Pengertian Puasa Dalam Agama Buddha

oleh: Samanera Suguno

        Pada umumnya puasa dipandang sebagai suatu cara untuk menyucikan diri, memperoleh kesaktian, keselamatan, kekayaan dan sebagainya. Puasa juga dianggap sebagai suatu ritual untuk membersihkan dosa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan Depdikbud, Balai Pustaka dan 'The Concise Oxford Dictionary'[1] puasa berarti menghindari makan dan minum dengan sengaja (terutama yang bertalian erat dengan keagamaan).

[1] The Concise Oxford Dictinary, Oxford University Press: "Fast (v) abstain from all or some kinds of food and drink, esp. as religions observance".

        Bagi kita, orang timur yang beragama dan percaya akan nilai-nilai moral, puasa merupakan bagian dari praktek kehidupan spiritual kita. Di mana dalam prakteknya setiap agama atau sistem kepercayaan mempunyai cara sendiri-sendiri. Sehingga di kalangan masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai 'muiti religious people' (banyak agama dan sistem kepercayaan) terdapat banyak istilah yang mengacu pada pengertian puasa. Sebagai contoh di kalangan masyarakat kebatinan Jawa puasa dikenal dengan istilah 'tirakat atau laku'. Namun istilah tersebut mempunyai arti yang lebih luas dari apa yang telah diartikan dalam kamus. Di sini istilah 'tirakat atau laku' berarti tidak hanya menghindari makan dan minum saja, tetapi lebih dan itu ditujukan untuk mengendalikan diri dari hawa nafsu jahat seperti rasa dengki, iri hati, marah, serakah dan sebagainya.

        Sebelum kita menganalisa pengertian puasa sesuai dengan Buddha Sasana, marilah kita tinjau beberapa praktek berpuasa yang telah dipraktekkan oleh masyarakat India 2500 tahun yang lalu. Di India pada zaman Sang Buddha sekitar abad 6 SM, puasa merupakan hal yang sangat populer terutama di kalangan para pertapa (samana). Pada umumnya mereka berpuasa dengan tujuan membebaskan 'jiwa atau atta' yang dibelenggu oleh badan jasmani yang kotor akan perbuatan-perbuatan jahat. Jiwa dianggap sebagai hal yang suci dan diibaratkan sebagai buah kelapa yang terbungkus oleh kulit dan cangkoknya. Untuk mendapatkan buah kelapa (kernel) kita harus mengupas kulit dan cangkoknya. Demikian juga salah satu cara untuk membebaskan jiwa adalah dengan jalan penyiksaan diri. Salah satu contoh penyiksaan diri adalah berpuasa yang berlebihan. Contoh yang paling tepat adalah apa yang diajarkan oleh agama Jaina.[*]

[*] Jaina Mahāvīra adalah pendiri agama ini dan diceritakan bahwa dia hidup pada zaman yang sama dengan Sang Buddha. Dalam beberapa hal dia mirip dengan Sang Buddha. Dia berasal dari keluarga kesatria keturunan suku Jinata, sedangkan Pangeran Siddhattha berasal dari keluarga kesatria keturunan Sakya. Setelah menikah Jaina Mahāvīra mempunyai seorang putri (Pangeran Siddhattha mempunyai seorang putra). Keduanya sama-sama meninggalkan kehidupan sebagai perumah tangga dan menjadi petapa serta keduanya mengklaim telah mencapai tingkat kesucian.[2] Sebelum bergelar Jaina Mahāvīra, dia bernama Vardhmana. Tetapi setelah mengklaim dirinya suci, dia bergelar Jaina yang berarti penakluk. Dalam Samańńaphala Sutta dia dikenal dengan nama Nigantha Nātaputta dan termasuk salah satu guru yang mempunyai pandangan salah. Diceritakan juga setelah dia meninggal, ajarannya terbagi menjadi beberapa sekte. Dua di antaranya adalah Digambara (pertapa yang bertelanjang bulat) dan Shvetambara (pertapa yang menggunakan kain putih sebagai penutup). Disebutkan bahwa setelah muridnya yang terpandai Upāli menjadi pengikut Sang Buddha, dia sangat terpukul dan jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Dalam Upāli Sutta dari Majjhima Nikāya disebutkan bahwa setelah berdebat dangan Sang Buddha, Upāli berkesimpulan bahwa pandangan gurunya tentang teori kamma adalah salah dan pandangan Sang Buddha adalah benar. Sehingga dia meminta kepada Sang Buddha untuk diterima sebagai upasaka.
[2] Dasgupta, Surendranath: A History Of Indian Philosophy, vol. I, hlm 174

        Menurut agama Jaina kamma yang dihasilkan oleh badan, pikiran, dan ucapan adalah suatu infra atomic particle (partikel yang sangat halus) yang disebut dengan Karma Vargana. Dengan kata lain kamma berwujud material yang sangat halus dan bisa mengotori 'jiwa' manusia.

        Kamma yang masuk ke dalam 'jiwa' diibaratkan sebagai air yang mengalir menuju kolam melalui beberapa saluran.[3] Pembebasan dapat dicapai dengan jalan membakar kamma buruk yang telah menjerat 'jiwa' yang disebut dengan Purana Kamma dan menyetop kamma baru yang mungkin akan muncul (Nava Kamma). Puasa adalah salah satu cara untuk membakar kamma buruk yang telah melilit 'jiwa'.

[3] Dasgupta, Surendranath: A History Of Indian Philosophy, vol. I, hlm 192

        Pertapa Siddhattha juga telah mempraktekkan berbagai macam penyiksaan diri yang ada pada waktu itu. Di antaranya adalah dengan tidur di atas kayu atau semak yang berduri, mandi dengan air dingin pada waktu musim yang paling dingin, berjalan dengan merangkak atau berbuat seperti sapi, seperti anjing, tidak makan sampai berhari-hari bahkan sampai berbulan-bulan.

        Mahasaccaka Sutta dari Majjhima Nikaya menyebutkan bahwa Pertapa Siddhattha mulai bertapa dengan makan makanan lunak dalam jumlah yang sangat sedikit, setetes demi setetes. Kemudian dilanjutkan dengan menghindari segala macam makanan. Diceritakan juga sewaktu menjalankan asetikism (kehidupan bertapa, red), Pertapa Siddhattha duduk di bawah pohon tertentu dan hanya mengambil makanan yang bisa dijangkau oleh tangannya.[4]

[4] Werasinghe, Henry: Fact of Life A Buddhist Perspective, halaman 3

        Pada kenyataannya melalui pengalaman pribadi Pertapa Siddhattha Gotama berkesimpulan bahwa praktek-praktek yang demikian hanya memperlemah dirinya dan sebagai akibatnya menghambat pencapaian tingkat kesucian.[**]

[**] Dalam Jataka Nidana diceritakan bahwa setelah mencapai penerangan sempurna. Sang Buddha menyatakan terima kasihnya kepada pohon Bodhi dengan jalan berpuasa selama 49 hari. Namun perla dicatat bahwa hal demikian bukan merupakan suatu cara penyiksaan diri atau ritual untuk menyucikan diri. Dan alasan-alasannya disebutkan dengan jetas dalam Vinaya Pitaka. Dalam sutta itu disebutkan bahwa selama periode tersebut Sang Buddha mengalami kebahagiaan dalam Jhana, kebahagiaan dalam magga (jalan menuju nibbāna) dan menikmati buah kebahagiaan dari jalan tersebut (Nibbāna). Sehingga dalam kondisi demikian, Beliau tidak memerlukan segala macam makanan dan sesuatu yang lain untuk memelihara tubuhnya.[5]
[5] Vinaya Pitaka, PTS, London: Vol. I, hlm 80 "Etthantare n'eva mukhadovanam nasarirapatijagga nam na aharakiccam ahosi, jhanasukhena, magga su khena, phalasukhen'eva vitinamesi".

        Oleh karena itu. Sang Buddha memandang rendah cara-cara penyiksaan diri yang dipraktekkan oleh kaum brahmana, Jaina dan para pengikut sekte Ajivaka sebagai sesuatu yang menyakitkan (dukkho). Bukan jalan ariya (anariyo) dan merupakan sesuatu yang membahayakan (anatthasamhito)[6].

[6] Samyutta Nikaya, PTS, London: vol V, hlm.421

        Setelah menyadari akan bahaya yang diakibatkan dari dua jalan ekstrim ini. Sang Buddha mengambil Jalan Tengah (majjhima patipada) dan menganjurkan para pengikutnya untuk mengikuti jalan tersebut. Dalam kitab Anguttara Nikaya disebutkan bahwa Beliau menganjurkan kepada para bhikkhu untuk bersikap moderat dalam hal makan. Menurut Beliau kehidupan suci tidak bisa ditempuh tanpa mengikuti jalan tersebut. Praktek dalam hal makan diterangkan sebagai berikut: mengambil makanan (makan) dengan hati-hati dan penuh perhatian serta mengetahui tujuan dari makanan tersebut. Adapun tujuan makan adalah bukan untuk kesenangan, bukan untuk mabuk-mabukan, bukan untuk menggemukkan badan, dan bukan untuk memperindah tubuh.Tetapi hanya untuk mempertahankan tubuh atau membuat tubuh tetap berdiri tegak, melangsungkan proses kerja tubuh, menghilangkan rasa ketidak-enakan atau lapar, dan membantu kelangsungan kehidupan suci.[7]

[7] Majjhima Nikaya, Brahmayu Sutta, PTS, London: vol l hlm.138 cf 139

        Pada prinsipnya, makan adalah untuk hidup dan bukan sebaliknya hidup untuk makan atau mencari kesenangan belaka seperti yang dipraktekkan oleh kaum epicurean.

        Sementara Sang Buddha memandang rendah praktek-praktek penyiksaan diri, termasuk berpuasa yang berlebihan. Pada kesempatan yang sama Beliau menyatakan akan bahaya dari praktek makan yang tak terkontrol. Kitab Dhammapada menyebutkan dengan jelas bahwa orang yang hidupnya ditujukan pada hal-hal yang menyenangkan, inderanya tidak terkendali, makan tak mengenal batas, malas serta tidak bersemangat, maka Mara (penggoda) akan menguasai dirinya. Bagaikan angin dengan mudah menumbangkan pohon yang lapuk.[8]

[8] Kitab Suci Dhammapada, Yayasan Dhammadipa Arama : hlm 8

        Lebih lanjut Visuddhimagga menganalisa secara detail tentang bahaya yang diakibatkan dari praktek makan yang tak terkontrol. Makan yang berlebihan menimbulkan kemuakan atau kebosanan, kelambanan, kemalasan, dan mengundang celaan bagi para bijaksana. Demikian juga dalam Theragatha dan kitab Khuddhaka Nikaya disebutkan bahwa makan yang berlebihan dapat menghambat perkembangan kehidupan spiritual. Teks tersebut menyebutkan bahwa Sariputta Mahā Thera menasehatkan kepada para bhikkhu untuk tidak makan makanan sampai perut terisi penuh. Tetapi dengan menyisakan ruangan cukup untuk empat atau lima suap nasi.

        Sejarah yang terdapat dalam kitab suci Tipitaka mencatat bahwa pada tahap awal pembentukan Bhikkhu Sasana (pasamuan para bhikkhu), tidak terdapat peraturan khusus tentang hal makan. Sebagai contoh kelima pertapa teman Pertapa Siddhattha Gotama yang akhirnya menjadi bhikkhu (Kondańńa, Bhadiya, Vappa, Mahanama, dan Assaji) mempunyai sila yang tinggi. Namun lama kelamaan setelah banyak orang yang berniat tidak baik masuk dalam Bhikkhu Sasana, sebagai konsekuensinya jumlah bhikkhu yang tidak disiplin juga semakin banyak. Sebagian dari mereka menjadi bhikkhu bukan untuk tujuan pencapaian kesucian, tetapi mereka bertujuan untuk mendapatkan dunia materi, ingin bebas dari pajak, hukuman, dan sebagainya.

        Sebagian dari para bhikkhu makan dengan tak mengenal batas waktu atau dengan kata lain mereka makan sesuai dengan keinginannya (dalam jangka waktu 24 jam). Hal demikian mendatangkan celaan bagi para bijaksana. Latukikopama Sutta menyebutkan bahwa pada suatu malam ada seorang bhikkhu yang pergi untuk mengumpulkan makanan (pindapata). Pada waktu itu terdapat seorang upasika yang membuang air keluar dari dalam rumahnya. Secara tidak sengaja air tersebut mengenai bhikkhu yang kebetulan berdiri di depan rumahnya. Karena merasa takut dan bersalah dia lapor kepada Sang Buddha.

        Dalam teks yang sama juga diceritakan bahwa sebagian dari para bhikkhu memasak makanan untuk makan malam di pondok mereka.[9] Setelah melihat hal-hal demikian dan mempertimbangkan beberapa bahaya yang diakibatkan dari makan yang tak terkontrol. Sang Buddha merasa perlu untuk menetapkan aturan tentang hal makan bagi para bhikkhu.

[9] Majjhima Nikaya, Latukikopama sutta, PTYS, London: vol I, hlm 448 "yakacci bhikkave sankhantiyo sabba te rattim, appa diva"

        Sang Buddha adalah seorang guru yang sangat bijaksana, Beliau berbuat sesuai dengan apa yang Beliau ajarkan, dan mengajar sesuai dengan apa yang Beliau praktekkan. Beliau bukan seorang otoriter atau diktator. Peraturan-peraturan yang telah ditetapkan untuk para bhikkhu berdasarkan keperluan. Sebelum menetapkan beberapa aturan makan dan aturan lainnya, langkah yang diambil oleh Sang Buddha adalah dengan memberikan contoh yang baik kepada para murid-Nya. Kemudian Beliau menganjurkan kepada para murid-Nya untuk mengikuti apa yang telah Beliau praktekkan.

        Dalam Brahmajala Sutta dari kitab Digha Nikaya disebutkan bahwa Sang Buddha menghindari makan pada waktu yang salah. Beliau menghindari makan malam dan hanya makan sekali sehari (eka bhattika). Lebih lanjut dijelaskan dalam Digha Nikaya Atthakatha Sumangala Vilasini disebutkan ada dua macam makanan yaitu makan pagi (patarasa bhatta) dan makan malam (sayamasa bhatta). Patarasa bhatta hanya diperbolehkan makan dalam batas waktu dari pagi sampai tengah hari. Sedangkan sayamasa bhatta hanya diperbolehkan makan dalam batas waktu dari tengah hari sampai fajar pagi.

        Para bhikkhu hanya dipeibolehkan untuk mengambil patarasa bhatta saja. Karena biasanya para bhikkhu mengambil makan pagi dan makan siang. Lain halnya dengan ekasana bhojanam (makan dengan sekali duduk). Maksudnya seorang bhikkhu setelah makan dan kemudian berdiri, tidak diperbolehkan duduk dan makan pagi. Ekasana bhojanam juga sering diterjemahkan dengan makan sekali sehari. Dalam Kakacupama Sutta dari Kitab Majjhima Nikaya Sang Buddha berkata "Aham kho bhikkhave ekasana bhojanam bhunjami" yang berarti "Oh bhikkhu, Saya selalu membiasakan untuk makan sekali sehari".[10] Lebih lanjut Sang Buddha menerangkan bahwa sebagai akibat dari kebiasaan tersebut, Beliau selalu sehat dan kuat serta hidup dengan penuh kebahagiaan. Tujuan obyektif dari Sang Buddha untuk mendukung dan melatih para bhikkhu agar hidup dengan makan sekali sehari.

[10] Majjhima Nikaya, Kakasupama Sutta, PTS, London : vol I, hlm 124

        Awalnya para bhikkhu yang tidak disiplin sulit menerima nasehat yang diberikan oleh Sang Buddha. Namun akhimya mereka mau mengikuti nasehat tersebut. Demikianlah jika Dhamma (ajaran Sang Buddha) tidak dijalankan, maka muncul berbagai macam kritik dari masyarakat yang ditujukan kepada Sangha. Sehingga Sang Buddha menetapkan peraturan untuk para bhikkhu pada masalah tersebut.

        Setelah melihat akan bahaya yang ditimbulkan dari makan yang tak terkontrol dan mempertimbangkan berbagai macam kritikan yang muncul dari masyarakat. Sang Buddha menetapkan peraturan yang berbunyi. "Seorang bhikkhu yang makan makanan padat, makanan lunak pada waktu yang salah (vikala), dia melanggar peraturan apatti".[11]

[11] Vinaya Pitaka,PTS, London : Vol I hlm 85

        Dalam kitab suci Tipitaka disebutkan bahwa istilah vikala mempunyai beberapa arti sesuai dengan konteksnya. Dalam Vlnaya Pitaka disebutkan bahwa vikala berarti suatu masa di mana tengah hari telah lewat sampai matahari terbit.[12] Hal ini menunjukkan bahwa menurut Vinaya, para bhikkhu hanya diperbolehkan untuk makan makanan padat atau lunak dalam batas waktu antara matahari terbit sampai tengah hari. Kalau kita menganalisa istilah patarasa bhatta yang telah disebutkan di atas, mungkin kita akan mempertanyakan mengapa para bhikkhu diperbolehkan untuk mengambil makan pagi dan makan siang. Masalah ini timbul karena kesalah-pengertian dari terjemahan istilah tersebut. Patarasa bhatta biasanya diterjemahkan dengan makan pagi. Tetapi sebenarnya istilah patarasa bhatta berarti makanan yang bisa diambil dalam batas waktu antara matahari terbit sampai tengah hari. Sehingga makan pagi dan siang tidak melanggar vikala (waktu yang salah). Dalam Vinaya Pitaka juga dengan jelas disebutkan bahwa para bhikkhu diperbolehkan untuk sarapan pagi dengan makan yagu (nasi bubur) sebelum makan siang. Lain hainya dengan istilah vikala yang didefinisikan dalam Sumangala Vilasini. Dalam teks tersebut istilah vikala didefinisikan sebagai berikut: "Atikkante majjhantike yava suriyatthagamana", yang berarti "Suatu masa di mana tengah hari telah lewat sampai matahari tengggelam". Definisi yang diberikan dalam komentar dari Digha Nikaya ini bertentangan dengan apa yang terdapat di dalam Vinaya Pitaka. Kalau kita mengikuti definisi ini, maka seorang bhikkhu diperbolehkan makan malam. Tetapi menurut keterangan di atas, hal ini sangatlah bertentangan, sehingga pada umumnya para scholar tidak menerimanya. Dalam Latukikopama Sutta yang ditegaskan pada Kitagiri Sutta dengan jelas disebutkan bahwa istilah vikala meliputi makan dalam batas waktu antara tengah hari sampai matahari terbenam dan makan dalam batas waktu dari matahari tenggelam sampai matahari terbit. Jadi seandainya seorang bhikkhu makan malam dalam dua batas waktu ini, dia melanggar peraturan apatti.

[12] Vinaya Pitaka,PTS, London : IV, hlm 86

        Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa Sang Buddha mendukung praktek untuk makan sekali sehari sebelum tengah hari. Praktek demikian bukan merupakan cara penyiksaan diri tetapi sebagai cara penyesuaian diri dan cara yang layak bagi para bhikkhu untuk membantu mereka dalam menjalankan Dhamma. Jadi menurut pandangan agama Buddha, puasa bukan merupakan suatu tujuan, tetapi suatu cara untuk mencapai tujuan. Puasa dalam pengertian agama Buddha bukan berarti perlombaan untuk tidak makan dengan prinsip siapa yang kuat dialah yang sukses. Namun cara hidup yang ditunjukkan oleh Sang Buddha lebih ditujukan untuk meningkatkan kualitas mental, terutama untuk mengurangi nafsu keserakahan (lobha) dan bukan sebaliknya. Bagi para upasaka atau upasika yang ingin meningkatkan kualitas mental, dianjurkan untuk melatih diri dengan menjalankan atthasila terutama pada hari Uposatha. Kalau kita melihat pengertian puasa sesuai dengan kamus, maka atthasila adalah istilah dalam agama Buddha untuk menyebut puasa. Tetapi perlu dicatat bahwa pengertian atthasila lebih luas dari apa yang ada dalam kamus. Puasa yang diartikan dalam kamus hanya menyangkut satu aspek dari delapan sila yang terdapat dalam atthasila yakni sila yang keenam yang berbunyi, "Vikala bhojana veramani" (saya bertekad untuk tidak makan pada waktu yang salah).***


Sumber:

BUDDHA CAKKHU No.24/XIII/92; Yayasan Dhammadipa Arama.