempat semacam itu dan dengan penggambaran yang menggiurkan, mereka percaya saja kepada orang-orang tersebut, dan mengorbankan keinginan atas kehidupan yang abadi. Banyak orang tidak siap menerima kesunyataan. Mereka berpikir bahwa kesunyataan itu haruslah menyenangkan mereka, kalau tidak, mereka akan berbalik menjadi orang yang tidak akan mendengarkan kesunyataan sejati itu sama sekali. Kesunyataan itu mungkin tidak menyenangkan bagi orang yang menjadi budak dari kesenangan-kesenangan indrianya. Tetapi sesungguhnya kesunyataan itu alamiah dan tidak memihak. Kita pasti tidak akan menghadapi kekecewaan jika kita mempelajari kualitas alam semesta di dunia bahwa kesunyataan itu tidak konsisten dengan kebutuhan keakuan kita. Kita harus mengerti hukum kesunyataan yang tidak dapat diubah untuk disesuaikan dengan kesenangan (nafsu-nafsu) kita.

        Keberadaan kita yang berulang-ulang di alam semesta dengan tumimbal lahir yang disebabkan oleh karma kita sendiri tidak akan mengurangi kemelekatan dan keterikatan kita. Setiap kelahiran merupakan suatu peristiwa kelapukan, kesakitan dan kematian. Ini adalah keberadaan sesuatu yang alamiah dan tidak memuaskan melalui tumimbal lahir di sembarang tempat di alam semesta. Makin lama kita terus berada dalam roda kelahiran dan tumimbal lahir, makin lama kita akan menderita. Kita sama sekali tidak akan pernah mencapai apa yang kita perlukan dalam memuaskan keinginan kita. Pemuasan keinginan kita merupakan suatu kekalahan di medan perang. Segera setelah kita memuaskan suatu keinginan, kita menjadi lelah terhadap hal ini dan mencari jalan yang baru untuk memuaskan keinginan yang lain. Sebagai
contoh, kita mengharapkan durian ketika telah lewat musimnya, tetapi ketika kita mempunyai durian setiap hari, kita akan menghendaki buah-buahan yang lain. Pecandu obat bius tidak akan merasa puas karena mereka selalu mencari obat-obat bius yang lebih baru dan lebih keras. Sang Buddha tidak membicarakan tentang kehidupan yang kekal atau abadi untuk menarik simpati kita, sebab Beliau tahu tentang sifat nyata dari kehidupan. Beliau ingin agar kita mengerti ketidak-pastian roda kehidupan.

        Kelahiran adalah sebab utama dari semua persoalan-persoalan atau kebahagiaan-kebahagiaan kita. Dengan hanya mempunyai beberapa kepercayaan yang samar-samar, kita tidak akan memperoleh apa yang kita inginkan. Hal-hal itu adalah khayalan belaka. Sifat alam semesta itu tidak berubah dan tidak akan menolong kita hanya karena kita ingin mengubahnya. Kita merupakan pelaku kekuatan-kekuatan alam. Namun hukum alam ini akan berlaku bagi siapa saja yang berbuat kesalahan tanpa memihak ataupun berat sebelah. Seorang anak yang tidak berdosa mungkin meninggal karena kebodohannya ketika menyentuh kabel yang beraliran listrik. Kita tidak dapat memperdebatkan bahwa dia harus hidup karena dia tidak bersalah. Sebab kematiannya adalah karena kebodohan saja. Hukum kesunyataan tidak menunjukkan suatu kebencian, kejahatan, pembalasan dendam atau kemarahan. Oleh sebab itu, kewajiban kita adalah hidup sesuai dengan hukum ini dan menyesuaikan cara hidup kita tanpa melanggarnya, jika kita ingin menghindari penderitaan.

        Kita tidak dapat mengganti hukum kesunyataan ini dengan bersembahyang atau berdoa kepada suatu makhluk agar memberi kita apa yang kita butuhkan untuk memenuhi keinginan-keinginan kita. Inilah yang diajarkan Sang Buddha kepada kita. Kita tidak dapat mengerjakan sesuatu dan kemudian semata-mata mengharapkan jawaban untuk mencegah terjadinya sesuatu. Jika kita mengerjakan sesuatu yang baik, kita akan menerima hasil yang baik, jika kita melakukan sesuatu yang jahat, kita akan dikejar oleh akibat-akibat perbuatan jahat itu.

        Masing-masing orang mempunyai bermacam keinginan yang berbeda: Agar tidak dilahirkan. Orang-orang akan bertanya bagaimana keinginan "Yang tidak ada" dapat menjadi keinginan. Tentu saja orang-orang yang menganut kepercayaan ini dikarenakan oleh frustrasi mereka yang diakibatkan oleh keinginan mereka yang tidak dapat dipuaskan. Beberapa orang tidak menginginkan kelahiran lagi di dunia ini atau di alam lain. Karena keinginan ini, mereka melakukan bunuh diri. Beberapa orang percaya bahwa tidak akan ada kehidupan yang lain setelah kehidupan ini. Tetapi sepanjang kekotoran batin masih berkuasa, tidak ada seorang pun dapat menghentikan tumimbal lahir.

        Jika kita tidak bahagia dengan kehidupan ini, penyucian batin adalah satu-satunya jalan keluar untuk menghentikan kelahiran. Jika pikiran itu suci dari segala keinginan duniawi, hasrat, atau keinginan keakuan, kita akan terbebas dari masalah jasmani dan rohani serta penderitaan yang harus kita hadapi. Ambisi-ambisi harus dihindarkan untuk melayani orang lain seperti melayani kita sendiri tanpa hasrat keakuan. Ambisi-ambisi yang seperti itu berarti pembebasan sebenarnya dari kondisi-kondisi duniawi.

        Oleh karena itu marilah kita ingat bahwa agama Buddha tidak bertentangan dengan orang-orang yang mempunyai masa-masa yang menyenangkan selama mereka hidup di dunia ini. Sang Buddha mengajarkan jalan tengah yang menganjurkan cara hidup yang masuk akal dan ajaran ini tidak menjatuhkan hukuman yang sewenang-wenang maupun menjadi hamba yang berlebih-lebihan. Agama Buddha mengajarkan
kita untuk secukupnya menikmati kesenangan-kesenangan indria yang membahayakan. Pada waktu yang sama Sang Buddha menganjurkan agar setahap demi setahap dan dengan tetap mengembangkan kehidupan batin, yang pada akhirnya akan menuju kepada pemusnahan semua keinginan atau kemelekatan, yang menjadi sebab utama ketidak-puasan. Umat Buddha tidak diharapkan menjadi orang-orang suci sepanjang waktu. Lebih sering mereka diperlihatkan bagaimana memperoleh pembebasan akhir dari kesedihan yang berlangsung terus menerus dengan tumimbal lahir. Cara melaksanaannya adalah dengan melatih moral (sīla), konsentrasi (samādhi) dan kebijaksanaan (pańńa). Bahkan penerangan sempurna memerlukan banyak sekali kelahiran untuk mencapai tujuan ini. Agama Buddha merupakan agama yang mudah dilaksanakan.***


Sumber:

SALAHKAH BILA KITA BERAMBISI?; Tim Redaksi Majalah Buddhis Indonesia (penerjemah); Jakarta, Juli 1995.