Latihan Meditasi Vipassana Praktis

oleh: Ven. Mahâsî Sayâdaw Agga Mahâpandita U Sobhana

khotbah YM Mahâsi Sayâdaw Agga Mahâ Pandita U Sobhana kepada murid beliau pada saat pelantikan Meditasi Vipassanâ di Sâsana Yeikhta, Meditation Centre, Rangoon, Burma

        Praktek Vipassanâ atau meditasi pandangan terang merupakan upaya yang dilakukan oleh meditator untuk memahami dengan benar sifat sejati fenomena psiko-fisik yang terjadi pada tubuhnya. Fenomena fisik adalah segala sesuatu (obyek-obyek) di sekitar yang dirasakan dengan jelas oleh seseorang. Keseluruhan tubuh yang dirasakan dengan jelas tersebut, tersusun atas sekelompok sifat materi (rűpa). Sedangkan fenomena fisik atau mental merupakan bentuk kesadaran (nâma). Terjadinya Nâma-rűpa ini dirasakan dengan jelas, yaitu saat nâma-rűpa dilihat, didengar, dicium, dirasakan, disentuh atau dipikirkan. Kita harus senantiasa membuat diri sendiri sadar akan nâma-rűpa tersebut dengan cara mengamati dan memperhatikannya sedemikian rupa, seperti: "melihat sebagai melihat", "mendengar sebagai mendengar", "mencium sebagai mencium", "merasakan sebagai merasakan", "menyentuh sebagai menyentuh" dan "berpďkir sebagai berpikir".

        Setiap kali seseorang melihat, mendengar, mencium, merasakan, menyentuh atau berpikir, maka ia harus menyadari kenyataannya. Namun di awal latihan, orang tentu saja tidak dapat menyadari setiap hal tersebut di atas. Karena itu ia harus mulai memperhatikan hal-hal yang berlaku, yang menarik perhatian dan mudah dirasakan olehnya.

        Dalam setiap tindakan bernafas, perut senantiasa naik dan turun dan gerakan tersebut jelas sekali. Hal ini merupakan sifat materi yang dikenal sebagai vâyodhâtu (elemen pergerakan). Meditator harus mulai dengan memperhatikan gerakan ini, dan dilakukan oleh pikiran yang dengan tekun mengamati perut. Anda akan mengetahui bahwa perut bergerak naik saat Anda menarik nafas, dan bergerak turun saat Anda menghembuskan nafas. Gerakan naik harus disadari sebagai gerakan naik, dan gerakan turun sebagai gerakan turun. Jika gerakan tersebut tidak cukup jelas bila hanya diamati oleh pikiran, maka Anda dapat menyentuh perut Anda dengan menggunakan telapak tangan. Jangan mengubah cara Anda bernafas, jangan memperlambat atau mempercepatnya. Jangan bernafas terlalu keras juga. Anda akan merasa lelah jika mengubah cara bernafas. Bernafaslah dengan teratur seperti biasanya dan perhatikan perut yang bergerak naik dan turun setiap kali berlangsung. Lakukan pengamatan itu dengan pikiran dan bukan dengan gerakan.

        Dalam meditasi vipassanâ, apa yang Anda sebut atau katakan tidak masalah. Yang menjadi persoalan utama adalah mengetahui atau merasakan. Saat mengamati perut yang bergerak naik, lakukan hal itu dari awal hingga akhir gerakan seperti layaknya Anda melihatnya dengan mata. Lakukan hal yang sama untuk gerakan turun. Perhatikan gerakan naik sedemikian rupa hingga kesadaran Anda terhadapnya selaras dengan gerakan itu sendiri. Gerakan naiknya perut serta kesadaran mental terhadapnya harus bertepatan, seperti layaknya sebuah batu yang dilempar mengenai sasarannya. Demikian pula dengan gerakan turun.

        Pikiran Anda bisa saja mengembara ke mana-mana saat mengamati gerakan perut. Hal ini juga harus disadari dengan berkata dalam hati, "mengembara, mengembara". Jika hal ini diamati sekali atau dua kali, maka pikiran akan berhenti mengembara, sehingga Anda akan kembali mengamati perut yang bergerak naik dan turun. Jika kemudian pikiran sampai di suatu tempat, maka kita sadari, "sampai, sampai". Kemudian kembali lagi kepada gerakan perut naik dan turun. Jika Anda membayangkan bertemu seseorang, maka amatilah sebagai, "bertemu, bertemu". Kemudian kembali lagi kepada gerakan perut yang naik dan turun. Jika Anda membayangkan bertemu dan berbicara dengan seseorang maka amati hal itu demikian, "bicara, bicara".

        Singkatnya, apapun bentuk pikiran atau bayangan yang timbul haruslah disadari. Jika Anda membayangkan, maka sadarilah itu sebagai membayangkan. Jika Anda berpikir, maka sadarilah itu sebagai berpikir. Merencanakan sebagai merencanakan. Jika Anda merasa bahagia, sadarilah itu sebagai bahagia. Bosan sebagai bosan. Senang sebagai senang. Kecil hati sebagai kecil hati. Dan mengamati semua bentuk kesadaran ini disebut sebagai cittânupassanâ.

        Jika kita gagal mengamati bentuk-bentuk kesadaran tersebut, kita cenderung mengidentifikasikannya dengan seseorang atau satu individu. Kita cenderung berpikir bahwa inilah "aku" yang sedang membayangkan, sedang berpikir, merencanakan, mengetahui atau merasakan. Kita jadi berpikir bahwa ada seseorang yang sejak kanak-kanak hingga sekarang, sedang hidup dan berpikir. Sesungguhnya, orang tersebut tidak ada. Yang ada hanyalah bentuk-bentuk kesadaran yang berlangsung terus menerus. Itulah mengapa kita harus mengamati bentuk-bentuk kesadaran dan memahaminya sebagaimana adanya. Itulah mengapa kita harus senantiasa mengamati setiap bentuk kesadaran yang timbul. Karena dengan mengamati, bentuk kesadaran tersebut cenderung lenyap. Kemudian kita akan kembali mengamati gerakan naik dan turunnya perut.

        Jika Anda telah duduk bermeditasi sekian lama, maka perasaan kaku dan panas akan timbul dalam tubuh. Hal ini juga harus diamati dengan hati-hati pula. Sama halnya dengan rasa pegal dan lelah. Seluruh bentuk perasaan itu disebut sebagai dukkhâvedanâ (perasaan tidak puas) dan tindakan mengamatinya disebut sebagai vedanânupassanâ. Kegagalan atau kelalaian dalam mengamati sensasi-sensasi tersebut membuat Anda  berpikir, "Aku merasa kaku, aku merasa panas, aku merasa pegal, padahal aku baik-baik saja beberapa saat yang lalu. Aku sekarang merasa tidak nyaman dengan perasaan-perasaan yang tidak enak ini".

        Penjelasan mengenai bentuk-bentuk perasaan dengan menyertakan ego adalah keliru. Sesungguhnya tidak ada "aku" yang terlibat di sini. Yang ada hanyalah timbulnya satu bentuk perasaan tidak menyenangkan yang disusul oleh bentuk perasaan tak menyenangkan berikutnya.

        Hal ini sama seperti timbulnya aliran listrik baru yang berkesinambungan, yang menyebabkan lampu menyala. Setiap kali kontak yang tidak menyenangkan menyentuh tubuh maka bentuk-bentuk perasaan tidak menyenangkan timbul saling bergantian. Bentuk-bentuk perasaan ini harus diamati dengan hati-hati dan terus menerus, tak peduli apakah itu perasaan kaku, pegal atau panas. Pada tahap awal latihan meditasi yang dilakukan oleh seorang yogi, perasaan tersebut cenderung meningkat dan menyebabkan keinginan untuk mengganti posisi tubuh. Keinginan ini pun harus diamati, di mana setelahnya sang yogi harus kembali lagi mengamati perasaan kaku, pegal, panas dan sebagainya.

        "Kesabaran menuntun ke Nibbâna" demikian kata pepatah. Pepatah ini rupanya berhubungan erat dengan upaya bermeditasi. Orang harus sabar dalam bermeditasi. Jika ia menukar atau mengganti posisi tubuh terlalu sering karena tidak sabar menghadapi perasaan kaku atau panas yang timbul, maka samâdhi (konsentrasi benar) tidak akan berkembang. Jika samâdhi tidak berkembang maka batin tidak akan mencapai hasil, dan tidak juga akan tercapai Magga (Jalan menuju Nibbana), Phala (Buah dari Sang Jalan) dan Nibbâna. Itulah mengapa kesabaran sangat dibutuhkan dalam meditasi. Memang kesabaran terhadap bentuk-bentuk perasaan tidak menyenangkan dalam tubuh seperti rasa kaku, panas dan pegal serta yang lainnya sangatlah sukar dipertahankan. Orang tidak seharusnya gampang menyerah terhadap latihan meditasi pada saat muncul bentuk-bentuk perasaan tersebut sehingga ia langsung mengubah posisi tubuhnya. Ia harus melanjutkan meditasinya dengan penuh kesabaran, menyadari "rasa kaku sebagai rasa kaku" atau "panas sebagai panas". Bentuk-bentuk perasaan yang halus seperti ini akan langsung hilang jika orang tersebut mengamatinya dengan penuh kesabaran. Saat konsentrasi baik dan mantap, bahkan bentuk perasaan yang kuat sekalipun cenderung menghilang. Sehingga ia lalu kembali mengamati gerakan naik dan turunnya perut.

        Tapi ia tentu saja harus segera mengubah posisi tubuhnya jika bentuk-bentuk perasaan yang tidak menyenangkan tetap ada meskipun telah diamati sekian lama, dan juga bila perasaan-perasaan tersebut menjadi tak tertahankan lagi. Namun ia juga harus tetap mengamati demikian, "ingin mengubah posisi, ingin mengubah posisi". Jika tangan terangkat, maka harus diamati, "terangkat, terangkat". Jika tangan bergerak, amati demikian, "bergerak, bergerak". Mengubah posisi tubuh ini harus dilakukan dengan halus dan diamati demikian, "terangkat, terangkat", "bergerak, bergerak" dan "menyentuh, menyentuh".

        Jika tubuh bergerak, "bergerak, bergerak". Jika kaki terangkat, "terangkat, terangkat". Jika kaki bergerak, "bergerak, bergerak". Jika kaki turun, "turun, turun".

        Namun jika tidak mengubah posisi tubuh, hanya istirahat statis saja, maka kembalilah pada mengamati gerakan naik dan turunnya perut. Tak boleh ada waktu jeda saat itu. Yang ada hanyalah kesinambungan antara usaha mengamati dan pengamatan sesungguhnya, antara usaha samâdhi (tahap konsentrasi) dan samâdhi yang sesungguhnya. Dengan demikian tercapailah tahap-tahap kematangan yang terus menerus dan meningkat dalam kecerdasan seorang yogi. Magga dan Phala Ńâna (pengetahuan akan Jalan dan Buahnya) didapatkan hanya jika terjadi momentum pertemuan seperti ini. Proses meditasi adalah seperti menciptakan api dengan cara menggesekkan dua batang kayu dengan sekuat tenaga dan tanpa henti hingga timbul intensitas panas yang dibutuhkan (agar api menyala).

        Dengan cara yang sama, pengamatan dalam meditasi vipassanâ harus berkesinambungan dan tanpa henti, tanpa adanya jeda di antara kegiatan mengamati tersebut apapun fenomena yang timbul. Sebagai contoh, jika rasa gatal timbul dan meditator ingin menggaruknya karena rasa gatal tersebut sudah tidak tertahankan lagi, maka rasa gatal dan keinginan untuk menggaruk itu harus diamati, dan jangan langsung menggaruk agar gatalnya hilang.

        Jika ia dengan tekun mengamati, maka rasa gatal akan berangsur-angsur hilang dan kemudian ia bisa kembali mengamati gerakan naik dan turunnya perut. Jika rasa gatal tersebut tidak juga hilang, maka ia memang harus menggaruknya agar rasa gatal itu hilang. Namun pertama-tama, keinginan untuk menggaruk tersebut juga harus diamati. Semua gerakan yang dilakukan untuk menghilangkan rasa gatal ini harus diamati, khususnya gerakan menyentuh, menarik dan mendorong (gerakan-gerakan menggaruk) hingga akhirnya kembali pada mengamati gerakan naik dan turunnya perut.

        Setiap kali Anda mengubah posisi tubuh, Anda harus mulai dan mengamati keinginan untuk mengubah posisi tubuh itu dan dilanjutkan dengan mengamati setiap gerakan dengan cermat, seperti misalnya bangun dari posisi duduk, mengangkat tangan, menggerakkan dan merentangkannya. Perubahan posisi harus dilakukan bersamaan dengan pengamatan yang Anda lakukan.

        Saat tubuh Anda condong ke depan, amatilah itu. Saat Anda bangun, tubuh menjadi ringan dan terangkat. Konsentrasikan pikiran Anda pada gerakan ini, Anda harus mengamatinya pelan-pelan, "bangun, bangun".

        Seorang meditator harus bertindak seperti orang cacat yang lemah. Orang normal dan sehat akan berdiri dengan mudah, cepat dan tiba-tiba. Namun tidak demikian dengan orang cacat, ia akan bergerak pelan dan hati-hati. Demikian pula dengan orang yang menderita sakit punggung (encok), ia akan berdiri pelan-pelan supaya punggungnya tidak semakin sakit.

        Begitu juga para yogi yang bermeditasi. Mereka harus bergerak mengubah posisi tubuh secara bertahap, pelan dan hati-hati. Dengan demikian kewaspadaan, konsentrasi dan pandangan akan mantap. Karena itu mulailah dengan gerakan yang bertahap dan perlahan.

        Jika akan bangun, lakukanlah sepelan mungkin seperti layaknya orang cacat, pada saat yang sama amatilah, "bangun". Tidak hanya ini. Meskipun mungkin mata melihat, tapi bersikaplah seperti tidak melihat. Sama halnya jika mendengar. Saat bermeditasi, perhatian seorang yogi hanyalah mengamati. Melihat atau mendengar tidak menjadi perhatiannya. Jadi seaneh atau seheboh apapun yang barangkali dilihat atau didengarnya, ia harus bersikap seakan tidak melihat atau mendengarnya, yang ia lakukan hanyalah terus mengamati hal-hal tersebut dengan cermat.

        Saat membuat gerakan tubuh, seorang yogi harus melakukannya perlahan-lahan seperti orang cacat yang lemah, pelan-pelan menggerakkan lengan dan kaki, menekuk atau meluruskannya, menundukkan atau menegakkan kepala. Semua gerakan ini harus dilakukan pelan-pelan. Saat bangun dan posisi duduk, ia harus melakukannya secara perlahan, mengamati demikian, "bangun, bangun". Saat meluruskan badan dan berdiri, amati demikian, "berdiri, berdiri". Saat melihat kesana kemari, amati demikian, "melihat, memandang". Saat berjalan, amati langkah kaki, apakah kaki kiri atau kaki kanan yang maju. Anda harus selalu menyadari semua gerakan yang ada, mulai dari gerakan terangkatnya hingga turunnya kaki. Amati setiap langkah kaki, apakah dengan kaki kiri atau kaki kanan. Inilah cara mengamati jika seseorang berjalan dengan cepat.

        Cukuplah jika Anda melakukan pengamatan saat berjalan cepat atau berjalan dalam jarak tertentu. Saat berjalan perlahan atau berjalan cankama (berjalan naik dan turun), 3 gerakan harus diamati dalam setiap langkah yaitu: saat kaki terangkat, saat kaki terdorong ke depan dan saat kaki jatuh. Mulai saja dengan gerakan terangkat dan gerakan jatuh. Anda harus mengamati dengan cermat terangkatnya kaki. Demikian pula saat kaki jatuh ke tanah, Anda juga harus mengamati beratnya gerakan kaki turun.

        Orang harus berjalan, mengamati setiap langkah demikian, "angkat, turun". Pengamatan seperti mi akan semakin mudah setelah dilakukan selama dua hari. Kemudian lakukan pengamatan 3 gerakan seperti disebutkan di atas, "angkat, maju, turun". Pada awalnya, cukup mengamati satu atau dua gerakan saja yaitu, "kiri, kanan" saat berjalan cepat dan "angkat, turun" pada saat berjalan pelan. Jika pada saat berjalan Anda lalu ingin duduk maka amatilah demikian, "ingin duduk, ingin duduk". Dan pada saat duduk, amati dengan konsentrasi penuh beratnya gerakan turun tubuh Anda.

        Saat Anda sudah duduk, amati gerakan-gerakan yang Anda lakukan saat mengatur posisi kaki dan tangan Anda. Jika tidak ada gerakan apa-apa, namun hanya posisi tubuh yang statis, maka amati gerakan perut yang naik dan turun. Saat mengamati, jika timbul rasa kaku pada pinggul dan rasa panas di sekujur tubuh, lanjutkan dengan mengamati bentuk-bentuk perasaan tersebut. 

        Lalu kembali lagi pada, "naik, turun". Saat mengamati, jika timbul keinginan untuk berbaring, amati keinginan itu dan juga gerakan-gerakan tangan dan kaki saat Anda berbaring. Terangkatnya lengan, bergeraknya lengan, menempelnya sikut pada lantai, goyangan badan, kaki yang diluruskan, condongnya tubuh saat Anda telah siap untuk berbaring, semua gerakan ini harus diamati.

        Melakukan pengamatan saat Anda berbaring dengan cara demikian adalah penting. Dalam kasus gerakan seperti ini (yaitu berbaring) Anda dapat memperoleh pengetahuan (yaitu magga ńâna dan phala ńâna —pengetahuan akan Sang Jalan dan Buah). Saat samâdhi (konsentrasi) dan ńâna (pandangan terang) cukup mantap, maka pengetahuan itu dapat timbul kapan saja.

        Pengetahuan itu bisa datang dalam sekali  tekukan tangan atau dalam sekali rentangan tangan. Karena ini jugalah maka YM Ananda menjadi seorang Arahat. YM Ananda telah bertekad untuk mencapai tingkat Arahat dalam semalam saat Sang Buddha membabarkan ajaranNya untuk pertama kali. Ia berlatih semalaman satu bentuk meditasi vipassanâ yang dikenal sebagai kayagatasati, yaitu mengamati langkah kaki, kiri dan kanan, angkat, maju ke depan dan menjejak. Ia mengamati setiap kejadian, keinginan mental untuk beijalan serta gerakan fisik yang terjadi saat berjalan. Meskipun ini dilakukan hingga hampir subuh, ia belum juga berhasil mencapai tingkat Arahat.

        Dengan menyadari bahwa ia telah berlatih meditasi secara berlebihan, dan dengan tujuan menyeimbangkan samâdhi (konsentrasi) dan viriya (usaha), ia harus bermeditasi dalam posisi berbaring sejenak, maka ia masuk ke dalam kutinya. Ia duduk di atas bantal dan membaringkan tubuhnya. Saat melakukan ini dan mengamati, "berbaring, berbaring" maka ia langsung mencapai tingkat Arahat.

        YM Ananda hanyalah seorang sotâpanna (yaitu seorang pemenang arus, mencapai tingkat kesucian pertama) sebelum ia membaringkan tubuhnya. Dari tingkat sotâpanna, ia melanjutkan meditasi dan mencapai tingkat sakadâgâmi (yaitu orang yang kembali sekali lagi atau orang yang telah mencapai tingkat kesucian ke dua), tingkat anâgâmi (yaitu yang tidak kembali lagi atau tingkat kesucian ke tiga) dan tingkat Arahat (yaitu kondisi seseorang yang telah mencapai kesucian tertinggi). Tiga tingkat kesucian yang lebih tinggi ini dicapai hanya dalam waktu sekejap. Jadi renungkanlah pengalaman YM Ananda yang mencapai tingkat Arahat ini. Pencapaian seperti itu datang setiap saat dan hanya butuh waktu sekejap.

        Itulah mengapa seorang yogi harus tekun mengamati setiap saat. Ia tidak boleh bersantai-santai dalam mengamati dan berpikir bahwa, "sedikit waktu terlewat tidaklah seberapa". Segala gerakan yang terjadi saat berbaring dan mengatur posisi lengan dan kaki harus diamati secara cermat dan terus menerus. Jika tak ada gerakan, namun hanya tubuh yang statis, maka kembali pada mengamati gerakan naik dan turunnya perut.

        Bahkan jika hari sudah sangat larut dan waktunya tidur, maka seorang yogi tidak boleh tidur dulu dan mengendurkan pengamatannya. Seorang yogi yang serius dan bersemangat harus melatih kewaspadaan seperti mendahului rasa kantuknya itu. Ia harus terus bermeditasi hingga akhirnya memang tertidur. Jika meditasinya matang dan mengalahkan rasa kantuknya maka ia tidak akan tertidur. Sebaliknya, jika rasa kantuk yang menang maka ia akan langsung tertidur. Saat ia merasa ngantuk, maka ia harus mengamati, "ngantuk, ngantuk". Jika matanya terpejam, "terpejam, terpejam". Jika matanya terasa makin berat, "berat, berat". Jika mata terasa sakit, "sakit, sakit". Mengamati dengan cara demikian maka rasa kantuk akan hilang dan mata menjadi "segar" lagi. Sang yogi lalu harus mengamati, "segar, segar" dan terus mengamati gerakan naik dan turunnya perut. Betapapun giatnya seorang yogi melakukan meditasi, maka jika kantuk yang sebenarnya timbul maka ia akan langsung tertidur. Tidaklah sulit untuk tertidur, bahkan sangat gampang. Jika Anda bermeditasi dalam posisi berbaring maka rasa kantuk cepat datang dan akhirnya Anda jatuh tertidur. Itulah mengapa mereka yang baru mulai belajar bermeditasi tidak dianjurkan untuk sering-sering berlatih dalam posisi berbaring. Ia seharusnya lebih sering bermeditasi dalam posisi duduk atau berjalan. Tapi jika hari semakin larut malam dan sudah waktunya tidur, maka ia bisa bermeditasi saat berbaring, mengamati gerakan perut naik dan turun. Kemudian ia secara alami (otomatis) akan tertidur.

        Saat tidur merupakan saat beristirahat bagi seorang yogi. Tapi bagi seorang yogi yang benar-benar serius, ia harus membatasi waktu tidurnya hingga 4 jam. Inilah waktu "tengah malam" yang disarankan Sang Buddha. 4 jam tidur adalah cukup. Jika seorang pemula dalam meditasi berpikir bahwa 4 jam tidur tidaklah cukup untuk menjaga kesehatan, maka ia bisa memperpanjang waktu tersebut hingga 5 atau 6 jam. Enam jam tidur sangatlah cukup untuk menjaga kesehatan.

        Saat seorang yogi bangun, ia harus langsung mulai mengamati. Seorang yogi yang bertekad mencapai magga dan phalańâna harus beristirahat hanya pada saat tidur saja. Di saat yang lain, yaitu pada saat bangun, ia harus terus mengamati tanpa henti. Itulah mengapa pada saat terbangun dan tidur maka ia harus langsung mengamati keadaan pikiran saat bangun seperti, "bangun, bangun". Jika ia belum mampu membuat dirinya sadar akan hal ini, ia harus mulai dengan mengamati gerakan naik turunnya perut.

        Jika ia berniat bangun dari ranjang, ia harus mengamati demikian, "ingin bangun, ingin bangun". Lalu ia harus segera mengamati gerakan-gerakan saat mengatur posisi lengan dan kaki. Saat menegakkan kepala ia mengamati demikian, "tegak, tegak". Saat ia duduk ia akan mengamati, "duduk duduk". Jika ia mengubah gerakan-gerakan saat mengatur posisi tangan dan kaki, semua gerakan ini juga harus diamati. Jika tak ada perubahan apapun, namun hanya duduk diam, maka ia harus kembali pada mengamati gerakan naik dan turunnya perut.

        Orang juga harus mengamati saat ia mencuci wajah atau mandi. Karena biasanya gerakan-gerakan yang terjadi berlangsung cepat, sehingga harus diamati sebanyak yang memungkinkan. Kemudian ada pula gerakan berpakaian, merapikan ranjang, membuka dan menutup pintu. Semua gerakan tersebut harus diamati secermat mungkin.

        Saat seorang yogi makan dan memandang meja makan, ia harus mengamati demikian, "melihat, memandang, melihat, memandang". Saat menyodorkan tangan ke arah makanan, menyentuhnya, mengambil dan mengaturnya di piring, menundukkan kepala dan memasukkan sesendok ke dalam mulut, menurunkan tangan kembali dan menegakkan kepala, semua gerakan ini harus diamati seperti adanya (pengamatan seperti ini sama seperti cara pengamatan orang Burma saat makan. Mereka yang menggunakan garpu dan sendok atau sumpit harus mengamati gerakan-gerakannya dengan sikap yang sepatutnya).

        Saat ia mengunyah makanan, ia harus mengamati demikian, "mengunyah, mengunyah". Saat ia sampai pada tahap merasakan makanan, ia harus mengamati, "mengetahui, mengetahui". Saat ia menikmati dan menelan makanan tersebut, dan saat makanan tersebut tunun melalui kerongkongannya, ia harus mengamati gerakan ini. Inilah yang harus dilakukan seorang yogi saat ia makan sesendok demi sesendok. Begitu pula jika ia sedang makan sup. Semua gerakan yang terjadi seperti menyodorkan tangan, memegang sendok dan menyendok sup tersebut, semua gerakan ini harus diamati. Mengamati gerakan-gerakan yang terjadi pada saat makan memang cukup sulit karena terdapat begitu banyak hal untuk dilihat dan diamati. Pada awalnya seorang yogi akan melewati beberapa hal yang seharusnya diamati, tapi ia harus bertekad untuk dapat mengamati semuanya. Tentu saja ia tak dapat mencegah lewatnya beberapa hal yang seharusnya diamati, tapi saat samâdhi (konsentrasi)-nya telah mantap, ia akan mampu mengamati dengan cermat semua gerakan yang terjadi.

        Sampai di sini saya telah menyebutkan begitu banyak hal yang harus diamati oleh seorang yogi. Tapi secara singkat, sebenarnya hanya ada beberapa hal mendasar yang perlu diamati. Saat berjalan cepat, amati demikian, "kanan, kiri". Saat berjalan pelan, "angkat, turun". Saat duduk diam, amati hanya gerakan naik dan turunnya perut. Amati hal yang sama saat Anda yang perlu diamati. Saat mengamati demikian dan pikiran melantur, amatilah bentuk-bentuk kesadaran. Lalu kembali pada gerakan naik dan turunnya perut.

        Amati pula rasa kaku, pegal dan sakit serta rasa gatal manakala timbul. Lalu kembali pada mengamati gerakan naik dan turunnya perut. Amati juga, saat timbul, gerakan condong dan meluruskan pinggul, gerakan mencondongkan dan menegakkan kepala, gerakan memutar dan meluruskan tubuh. Lalu kembali pada mengamati gerakan naik dan turunnya perut.

        Jika seorang yogi terus mengamati secara demikian, ia akan mampu mengamati lebih banyak gerakan yang terjadi. Pada awalnya, saat pikirannya mengembara kesana kemari, ia akan kehilangan banyak hal untuk diamati. Tapi ia pantang putus asa karena setiap pemula dalam meditasi akan menghadapi kesulitan yang sama.

        Tapi saat ia semakin terlatih, ia akan semakin menyadari saat pikirannya mulai melantur hingga akhirnya pikiran itu berhenti melantur. Pikirannya kemudian akan terpusat pada obyek perhatian, kewaspadaan menjadi hampir simultan (tanpa henti) pada obyek perhatiannya, misalnya gerakan naik dan turunnya perut (atau dengan kata lain, gerakan naiknya perut akan selaras dengan mengamati, demikian pula dengan gerakan turunnya perut).

        Obyek fisik perhatian dan kegiatan mental mengamati akan berlangsung secara berpasangan. Dan dalam keadaan ini, tak ada satu individu atau orang yang terlibat. Yang ada hanyalah obyek pengamatan dan kegiatan mengamati yang berpasangan. Sang yogi pada saatnya akan mengalami sendiri keadaan ini yang sesungguhnya. Saat mengamati gerakan naik dan turunnya perut ia akan dapat membedakan bahwa gerakan naiknya perut sebagai fenomena fisik dan kegiatan mental mengamatinya sebagai fenomena psikis. Begitu pula dengan gerakan turunnya perut. Dengan demikian sang yogi akan menyadari dengan sejelas-jelasnya keadaan tanpa henti dari pasangan fenomena fisik dan psikis tersebut.

        Karenanya, dalam setiap tindakan mengamati, sang yogi akan memahami sendiri dengan jelas bahwa yang ada hanyalah bentuk materi yang menjadi obyek perhatian serta keadaan mental yang mengamatinya. Pemahaman membedakan ini disebut sebagai nâmarűpa-pariccheda-ńâna, sebagai tahap awal vipassanâ-ńâna. Sangatlah penting untuk meadapatkan pemahaman ini secara benar. Hal ini akan dicapai, jika sang yogi terus berlatih, dengan pengetahuan membedakan antara sebab dan akibat. Dan pengetahuan ini disebut sebagai paccaya-pariggaha-ńâna.

        Saat sang yogi terus mengamati, ia akan memahami bahwa segala sesuatu yang timbul akan cepat berlalu. Orang awam selalu berasumsi bahwa baik fenomena mental dan material akan berlangsung selamanya, yaitu dari kanak-kanak hingga dewasa. Pada kenyataannya tidaklah demikian. Tak ada satu fenomena pun yang abadi. Semua bentuk fenomena timbul dan berlalu begitu cepat, bahkan tidak lebih lama dari satu kedipan mata. Sang yogi akan memahaminya sendiri jika ia terus mengamati. Ia lalu menjadi sangat yakin bahwa segala fenomena bersifat hanya sementara. Keyakinan seperti ini disebut sebagai aniccânupassana-ńâna.

        Pengetahuan tersebut lalu akan diikuti oleh dukkhânupassanâ-ńâna, yaitu menyadari bahwa segala sesuatu yang bersifat sementara adalah derita. Sang yogi juga akan menemui berbagai macam kesulitan dalam tubuh, yang merupakan satu bentuk dari penderitaan. Ini adalah juga dukkhanupassana-ńâna. Selanjutnya, sang yogi akan menjadi yakin bahwa segala fenomena psiko-fisik terjadi dengan sendirinya, tanpa menuruti keinginan atau di bawah kendali siapa pun. Mereka bersifat tanpa jiwa atau tanpa ego. Kesadaran akan hal ini disebut sebagai anattânupassanâ-ńâna.

        Saat ia terus melakukan meditasi, sang yogi akan menyadari dengan jelas bahwa segala fenomena bosifat aniccâ, dukkhâ dan anattâ, hingga akhirnya ia mencapai Nibbâna. Para Buddha, Arahat dan Arya memahami Nibbâna dengan mengikuti hanya jalan ini.

        Para yogi meditasi harus mengenali bahwa mereka berada pada jalan sati-patthana ini, untuk memenuhi keinginan mereka mencapai magga-ńâna (pengetahuan akan Sang Jalan), phala-ńâna (pengetahuan Buah dan Sang Jalan) dan Nibbâna-dhamma, serta yang menyertai masaknya buah itu adalah pârâmi mereka (kebajikan sempurna). Mereka harus merasa bahagia akan hal ini serta pada kemungkinan mengalami keadaan samâdhi luhur ini (kedamaian pikiran yang timbul dari konsentrasi) dan ńâna (kebijaksanaan) yang dialami oleh para Buddha, Arahat dan Arya, yang tidak pernah mereka alami sebelumnya.

        Tidak lama setelah itu mereka akan mengalami sendiri magga-ńâna, phala-ńâna dan Nibbâna-dhamma yang juga dialami oleh para Buddha, Arahat dan Arya. Dan sesungguhnya, hal-hal tersebut akan dialami dalam rentang waktu satu bulan, 20 atau 15 hari latihan meditasi. Bahkan bagi mereka yang memiliki pârâmi istimewa akan mengalami dhamma-dhamma ini hanya dalam 7 hari.

        Sang yogi memang seharusnya merasa puas dalam keyakinan bahwa ia akan mencapai dhamma-dhamma ini dalam waktu seperti tersebut di atas, bahwa ia akan terbebas dari sakâyaditthi (kepercayaan akan adanya aku) dan vicikicchâ (keragu-raguan), serta terselamatkan dari bahaya kelahiran kembali di alam manapun juga. Ia harus melanjutkan berlatih meditasi dalam keyakinan ini.

        Semoga Anda semua mampu berlatih meditasi dengan baik dan dengan segera mencapai Nibbâna yang telah dialami oleh para Buddha, Arahat dan Arya.

        Sadhu!Sadhu!Sadhu!***


Sumber:

LATIHAN MEDITASI VIPASSANA PRAKTIS; terjemahan dari bahasa Burma ke bahasa Inggris oleh: U Nyi Nyi, Mahâsi Yogi, beserta anggota Executive Committee, Buddhasâsanânuggaha Association, 1978