Keyakinan Dalam Agama Buddha |
oleh: Ven. U. Dhammaratana Mahathera |
Judul Asli: Faith In Buddhism; dari buku SAMBHASHA; Mahabodhi-India (penerbit) |
Di antara agama-agama di dunia, agama Buddha dianggap sebagai yang paling rasional. Mengenai hal ini, dalam Kalama Sutta yang sangat terkenal Sang Buddha mengatakan:
"O kaum Kalama! Jangan menerima apa pun hanya karena tradisi. Jangan menerima apa pun hanya karena desas-desus. Jangan menerima apa pun hanya karena itu sesuai dengan kitab sucimu. Jangan menerima apa pun hanya karena itu memiliki daya tarik pribadi bagimu. Jangan menerima apa pun hanya karena itu sesuai dengan pandangan prakonsepsimu. Jangan menerima apa pun hanya karena itu diucapkan oleh orang yang terkenal. Jangan menerima apa pun hanya karena itu diucapkan oleh orang yang dihormati.
"O kaum Kalama! Jika engkau mengetahui sendiri —hal-hal ini tidak bermoral; hal-hal ini tidak pantas; hal-hal ini dicela oleh orang bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dilakukan, membawa kehancuran dan kesedihan— maka seharusnya kalian menolaknya.
"O kaum Kalama! Jika engkau mengetahui sendiri —hal-hal ini bermoral; hal-hal ini tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dilakukan, membawa kesejahteraan dan kebahagiaan— maka hiduplah sesuai dengannya".
Ini bukanlah kata-kata seorang rasionalis dari abad dua puluh di mana begitu banyak percakapan tentang rasionalisme. Kata-kata yang pantas diingat ini diucapkan lebih dari 2500 tahun yang lalu oleh Sang Buddha —Yang Telah Tercerahkan— kepada sekelompok orang desa di lembah Gangga. Ini bisa dikatakan sebagai Magna Carta bagi kebebasan pikiran yang diberikan oleh Sang Buddha. Sejalan dengan sikap rasional. Sang Buddha memberikan ajaran-Nya kepada dunia. Sehubungan dengan sikap rasional, dapat dipertanyakan: Adakah tempat bagi keyakinan di dalam agama Buddha?
Pada masa lalu, pertanyaan seperti itu pernah diajukan dan sekarang pun masih dipertanyakan di banyak tempat; apakah agama Buddha merupakan suatu agama? Jawabannya; jika yang dianggap agama adalah kepercayaan pada eksistensi Tuhan dalam sosok pribadi, kebenaran akan suatu wahyu, dan kemujaraban sakramen atau dogma-dogma tertentu, maka dalam pengertian tersebut, agama Buddha bukanlah suatu agama. Namun jika agama berarti cara hidup yang luhur, sistem etika, disiplin spiritual, maka dalam pengertian yang lebih luas itu tentu saja agama Buddha merupakan suatu agama.
Hal yang sama dapat dikatakan mengenai keyakinan. Keyakinan (iman) sangat erat dihubungkan dengan agama sehingga istilah keyakinan sendiri telah menjadi sinonim dengan agama. Maka dapat dikatakan bahwa seperti halnya agama Buddha dapat dianggap suatu agama dalam suatu pengertian, tetapi bukan agama dalam pengertian lain, demikian pula agama Buddha merupakan suatu keyakinan dalam suatu pengertian tetapi bukan merupakan suatu keyakinan dalam pengertian lain. Dengan kata lain: keyakinan mempunyai tempat dalam agama Buddha. Berikut ini penjelasan tentang sifat keyakinan itu.
Tidaklah mungkin bagi kita untuk hidup sesaat pun dengan apa yang bisa disebut keraguan universal. Ini tidak berarti bahwa kita harus percaya atau memiliki keyakinan dalam suatu hal atau apa pun, juga tidak berarti bahwa kita harus memiliki keyakinan yang buta dalam suatu hal. Jika seorang murid tidak memiliki keyakinan pada gurunya, sulit baginya untuk menerima pelajaran dari guru itu. Maka ia harus cukup pandai untuk membedakan mana guru yang baik dan mana guru yang buruk. Demikian juga, jika seorang pasien tidak memiliki keyakinan terhadap dokternya, dia tidak dapat menerima manfaat pengobatan. Maka pasien itu harus cukup pandai untuk membedakan mana dokter yang asli dan mana dokter yang palsu. Kita tidak boleh menjadi teramat skeptis (bersikap sama sekali tidak percaya) sehingga tidak memiliki keyakinan sama sekali walaupun kita sudah berada di tangan seorang dokter yang baik. Akibatnya, kita menjadi korban dokter gadungan. Jelas sekarang, bahwa kita harus menghindari kedua ekstrim itu: terlalu skeptis atau terlalu mudah percaya begitu saja, dan harus mengambil jalan tengah. Dengan kata lain, kita harus tetap memiliki pikiran yang bersifat menyelidik tanpa memihak. Selama suatu situasi masih belum jelas, kita harus mempertahankan pikiran yang waspada dan terbuka. Sementara kita berada dalam keadaan mental semacam itu, keraguan dapat digunakan untuk tujuan penyelidikan. Jadi dapat kita katakan bahwa dalam batas-batas tertentu, pada suatu tahap tertentu, keraguan itu sangat berguna. Keraguan menyelamatkan kita dari bahaya yang bisa timbul karena sangat mudah percaya.
Skeptisisme memang tidak ada gunanya, tidak membawa kita ke mana pun. Seandainya skeptisisme membawa kita ke suatu tempat, tempat itu hanyalah stagnasi (kemandekan). Skeptisisme merupakan sikap pikiran yang sangat tidak sehat, mungkin bahkan dapat menjadi suatu penyakit mental. Skeptisisme tidak memecahkan masalah bagi kita, melainkan hanya meninggalkan kita di tempat awal. Lebih baik kita bergerak ke suatu arah sekalipun beresiko daripada hidup dalam stagnasi, sehingga jika kita tidak melihat sinar di sana, kita dapat berpaling ke arah lain. Ini akhirnya akan membawa kita pada suatu keputusan. Karena itu Sang Buddha menasihati agar kita tidak menjadi korban skeptisisme atau mudah percaya. Kita harus tetap mempertahankan pikiran menyelidik untuk mencari kebenaran. Beliau mengajar kita untuk mengembangkan pariyesana atau semangat menyelidik, dan Pencaharian Beliau dalam mendapatkan Kebenaran disebut arya-pariyesana atau Pencaharian Yang Agung. Untuk hal ini kita harus memiliki suatu keyakinan yang harus merupakan keyakinan rasional, bukan keyakinan buta. Keyakinanlah yang memberi kita dorongan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan yang kita canangkan.
Ada indria-indria mental yang sebenarnya bersifat netral. Yang membuat indria mental bersifat baik atau buruk adalah jenis penerapannya. Misalnya ditthi (pandangan) sebenarnya bersifat netral. Tetapi jika kita salah menggunakannya, itu disebut micchaditthi. Jika kita menggunakannya dengan benar, itu disebut sammadhitthi. Demikian juga halnya dengan tujuh unsur lain dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dalam skala evolusi spiritual, kita memiliki Jalan Tak Mulia Berunsur Delapan yang menyeret kita ke bawah, serta Jalan Mulia Berunsur Delapan yang membawa kita ke atas.
Demikian juga keyakinan sebenarnya bersifat netral. Jika kita menggunakannya dengan mata tertutup, tanpa menyelidik, maka itu menjadi keyakinan buta. Tetapi jika kita menggunakannya dengan mata terbuka, dengan menyelidik, maka itu menjadi keyakinan yang rasional.
Dalam bahasa Pali, apa yang disebut keyakinan buta dikenal sebagai okappana saddha. Ini merupakan keyakinan orang biasa yang terbentuk dari desas-desus atau dari rasa hormat terhadap suatu tradisi yang sudah lama dihargai. Ini merupakan keyakinan profesional yang dihubungkan dengan kepercayaan semata. Sebaliknya, keyakinan rasional terlahir dari penghargaan, atau pasadha dalam bahasa palinya. Ketika kita mengetahui nilai suatu hal, kita menghargainya. Maka dengan sendirinya keyakinan muncul. Mengenai kitab-kitab suci, orang menerima atau menolak satu hal sehubungan dengan anisamsa (akibat yang baik) dan adinatha (akibat yang buruk). Jadi keyakinan yang terlahir dari pengetahuan semacam itu dikenal sebagai pañña maya saddha (dari kebijaksanaan itulah muncul keyakinan).
Ada dua sifat utama dari keyakinan yang rasional. Salah satunya adalah sampahansaññalakkhana atau sifat ketenangan. Sesuai dengan kekuatan keyakinan itu, gangguan-gangguan mental mereda dan ketenangan dicapai. Sifat lainnya adalah sampakkhandalakkhana yang berarti melompat ke atas atau beraspirasi untuk mencapai apa yang belum dicapai. Hanya jika pikiran berada dalam keadaan seperti inilah maka energi dapat dilepaskan dan usaha dapat dikerahkan untuk mencapai apa yang belum dicapai sejauh ini. Jadi penting sekali memiliki saddha atau keyakinan semacam ini, di dalam agama Buddha.
Di antara berbagai jenis, orang yang memiliki keyakinan rasional disebut seorang kalyanaputhujjana. Ia bersungguh-sungguh ingin mencapai Nibbana dan karenanya mengerahkan usaha untuk mencapainya. Walaupun seorang kalyanaputhujjana memiliki keyakinan penuh, namun ia mungkin masih memiliki keraguan, karena sejauh itu ia belum memiliki pengalaman tujuan. Orang yang mencapai tahap kesucian pertama —sotapanna (pemasuk arus)— telah terbebas dari vicikiccha atau keraguan. Ini adalah salah satu dari tiga belenggu yang diputus oleh seorang sotapanna. Sotapanna memperoleh pandangan terang Nibbana untuk pertama kalinya. Dengan merekahnya fajar spiritual yang pertama ini maka kegelapan keraguan pun berakhir. Setelah pengalaman ini, keyakinannya menjadi tak tergoyahkan. Dikatakan menjadi aveccappasada. Walaupun keyakinan kalyanaputhujjana itu rasional, tetap saja keyakinan itu didasarkan pada informasi, pada pengetahuan tangan kedua. Sebaliknya, keyakinan seorang Ariyapugala atau orang yang telah mencapai salah satu tahap kesucian dikatakan adhigamasaddha atau keyakinan yang diwujudkan. Disebut demikian karena keyakinannya telah membuahkan hasil. Dalam hal ini keyakinannya didasarkan pada pengalaman, bukan informasi. Ini berlaku untuk tiga tahap kesucian yang pertama. Mengenai tingkat kesucian yang keempat dan terakhir yaitu Arahat, posisinya sangat berbeda. Seorang Arahat telah mencapai tujuan. Beliau tidak lagi memiliki apa pun untuk dicapai, Beliau tidak memiliki aspirasi untuk dipenuhi. Oleh karenanya seorang Arahat dikatakan assaddho atau orang yang tidak lagi memiliki aspirasi. Orang yang belum memasuki Sang Jalan dan dengan demikian tidak memiliki keyakinan sama sekali juga disebut assaddho. Demikian juga, orang yang telah melangkah pada Sang Jalan dan mencapai tujuan pun disebut assaddho. Dengan kata lain, baik Anda puthujjana maupun arahat dikatakan tanpa keyakinan. Walaupun sama bentuknya, kata ini digunakan dalam arti yang sama sekali berbeda dalam dua konteks itu. Ini merupakan dua ekstrim yang tidak pernah dapat dipertemukan.
Dari sudut analisa ini, makna kata-kata Sang Buddha mengenai hal ini menjadi sangat jelas. Dalam kotbah-kotbah Sang Buddha ada berbagai bagian yang dihubungkan dengan saddha. Segera setelah mencapai pencerahan, Sang Buddha mengumumkan bahwa pintu-pintu Kekekalan telah terbuka. Jadi mereka yang ingin mendengarkan doktrin Sang Buddha harus menumbuhkan saddha mereka. Di dalam alur-alur diskusi Beliau dengan Brahmana Bharadvaja, Sang Buddha memberitahu bahwa saddha adalah benih kehidupan spiritual. Kemudian lagi di beberapa tempat yang lain kita juga menemui ungkapan Sang Buddha bahwa samudra samsara dapat dilewati dengan saddha atau keyakinan rasional. Dari semua ini kita dapat melihat bahwa saddha mempunyai tempat yang penting di dalam agama Buddha. Alasannya adalah bahwa sekadar penghargaan intelektual atau akademis tidakiah cukup. Tanpa saddha, tanpa aspirasi —tidak akan ada dorongan dari dalam untuk terjadinya perwujudan.
Seperti yang telah disebutkan di atas, jika seorang pasien ingin berhasil dalam pengobatan terbadap penyakitnya, ia harus memiliki keyakinan pada dokternya. Tanpa itu tidaklah mungkin mendapat dan melanjutkan pengobatan. Inilah jenis saddha yang dituntut oleh Sang Buddha dari para pengikutnya. Sang Buddha dikenal sebagai anupama vaidyaraja atau dokter yang tak ada bandingnya. Juga disebut demikian karena Sang Buddha mendiagnose penyebab dukkha —penyakit umat manusia yang paling parah— dan menemukan obat untuk itu. Orang yang merasakan perlunya menjalani pengobatan harus melakukannya dengan saddha. Bukan keyakinan buta, melainkan keyakinan rasional —pañña maya saddha.
Dalam agama Buddha, saddha merupakan suatu indriya dan bala (kekuatan). Sebagai suatu indriya, saddha ada pada setiap orang normal, paling tidak dalam bentuk yang tidak aktif. Sama seperti keluhuran yang lain, saddha harus dikembangkan. Jika telah dikembangkan, saddha akan menjadi suatu kekuatan. Terutama berlaku dalam tahap-tahap kehidupan spiritual yang lebih tinggi.***
Sumber: |
PENGABDIAN TIADA HENTI, 20 th Abdi Dhamma Sangha Theravada Indonesia, Penerbit Buddhis Bodhi, 1996. |