Menjadi Orang Baik

oleh: YM Bhikkhu Sri Paññavaro Mahâthera

        Bulan Agustus ini di Mendut, bulan di mana masih musim dingin, tetapi untuk tahun ini saudara masa vassa yang biasanya musim panas seolah-olah seperti masa vassa di jaman Sang Buddha. Di dalam pertengahan masa vassa yang di Indonesia umumnya musim panas, hujan sudah turun, kurang lebih empat hari berturut-turut. Hujan turun tidak hanya sore tetapi juga pagi. Di Thailand, saudara, di dalam masa vassa ini memang betul-betul musim hujan seperti di India Tengah, di tempat Sang Buddha pernah berkelana, mengembara, tetapi para bhikkhu tetap pindapatta, dan biasanya kalau musim hujan, mereka pindapatta dengan membawa payung. Agak sulit memang, tetapi juga umumnya kalau musim hujan para bhikkhu ber-pindapatta membawa payung tidak perlu berjalan jauh, yang biasanya kita jalan jauh. Pada musim hujan umat kemudian kasihan, yang tidak biasa berdana kalau musim hujan berdana. Jadi meskipun pindapatta dengan membawa payung tidak berjalan terlalu jauh sehingga jubah tidak menjadi basah. Demikian juga pada tahun ini saudara, saya membayangkan seolah-olah masa vassa yang sesungguhnya di jaman Sang Buddha, di mana hujan tiap-tiap hari. Meskipun sesungguhnya menurut ramalan cuaca bulan Agustus ini adalah musim panas tetapi ternyata menjadi hujan sudah turun.

        Saudara-saudara, kalau hujan turun hampir tiap-tiap hari, segala sesuatu menjadi basah dan pada suasana yang seperti ini kebakaran jarang terjadi. Memang kita sulit saudara, membakar sesuatu yang basah, apakah kayu yang basah, apakah daun yang basah, tetapi meskipun demikian saudara, apakah musim kemarau ataukah musim hujan, kebakaran di dalam pikiran kita ini tidak pernah padam, terus saja dan kebakaran di dalam pikiran kita itu lebih sering ketimbang kebakaran di luar, di lingkungan kita. Kalau kebakaran di lingkungan kita, kalau lingkungannya basah, yah.. kebakarannya tidak mudah terjadi tetapi di dalam diri kita menjadi lain, meskipun hujan tiap-tiap hari, yah.. kebakarannya berlangsung terus.

        Saudara-saudara mendengarkan dhamma, mengikuti dhamma kelas termasuk berdiskusi dhamma, bermeditasi, itulah sesungguhnya hujan yang kalau turun makin sering, pikiran kita akan semakin basah. Kalau pikiran atau batin kita basah amat sulit terjadi kebakaran, tetapi kalau kita sudah lama sekali jarang mendengarkan dhamma, sudah lama sekali jarang mendengarkan ceramah, jarang mendengarkan khotbah, apa sedikit maka akan terjadi kebakaran saudara. Pembantu kurang bersih sedikit, anak-anak menutup pintu agak keras, tetangga kita yang bukan keluarga kita tinggal di rumahnya sendiri bukan di pekarangan kita, berteriak-teriak, terjadi kebakaran di dalam diri kita, panas, jengkel kemudian gelisah. Memang kebakaran di dalam itu apinya tidak bisa tampak, tapi biasanya apinya tampak di depan. Bersengut, cemberut, nah ini sedang terjadi kebakaran yang hebat di dalam diri kita. Hanya saudara kalau tidak sering mendengarkan ceramah, sering mendengarkan khotbah, berdiskusi, sepertinya kita ini tidak mudah terbakar, basah.

        Saudara-saudara, dalam masa vassa ini sesungguhnya jadwal sudah dibuat dengan baik, dhamma kelas setiap minggu sore, dua minggu sekali dan di mana ada dhamma kelas para bhikkhu akan datang untuk memberikan ceramah, memberikan khotbah, inilah saudara-saudara, seolah-olah seperti hujan, hujan yang membasahi pikiran kita, yang membasahi batin kita, yang kita menjadi tidak mudah untuk terbakar, api yang bagaimanapun hebatnya, amat sulit membakar, mengeringkan barang-barang yang basah. Apalagi kalau airnya menggenang seperti danau, seperti genangan air, amat sulit itu terjadi kebakaran, api tidak akan muncul ditengah-tengah air.

        Saudara-saudara, memang dhamma dan kemarahan itu bertolak belakang, dhamma dan kejengkelan bertolak belakang, dhamma dan kejahatan tidak pernah akan bersekutu, akan menjadi satu seperti air yang tidak akan pernah bersekutu dengan api atau seperti api yang tidak pernah berkompromi dengan air.

        Saudara-saudara, saya ingin menyampaikan sesuatu pada pagi hari ini tentang beberapa hal yang tidak sulit, kebetulan beberapa waktu yang lalu ada seorang umat yang bertanya kepada saya. "Bhante, seandainya ada seorang teman kita yang bukan umat Buddha kemudian bertanya kepada kita". Pertanyaan itu simpel sekali saudara, sederhana. Pertanyaannya adalah: "Anda penganut Buddha, anda umat Buddha kan, yah memang betul, kalau anda memang penganut Buddha, anda umat Buddha, boleh saya tanya? Apa tujuan anda? Apa tujuan saudara menjadi penganut Buddha? Apa tujuan saudara menjadi umat Buddha?"

        Sederhana pertanyaan ini tetapi apa jawaban kita saudara?! Mungkin menjawab… yah, saya menganut agama Buddha, menjadi umat Buddha ini bertujuan untuk mencapai Nibbana, misalnya. Diakan tidak mengerti apakah Nibbana itu? Mungkin mendengar kata Nibbana ini baru pertama kali, Nibbana itulah Nirvana, nah tambah salah lagi. Kalau saudara menyebutkan Nirvana mungkin dia punya bayangan, apa disko, restoran, orang makan-makan dan sekarang banyak tempat hiburan yang menggunakan kata nirvana, bayangannya nirvana itu lebih nikmat ketimbang surga. Jadi kalau dia menamakan restoran, menamakan diskonya itu night club, surga itu tidak menarik, tidak pernah saya melihat mereka menamakan surga tempat-tempat hiburan dan sebagainya. Tetapi tidak segan-segan mereka menamakan nirvana, karena menganggap nirvana itu melebihi surga. Ini bagaimana Saudara? Apa tujuan saudara menjadi penganut agama Buddha ini, menjadi penganut Buddha, menjadi umat Buddha ini?! Mungkin saya menginginkan kebebasan, wah… tambah sulit saudara, karena saudara menyebutkan kebebasan, jadi mempunyai konotasi yang berbeda. Kebebasan… oh… berarti ingin bebas untuk apa saja, berbuat apa saja, nah menjadi salah. Kalau penganut kepercayaan lain kita tanya, dia bisa mudah menjawab, simpel, jelas, kita mengerti. Apa tujuan kamu menjadi umat beragama itu?! Oh tujuan saya, saya nanti kalau meninggal supaya bisa masuk surga, mereka jawab dengan jelas, kita mengerti, oh yah, kita mengerti. Tapi sekarang kalau kita ditanya, bagaimana kita menjawab?!

        Saudara, saya ingin memberikan modal kepada saudara untuk menjawab, sederhana. Kalau saudara ditanya apa tujuan saudara kok menganut agama Buddha, menjadi umat Buddha, apa tujuan saudara?! Saudara bisa menjawab dengan singkat, memang saya menjadi penganut Buddha, tujuan saya menjadi penganut Buddha ini, saya bertujuan atau berkeinginan ingin menjadi orang baik, sudah… selesai. Itulah tujuan saya menjadi umat Buddha, saya ingin menjadi orang baik. Bahkan kita bisa bertanya kembali, saudara sendiri kan ingin menjadi orang baik, kita tanya balik, dia pasti akan mengatakan yah. Siapakah diantara kita yang pagi hari ini duduk di sini, yang tidak ingin menjadi orang baik. Apakah kita semua kalau dikatakan orang tidak baik, siapakah di antara kita yang mau dijuluki, oh dia orang tidak baik. Ah saudara mengerti agamakah, sembahyangkah, didaerah sini ada istilahnya, ah… saya ini abangan loh bhante, nggak ngerti sembahyang, saya nggak senang beragama. Meskipun saudara abangan, nggak mau ngerti agama tidak soal, tetapi saudara juga tidak senang kalau dikatakan orang tidak baik, saudara juga senang ingin menjadi orang baik. Menjadi orang baik itulah tujuan menjadi penganut agama Buddha.

        Saudara-saudara, kemudian pertanyaan selanjutnya "Lalu bagaimana caranya menjadi orang baik?" Wajarkan, bagaimana caranya menjadi orang baik?! Kita menjawab paling tidak ingin menjadi orang baik, bagaimana caranya menjadi orang baik, cara untuk menjadi orang baik adalah berbuat baik, selesai. Itulah cara menjadi orang baik. Logiskan saudara, nalar, simpel sekali. Saudara bisa menangkap tujuan saya ingin menjadi orang baik, karena diantara kita tidak kepingin disebut orang yang tidak baik. Menjadi orang baik kita harus berbuat baik, simpel saudara, gampang sekali. Tetapi saudara penjelasan saya ini amat gampang untuk diterima, sederhana sekali, tidak menggunakan bahasa-bahasa pali yang sulit.Tetapi itu hanya gampang dimengerti, amat sulit bagi kita untuk berbuat baik. Berbuat baik adalah suatu perjuangan yang tidak ada habis-habisnya, seolah-olah kita sering kalah. Nah, saya ingin menjadi orang baik, caranya saya berbuat baik, simpel, tetapi kenyataannya tidak mudah untuk berbuat baik, yang berjuang mati-matian kadang-kadang gagal untuk berbuat baik. Mengapa saudara kita ini sulit untuk berbuat baik. Kok kita ini sulit untuk berbuat baik, memang ada kendalanya, ada rintangan yang membuat kita sulit berbuat baik. Apa saudara rintangannya? Saudara kita ini sulit berbuat baik, aneh hanya berbuat baik kita ini kok jadi sulit yah… padahal kita ingin menjadi orang baik, kita bisa memaklumi, yah… kita semua ini kan memang ada kendalanya. Kita ini sulit berbuat baik, karena kita ini punya bakat saudara, bakat apa? Kita semua ini punya bakat, bakat berbuat jahat, itulah yang menjadi sulit kita berbuat baik. Mengapa tidak boleh dikatakan bakat, kan orang berbuat jahat itu tidak usah belajar, tidak usah diajari, tidak usah diberikan contoh, bisa sendiri dia, itukan bakat, kita ini punya bakat berbuat jahat. Dilarang, dicegah, diancam, tetap bisa, coba itukan bakat namanya. Maki-maki, nusuk-nusuk, menghapusi, nyolong itukan biasa, itu tidak usah belajar, bisa, dilarang, diancam, tetap bisa. Menfitnah, menyeleweng, memusuhi orang, marah-marah bisa, bisa dengan baik, tidak usah belajar, tidak usah diajari, diberi contoh... tidak usah, bisa, itukan bakat. Coba kalau memang bukan bakat, kita harus belajar dulu, nyatanya kita tidak belajar bisa kok, itulah bakat kita, bakat berbuat jahat. Yah… termasuk kita, termasuk saya, saya juga punya bakat itu, bakat berbuat jahat.

        Saudara-saudara, oleh karena itu saya mengharap kalau anda nanti menjadi orang tua, cobalah mendidik kebaikan kepada anak-anak anda. Sebab kalau anak-anak tidak dididik berbuat baik, dia tidak bisa dengan sendirinya berbuat baik. Kalau berbuat baik itu bukan bakat, berbuat jahat nah itulah bakatnya, bakat berbuat jahat, kalau berbuat baik bukan bakat. Kalau nggak dididik, dipaksa-paksa, tidak bisa beri contoh, tidak bisa. Sering saya umpamakan kalau kita hanya mengumpamakan pendidikan yang baik, yang bonafide, nanti jadi sarjana, dapat pekerjaan yang baik, untungnya besar, jadi orang kaya, orang terpandang. Kalau hanya itu yang dipikirkan oleh orang tua, carikan sekolah yang baik, bukan sekolah yang jelek, tapi orang tua tidak pernah berpikir saya juga harus mendidikkan moral kepada anak-anak saya, jarang sekali. Apakah senang nanti kalau punya anak jadi jahat, apakah senang kalau anaknya jadi orang jahat?! Nah kalau tidak dididik pasti jadi orang jahat, karena jahat itu adalah bakat, bakat yang paling menonjol berbuat jahat.

        Saya pernah memberikan perumpamaan, kalau dahulu orang jahat, orang serakah, kebenciannya punya batu, punya racun, punya pisau, sekarang keserakahan, kebenciannya itu tidak naik diatas batu, tidak naik diatas pisau, naik tekhnologi, naik modal yang besar, naik nuklir, naik kekuasaan, apakah tidak bahaya itu. Orang jahat pintar, maka kalau para orang tua tidak mau, tidak cover, tidak punya waktu mendidikan dhamma, mengajarkan agama, mengajarkan moral kepada anak-anaknya, lebih baik anak-anaknya tidak usah disekolahkan biar bodoh. Karena kalau orang jahat bodoh itu tidak begitu bahaya saudara, tapi kalau orang jahat pandai, waduh… itu bahaya sekali. "Bhante, tapi kalau orang jahat bodoh yah… bahayanya kurang, tapi bisa diperalat bukan?" yah… yang memperalat tentu orang jahat yang pandai, kalau orang jahat tidak pandai, tidak bisa memperalat orang bodoh, tetap berbahaya, itu orang jahat yang pandai.

        Kalau anak saudara bisa menggunakan tehnologi yang canggih sedangkan anak saudara tidak mempunyai fondasi moral yang baik anak saudara akan menjadi orang jahat yang canggih, sulit dikendalikan nanti, karena kalau orang berbuat jahat itu berkali-kali, itu nanti tambah ahli, ahli berbuat jahat apalagi sudah menjadi bakatnya.

        Ada satu cerita saudara. Ada seorang yang melahirkan anak tinggal di tepi hutan, suatu hari anaknya, bayinya hilang, dicari ke mana-mana tidak ketemu. Bayinya ini digondol srigala, tidak dimakan, srigalanya ini punya anak hilang. Nah waktu dia mencari-cari bau amis-amis, lihat bayi besarnya sama dengan anaknya, digondol, karena dia juga perlu mencintai anaknya itu meskipun tidak bisa berpikir seperti kita. Dia berpikir sederhana, yang dikatakan insting itukan berpikir sederhana, disusui, dibesarkan srigala. Satu hari seseorang antropolog yang menyelidiki hutan, yang berjalan di hutan, dia melihat setelah belasan tahun bayi ini menjadi besar tetapi tidak seperti manusia tapi seperti srigala, ini mungkin dongeng, betul-betul terjadi. Dia tidak punya moncong, tidak, tapi dia tidak berjalan di atas dua kaki seperti kita, merangkak, tidak bisa berjalan tegak, keluar bulunya karena tidak berpakaian, dia beradaptasi dengan lingkungan, keluar bulunya untuk menahan dingin, menahan serangga, tidak bisa bicara, gerem bisa, 'waung'.... karena dia diajari itu oleh induknya, gerem, ganas sekali, kukunya panjang-panjang, rambutnya panjang, tidak berani ketemu orang, lari cepat. Nah Antropoli ini, ini harus ditangkap, kasihan ini, harus dimanusiakan. Yah.. ditangkap, wah ganas saudara, menggigit segala macam, lepas kerangkeng eh mati, dia tidak bisa bertahan dengan lingkungan yang baru. Ini cerita sungguhan meskipun tidak banyak terjadi karena dia hidup di lingkungan srigala, maka dia menjadi srigala, fisiknya maupun metalnya. Yah kalau sekarang sulit yah mungkin tetapi meskipun sulit dilihat manusia srigala, jadi manusia yang berbatin srigala ini lebih banyak mungkin.

        Saudara, itulah satu bukti kalau anak-anak tidak diberi basic, tidak diberi fondasi, hancur seperti itu. Fondasi yang diterima anak itu fondasi srigala, sulit untuk dirubah menjadi manusia, sulit sekali.

        Sebaliknya kalau anak-anak sejak kecil menurut ilmu jiwa, phisicology, sampai umur tujuh tahun kalau diberikan pendidikan moral yang kuat, itu basic yang kuat sekalai, sampai dia remaja, dewasa, menikah, itu tidak lenyap. Apalagi sekarang globalisasi semua masuk, pengaruh-pengaruh masuk, nanti dia akan bertemu dengan fondasi itu disaring. Nah kalau orang tua tidak memberikan fondasi pada anaknya, apa semua yang masuk, dijeblos saja, masuk semua. Kalau masuk semua itu seperti apa saudara? Seperti keranjang sampah. Keranjang sampah itukan masuk semua, apa saja, barang baru, barang rusak, masuk semua, seperti keranjang sampah nantinya.

        Orang tua itulah guru pertama yang mengajarkan moral kepada anak-anak bukan guru di sekolah, bukan. Yah anak-anak makan, kaki jangan naik meja, tidak baik, itukan orang tua yang mengajarkan, ini tidak pantas, mandi yang baik, pakaian yang baik, duduknya jangan begitu, itulah basic dasar, itu nanti akan menjadi fondasi yang kuat sekali. Kalau diberikan pendidikan sudah belasan tahun dua puluh tahun lebih itu amat sulit, fondasi yang diberikan srigala sekarang akan diubah, sulit sekali itu. Itulah perlunya pendidikan moral.

        Ada cerita seorang anak akan barang gunting, melempar gunting ke ibu kandung dan ada anak perempuan yang menodong ayahnya., anak perempuan lagi, anak tunggal, menodong ayahnya supaya warisan diberikan sekarang tidak usah menunggu nanti. Coba kalau kejadian begini saudara, anak barang gunting ibunya, wanita menodong ayahnya untuk menyerahkan warisan, sekarang pertanyaanya, Siapa yang salah?! Yang menciptakannya atau kah yang melahirkan. Kok jadinya begini.

        Saudara-saudara, itulah perlunya basic orang tua memberikan moral, dhamma, agama kepada anaknya, kalau tidak ingin anaknya menjadi orang jahat.

        Saudara-saudara, tetapi andaikata kita berhasil berbuat baik, orang berbuat baik ini motifasinya macam-macam, saya tidak akan menggunakan ungkapan-ungkapan pali supaya kalau saudara berbicara di depan masyarakat, di depan orang banyak saudara-saudara mengerti. Saya mengharapkan supaya yang memberikan pembinaan dhamma jangan hanya bhikkhu, samanera, tenaga kita kurang tetapi cobalah saudara, semuanya ini menjadi dhammaduta, semuanya. Menjadi dhammaduta di mana? Yah.. ditempat-tempat olah raga, di taman-temannya, di restaurant, di tempat dagang, di toko, di pekerjaan, itulah dhammaduta, membantu kami para bhikkhu. Tidak menarik menjadi umat buddha, tidak, karena kita mengerti dhamma ini baik, kalau orang-orang ikut mengerti dhamma, dia ikut mendapatkan kebaikan. Waduh itu sumbangan yang besar yang bisa kita berikan untuk masyarakat. Itulah pamrih kita dan saudara bisa menyumbangkan kebaikan itu menjadi dhammaduta. Yah mungkin formal tidak usah ceramah, khotbah seperti ini tidak usah. Nah kalau saudara ingin memasukkan dhamma, ingin membagi-bagi dhamma yang baik ini, juga tidak usah harus dengan bahasa pali, pakai bahasa Indonesia cukup.

        Andaikata kita bisa berbuat baik itupun motifasi orang berbuat baik macam-macam:

1. Orang berbuat baik dengan tujuan supaya kelihatannya baik, jadi dia mau berbuat baik tapi tujuannya lumrahnya orang, yah maulah berbuat baik yah supaya kelihatannya baik. Jadi berbuat baik itu supaya masyarakat melihat dia itu baik, jadi kalau sampai tidak kelihatan baik, wah menyesal dia, wah udah saya relakan tidak tidur, uang sudah keluar banyak, kok saya belum kelihatan baik, menyesal dia. Itu berbuat baik dengan tujuan supaya kelihatannya baik.

 

2. Berbuat baik supaya yah hidupnya enak, hidupnya lancar, rejekinya tidak putus, anak-anaknya baik, pangkatnya tinggi, tidak banyak kesulitan. Yah itulah tujuannya berbuat baik melakukan amal kebaikan wajar sekali juga. Supaya cukup makan,cukup sandang, anak-anak tidak nakal, kerjanya gongsor, gongsor itu lancar, wajar sekali.

 

3. Tetapi berbuat baik yang paling tinggi bertujuan untuk menjadi orang baik. Itulah tujuan kita berbuat baik yang paling tinggi. Saddhum Kaya Saddhuno, berbuat baiklah untuk menjadi orang baik.

 

        Saudara, kalau saudara berbuat baik untuk menjadi orang baik, itu mesti dilihat orang baik, mesti tidak usah ingin dilihat kelihatannya baik, tidak usah, mesti nanti kelihatan baik memang orang baik. Kalau ada angin saudara, ini misalnya udara terbuka, ini ada kayu cendana, ada bunga-bunga yang bau harum itu sebelah sana, karena anginnya ini dari selatan ke utara, kalau anginnya dari barat ke timur, yang sebelah timur yang bau, yang barat tidak bau. Tetapi saudara, baunya orang yang berbuat baik, orang baik menentang arusnya angin, tidak tergantung dari angin, di mana-mana bisa terdengar, diketahui, oh dia orang baik. Ah kalau diakan umat buddha, ya dia umat buddha tapi dia kan orang tidak baik. Kalau saudara berbuat baik untuk menjadi orang baik pasti sandang pangan itu, pasti tidak akan kurang, pasti, itu bukti loh saudara, bukti. Tapi betul-betul yah jadi orang baik. "Ah.. ya susah bhante. Orang berkeluarga ini berbuat baik pokoknya yah bisa kasih makan sama anak, istri, suami, anak-anak, sekolah yah bisa untuk bisa bayar sekolah, punya rumah sendiri cukup". Yah kalau kamu mau begitu juga boleh, itu masih mending, ketimbang berbuat baik hanya untuk kelihatannya baik, masih mending, tapi kalau saudara mau berbuat baik yang betul-betul untuk jadi orang baik itu tidak akan kekurangan. Kelihatan baik itu mesti kelihatan namanya harum, mesti, kecukupan mesti.

        Nah sekarang kalau merasa saya belum bisa bhante yah.. berbuat baik, berusahalah, mungkin tidak seperti bisa menjadi bhikkhu, saya berbuat baik dengan tulus, supaya bakat saya berbuat jahat ini, bakat kejahatan itu bisa kurang. Di samping itu yah supaya hidup saya baik, anak-anak bisa menyekolahkan, sehat, nggak banyak rintangan dan sebagainya, itu lumrah asal jangan hanya berbuat baik supaya kelihatan baik, itu terlalu rendah. Kalau hanya untuk kelihatan baik, nah.. sampai bosan-bosan saudara, sampai bosan-bosan, dulu waktu pertama kali namanya disebut di koran, gambarnya muncul di koran, wah senang, lama-lama bosan. Tidak usah dicari nanti dapat sendiri, sampai bosan, sampai kadang-kadang jengkel nanti terlalu banyak pekerjaan-pekerjaan yang menyulitkan kita, kan resikonya kita hanya kelihatannya baik.

        Tidak perlu saudara kelihatannya baik dan tidak perlu dicari nanti datang sendiri. Kalau misalnya, yah ada yang mengatakan "Wah bhante dulu Vihara Mendut ini, bukan bhante yang punya ide, yang mempelopori ini, katanya Pak Marto misalnya, oh.. yah.. yah… yah.. nggak berat kok, ngomong begitu nggak berat, tidak berat karena kalau mempunyai kebaikan yah tetap saya, nggak berat dan nggak sulit. Katanya kalau Ketua Sangha ini malah bukan bhante, katanya jadi Ketua Sangha sekarang ini si A misalnya atau bhante A, oh yah… yah… yah… nggak berat. Kita nggak usah bertentangan, berkerengan, kelang-kelang, pentung-pentungan hanya karena konsep, rebutan konsep, ah yah.. tidak berat. Kebaikan yah tetap milik saya, nggak hilang kok, nggak hilang apalagi saya tidak mencari kelihatannya baik. Saya tidak ingin mencari kelihatannya baik. Saya inigin menjadi baik sungguh-sungguh kok, tidak kelihatannya baik, tidak, sungguh-sungguh saya menjadi orang baik, sungguh-sungguh.

        Nah itulah saudara, motifasi orang-orang berbuat baik supaya kelihatannya baik, supaya hidupnya baik atau supaya jadi orang baik.

        Nah itulah kalau ingin menjelaskan dhamma secara populer, secara simpel, tidak menggunakan kalimat-kalimat pali. Kalau saudara tanya itu, bhante itu sumbernya ajaran Sang Buddha, ah jelas, yah saya bisa mengemukakan kalimat-kalimat palinya, tetapi untuk konsumsi masyarakat yang tidak kenal agama Buddha, yang mungkin alergi agama Buddha, kita bisa menjelaskan dengan cara yang simpel.

        Itulah kepentingan kita beragama Buddha, ingin menjadi orang baik dengan cara berbuat baik. Hanya yaitu kendalanya, itu kita punya bakat berbuat jahat, ini loh yang sulit punya bakat saja, yah bakat berbuat jahat, nah ini harus dipotong, dilawan. Saudara tidak bisa menghilangkan bakat berbuat jahat hanya dengan mendengarkan khotbah-khotbah saya, tidak bisa, membaca buku, mendengarkan kaset, tidak bisa itu, kita harus praktek, praktek, praktek. Termasuk yah datang kebaktian dan sebagainya. "Bhante, kalau sudah punya kaset banyak, mana mesti datang kebaktian". Ah lain kalau di kebaktian ini saudara mendapatkan makanan rasio khotbah tetapi saudara tidak mendapatkan makanan emosi, pengkhotbahnya itu memberikan emas pada saudara, saya berkhotbah dengan metta, saya berusaha supaya saudara mengerti dhamma, itulah bedanya. Kalau kaset itu hanya bisa memberikan rasio tidak bisa memberikan metta, kaset tidak bisa memberikan metta, tidak bisa, hanya bisa memberikan rasio.

        Sekarang coba saudara mendidik anak-anak saudara, tidak pernah dihidupi, tidak pernah dihadapi, anak-anak ini dididik dengan kaset-kaset tersebut, diprogram, video kaset-video kaset, tidak pernah dihadapi, orang tuanya sibuk, suami sibuk, istri sibuk, pembantunya tidak ada, nanti anaknya yah seperti kaset saudara. Cara berpikirnya yah seperti kaset, pintar tapi tidak punya metta, tidak pernah mendapatkan metta hanya mendapatkan logika-logika. Kaset-kaset, video-video, kaset-kaset, tidak mendapatkan metta. Nah itulah saudara, itulah, persoalan kita, kadang-kadang saudara mengikuti dhamma kelas, mendapatkan dhamma yang dalam, yang sulit untuk ditangkap tapi meskipun dhamma itu dalam sekali, materi pembahasannya itu tidak akan lari, yang dibahas itu yah hidup kita sendiri, tidak akan lari, meskipun dalam kadang-kadang sulit untuk ditangkap. "Yang dijelaskan itu yang mana bhante? Kok sulit ditangkap". Yang dijelaskan, yah ini hidup kita sendiri ini, tidak lari. Sang Buddha tidak pernah lari dari persoalah hidup manusia, tidak pernah lari, tidak pernah menjelaskan yang tidak ada hubungannya dengan manusia, tidak pernah. Ruang lingkupnya, materinya ini tidak lari dari kehidupan kita masing-masing.

        Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan ini bermanfaat, marilah kita menjadi orang baik, Saddhum Kaya Saddhuno artinya marilah kita berbuat baik untuk menjadi orang baik. Itulah tujuan kita yang tertinggi. Saddhum dalam bahasa pali artinya baik, Saddhum Kaya Saddhuno, mari kita berbuat yang Saddhum, yang baik untuk menjadi orang baik.***


Sumber:

KUMPULAN DHAMMADESANA Jilid 4; Sri Paññavaro Mahâthera; 2001