Merdeka Lahir Batin |
oleh: Sri Paññavaro Sanghanâyaka Thera |
Ada pendapat yang mengatakan: Kalau kita bisa memenuhi semua keinginan nafsu indria dengan sebebas-bebasnya, itulah bebas merdeka. Apakah benar demikian? Tidak. Sama sekali tidak! Bahkan sebaliknya. Sebab, nafsu indria yang dipuasi dengan sebebas-bebasnya akan membuat ketagihan. Ketagihan mengakibatkan kemelekatan. Melekat pada kenikmatan. Dan dalam ketagihan itu, tidak mungkin ada kepuasan.
Berpangkal pada uraian di atas, pada kesempatan ini marilah kita membicarakan tentang: Kemerdekaan Lahir Batin. Pada tanggal bersejarah 17 Agustus nanti, telah 47 tahun proklamasi kemerdekaan. Ini berarti sejak 47 tahun yang lalu, sejak 17 Agustus 1945 kita telah berdaulat penuh atas tanah tumpah darah kita. Kita mengatur dan merencanakan pembangunan tanah air sendiri dengan bebas merdeka, tanpa rasa takut pada kekuasaan bangsa lain.
Tetapi sebelum itu, selama kurang lebih 350 tahun, 3 1/2 abad, tanah air kita tercinta dijajah oleh bangsa-bangsa asing. Mereka menguasai rakyat dan negara ini, mengeduk dan mengangkut kekayaan dengan sepuas-puasnya. Dengan segala cara mereka membujuk, merampas, dan menindas.
Akhirnya masa gelap yang cukup panjang dalam cengkeraman penjajah itu telah berhasil kita usir untuk selama-lamanya. Pada saat 17 Agustus 1945 kita bertekad bulat dan sekaligus menyatakan kepada seisi dunia ini, bahwa kita telah merdeka. Di atas kemerdekaan itulah kita membangun bangsa dan negara sendiri dengan landasan Pancasila.
Negara kita adalah negara yang merdeka penuh. Negara merdeka yang sejati. Sejati, karena kamerdekaan ini bukan hadiah bangsa penjajah. Tetapi, kemerdakaan yang berhasil kita capai dengan perjuangan mati-matian, dan kemudian di atasnya kita bangun negara sentosa-sejahtera dengan landasan yang jelas dan universal, yaitu: Pancasila.
Sebagai warga negara, kita harus merasa bahagia karena kita hidup dalam negara yang merdeka. Inilah kemerdekaan kita yang merupakan kebahagiaan lahir yang telah kita peroleh dan kita pertahankan untuk selama-lamanya. Kemerdekaan lahir itu, adalah kondisi paling baik yang memungkinkan kita untuk menghayati ajaran agama, menghayati Dharma dengan tenang untuk mencapai kemerdekaan batin menuju terwujudnya hidup bahagia yang utuh sebagai makhluk manusia.
Marilah kita renungkan bersama: Kalau seandainya kita hidup dalam negara yang terjajah, kemungkinan untuk membangun kebahagiaan batin menjadi terjepit. Mengapa demikian? Tidak lain karena kita harus menggunakan lebih dahulu setiap kesempatan untuk berjuang mengusir penjajah, memerdekakan tanah air. Dalam suasana terjajah, tertindas, miskin, melarat dan segala macam kesengsaraan; maka sunguh sulit membangun batin.
Tetapi juga harus diingat: meskipun kita hidup di negara merdeka, kalau negara itu tidak menjamin kehidupan beragama, kalau negara tidak mempunyai dasar keyakinan terhadap Tuhan, bahkan memusuhi; maka tidak mungkin juga kita bisa menghayati ajaran agama dengan tenang. Ini berarti, sungguh sulit kita membangun kebahagiaan batin. Sungguh sulit kita memerdekakan batin kita.
Dengan demikian, kita harus merasa bahagia karena kita hidup dalam negara merdeka. Kita bahagia dengan sadar, bukan dibuat-buat. Babagia, oleh karena dalam negara merdeka, dalam negara Pancasila ini memungkinkan kita membangun lahir dan batin dengan seluas-luasnya dan setinggi-tingginya. Membangun lahir batin, sejahtera seutuhnya, berarti: Merdeka Lahir Batin. Oleh karena itu, marilah kita ingat sampai ke dasar lubuk hati, bahwa di samping membangun sarana-sarana kehidupan yang memang sangat kita perlukan; memerdekakan batin adalah perjuangan yang sama sekali tidak boleh ditinggalkan. Inilah sesungguhnya perjuangan yang merupakan tuntutan setiap insan.
Tetapi sering timbul pertanyaan: Mengapa kita harus memerdekakan batin ini; mengapa kita harus membangun batin kita? Apakah kemerdekaan lahir belum cukup? Apakah kebahagiaan lahir, cukup sandang, cukup pangan, dan masyarakat sehat, masih belum cukup? Memang kita perlu sekali kemerdekaan lahir seperti telah diuraikan di depan. Memang kita perlu kebahagiaan lahir, dan Sang Buddha sendiri menganjurkan itu.
Dengan kebahagiaan lahir, cukup materi, kita menjadi bangsa yang berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia pembangunan ini. Kita tidak terbelakang. Kita bebas dari kemiskinan, kemelaratan, dan kesengsaraan. Sang buddha menyatakan bahwa keadaan maju dan makmur seperti itu adalah termasuk salah satu kebahagiaan, yaitu kebahagiaan yang disebut: Bhoga Sukha. Tetapi kalau kita mengabaikan batin, kalau kita tidak memerdekakan dan membangun batin; batin ini akan menjadi bumerang bagi kita. Batin yang tidak terurus akan menyebabkan timbulnya bermacam-macam keruwetan. Batin yang demikian menjadi sumber penderitaan dan kekacauan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Inilah musuh pembangunan, inilah penghancur hasil kerja yang telah dicapai.
Sekarang, tentunya timbul pertanyaan dalam diri kita: Apakah sesungguhnya batin kita ini belum merdeka? Kadang-kadang kita tidak sadar, bahwa pikiran atau batin ini sering, bahkan sangat sering, dikendalikan oleh penjajah. Dan, siapakah sesungguhnya penjajah itu? Tidak lain adalah: nafsu serakah, rasa benci dan keakuan. Dari serakah, benci, dan rasa aku, muncul lagi bermacam-macam penjahat, seperti: iri hati, dendam, sombong, congkak, dan segala macam.
Sering kita mengambil keputusan tanpa dasar pertimbangan yang benar. Kita memutuskan untuk melakukan ini atau itu karena dorongan balas dendam atau karena iri hati. Pada saat seperti itu semua keyakinan agama lenyap. Tidak ingat Hukum Karma, tidak sadar bahwa semua perbuatan jahat pasti berakibat penderitaan. Pada saat itulah pikiran kita sedang dijajah. Dijajah oleh serakah dan benci. Benci itu membuat buta, sedangkan serakah membuat silau.
Penjajah pikiran yang paling halus dan paling licin adalah: keakuan. Rasa keakuan mendatangkan serakah dan benci. Keakuan adalah induk segala macam kejahatan. Dalam kitab Dhammapada 251, Sang Buddha menyatakan:
"Tiada api yang dapat menyamai nafsu, Tiada penindas yang dapat menyamai kebencian, Tiada jaring yang dapat menyamai keakuan, dan Tiada arus yang sederas arus nafsu keinginan".
Sering kita mendengar: Kalau keakuan dilenyapkan bukankah manusia kemudian menjadi lemah, bukankah manusia kemudian menjadi kehilangan semangat, menjadi statis, menjadi loyo? Jawabannya adalah: Tidak! Sama sekali tidak! Bahkan sebaliknya, kalau keakuan berhasil dilenyapkan, kita bisa bekerja dengan maksimal tenang. Bekerja dengan diliputi rasa damai. Karena kita bekerja tanpa menuntut ini dan menuntut itu. Bekerja semata-mata demi hasil yang baik, dan puas dengan hasil itu. Dengan tanpa keakuan, kita akan mampu: rame inggawe, sepi ingpamrih (semangat dalam bekerja, sepi dalam pamrih).
Demikianlah musuh-musuh dalam pikiran kita sendiri: serakah, benci, dan keakuan. Kalau tidak disadari, bahkan kalau tidak diatasi; penjajah pikiran itu akan mempengaruh semua ucapan dan perbuatan. Ucapan dan perbuatan kita menjadi ucapan dan perbuatan jahat yang merugikan kita sendiri dan juga merugikan orang lain. Serakah, benci, dan keakuan menuntut pemuasan nafsu indria sepuas-puasnya. Memang dengan jujur kita akui, bahwa serakah, benci, dan keakuan yang kita turuti tuntutannya, akan mendatangkan kenikmatan. Kenikmatan itu kemudian membuat ketagihan. Sedangkan dalam ketagihan, tidak ada kepuasan lagi. Ketagihan tidak pernah mengenal puas. Dari serakah, benci, dan keakuan, timbullah: jengkel, cekcok, pertengkaran, ketidak-jujuran, korupsi, peperangan, dan segala macam kejahatan. Seharusnya kita sadar bahwa semua itu akan mengakibatkan penderitaan pada diri kita sendiri. Dalam Dhammapada 69 dinyatakan:
"Selama buah suatu perbuatan jahat belum masak, maka orang bodoh menganggapnya nikmat, manis seperti madu; tetapi apabila buah perbuatan itu telah masak, maka ia akan merasakan penderitaan".
Ajaran-ajaran agama tidak henti-bentinya mengingatkan kita untuk menyadari bahaya dan serakah, benci, dan keakuan. Demikian juga dalam kesempatan ini, saya tidak akan bosan menyampaikan ajakan: Marilah kita waspada terhadap serakah, benci, dan keakuan. Jangan berikan mereka kesempatan untuk berkembang.
Menaklukkan diri sendiri merupakan pangkal semua ajaran agama. Menaklukkan diri sendiri adalah menaklukkan serakah, benci, dan keakuannya sendiri. Dhammapada 103 dan 104 merupakan ayat-ayat yang cukup terkenal:
"Walaupun seribu kali seseorang dapat menaklukkan seribu musuh dalam satu pertempuran; tetapi, meskipun seseorang hanya dapat menaklukkan dirinya sendiri, maka sesungguhnya dialah seorang penakluk yang terbesar".
"Menaklukkan diri sendiri sesungguhnya lebih baik daripada menaklukkan makhluk-makhluk lain; orang yang telah menaklukkan dirinya sendiri selalu mengendalikan diri".
Ungkapan hikmah tentang menaklukkan diri sendiri tersebut meskipun diungkapkan dengan kalimat lain, terdapat juga pada hampir semua ajaran agama. Mengapa demikian? Oleh karena persoalan serakah, benci, dan kegelapan batin; bukan hanya persoalan umat Buddha saja. Persoalan penderitaan dan kebahagiaan hidup adalah persoalan kita bersama. Masalah kehidupan adalah masalah semua umat beragama.
Empat puluh tujuh tahun kita telah menikmati kemerdekaan, tetapi jangan sampai lupa, kitapun harus memerdekakan pikiran kita sendiri. Memerdekakan pikiran dari serakah, benci, dan keakuan. Dalam mengisi kemerdekaan bangsa, mengamalkan Pancasila dengan membangun seutuhnya, lahir batin, memerdekakan pikiran adalah faktor paling utama. Tanpa adanya usaha memerdekakan pikiran dari serakah, benci, dan keakuan, kita akan menjadi manusia jahat di tengah-tengah bangsa yang sedang membangun. Dan lebih-lebih lagi, kejahatan yang kita lakukan akan menghancurkan hidup kita sendiri dalam dunia ini, maupun dalam dunia yang akan datang.
Bebasnya pikiran dari serakah, benci, dan keakuan itulah kebahagiaan sejati. Pikiran bebas merdeka dari pengaruh-pengaruh jahat hawa-nafsu. Marilah kita bersama-sama berjuang tanpa kenal menyerah. Berjuang untuk mengusir penjajah pikiran kita, demi terwujudnya masyarakat Pancasila yang sejahtera seutuhnya, lahir dan batin. Merdeka lahir dan batin!
Dhammapada 112 menyatakan:
"Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi malas, tidak bersemangat; maka sesungguhnya, lebih baik kehidupan yang hanya sehari saja dari orang yang berjuang dengan penuh semangat".
DIRGAHAYU KEMERDEKAAN.
DIRGAHAYU INDONESIA.
***
Sumber: |
BUDDHA CAKKHU No.26/XIII/92; Yayasan Dhammadipa Arama. |