Bisnis Sukses Sesuai Dhamma

oleh: Bhikkhu Uttamo Thera

        Saudara-saudara, kadang-kadang kita mempunyai perenungan, mempunyai pikiran "Agama Buddha ini sebetulnya agama model opo toh?" Kenapa demikian? Karena kalau kita melihat bhikkhunya saja, sebetulnya (kalau menurut pandangan orang-orang lho ya) agak kurang canggih, agak kurang modern. Saya pernah mendapat pertanyaan dari seorang umat, pertanyaannya gampang. "Bhante, kenapa kok bhante pake jubah? Mbok ya pake jas, jadikan rapi nggak hewes-hewes". Lha iya toh kalau pakai jubah kan kelihatan kedodoran, kurang rapi, ndakak singset nggak ketahuan bodynya.

        Saya sebetulnya merasa untung, saya pakai jubah ini saya untung, nggak kelihatan cekingnya. Kalau pakai baju biasa waah saya kelihatan tipis kayak papan. Saudara-saudara, saya ditanya begitu. "Hee, kenapa bhikkhu kok nggak pakai jas saja? Kok pakainya jubah?" Waah saya jawab: "Memang, kalau pakai jas memang gengsinya naik". Ya jadi bhikkhu kan perlu gengsi mungkin umatnya lho, bhikkhunya sih tidak. Umatnya yang merasa malu, buktinya apa? Kadang-kadang di airport saya tahu iki umat Buddha tapi ketemu saya saja pura-pura tidak tahu. Isin, aku kok jadi umat Buddha e ketemu bhikkhu model ngonoan. Jadi, serius itu pura-pura tidak tahu. Saya ya tenang-tenang saja.

        Kemudian saya jawab: "Kalau saya menggunakan jas memang gengsinya naik, umat-umat bangga. Tuh pemuka agama Buddha saiki jas-jasan". Bangga toh? Sehingga nanti kalau ditanya 'Mau ke mana?' "Mau ke vihara mau ketemu sama bhuantenya, bhante sekarang jas-jasan, sepatuan, pecian. Waaah, pakai jam rolex". Senang, gengsi memang naik, tapi fungsinya turun. Fungsi pakaian menjadi turun. Sebaliknya, kalau saya menggunakan jubah gengsi memang agak kurang. Saya menyadari gengsi ya pancen agak kurang, memang kurang, tapi fungsinya besar sekali.

        Saudara-saudara pernah tahu jubah bentuknya apa? Belum? Apa perlu dicopot sekarang? Nanti saya masuk angin, waah. Saya kasih gambaran saja supaya saudara bisa bayangkan. Ya nanti kalau dicopot nanti saudara stress malah, saudara stress saya lebih stress. Jubah itu kira-kira bentuknya persegi panjang tapi nggak ada bolongan dua ini ndak ada (lengan dan kepala). Bentuknya persegi panjang, saudara boleh bayangkan bentuknya kayak seprei ya kayak seprei, seprei kan persegi panjang. Lebarnya ini 2 meter panjangnya ini 3 meter, besar loh ya 2 kali 3. Ya bentuknya ya begini ini aja, lembaran begini.

        "Lha kok bisa model tangan keluar kepala di luar?" Lhaa, ini bagian dari seni ya. Apa ada kancingnya? Ndak pakai kancing, waah kancingnya digulung. Nanti kalau saudara mau tanya pada saudara itu, ini pernah jadi samanera... itu rambutnya masih saingan sama saya. Ya bentuknya 2 kali 3, dengan cara tertentu kita bisa atur supaya kepala keluar tangan di luar atau jubahnya separuh dibuka, bisa itu. Nanti kalau saudara lihat bhikkhu kok bisa separuh di luar? Lho iya itu seninya, kita teknik mode memang punya.

        Nah saudara-saudara. Karena bentuknya yang lebar 2 kali 3 ini, maka jubah menjadi sangat fungsional, sangat berfungsi, sangat bermanfaat. Satu contoh saya tadi kedinginan, siang-siang di Parakan aja kedinginan. Waktu saya istirahat siang, jubah saya ini untuk alas tidur sekaligus untuk selimut. Kenapa saya seorang bhikkhu perlu tidur pakai alas? Karena saya kan tidur cuma 2 jam tadi, 1 jam 'mereman' cuman. Nah kalau nanti 1 jam keringat saya nempel di situ kan kasihan yang punya rumah. Ya kebetulan keringat saya pas wangi, oh iya keringat saya ini wangi ndak pakai parfum toh wangi, belum mandi juga wangi. Kalau kebetulan ketemu yang keringatnya kecut, bau asin dan sengak. Waah inikan repot! Jadi perlu dikasih alas gini karena bentuknya kan panjang begini pakai diagonalnya toh? Kepalanya di bagian sudut sini terus selonjor naah sudah toh? Tinggal badannya digini, dilipat aah dibungkus anget sudah.. hepi.

        Saudara bisa bayangkan kalau saya pakai jas. Hayo, kalau pakai jas suruh bungkus begini, ndak bisa, nggak kena. Ditutup sini perutnya masih kademen. Ditutup perutnya, dadanya yang isis kakinya isis. Tapi dengan jubah 2 kali 3 ini anget semua sampai kepala ini bisa ditutup, rapi. Mungkin tadi kalo yang punya rumah masuk malah kaget "Ih buntelan opo?" Untung sudah saya kunci dulu, biar nggak ngegetgeti. Dia kaget saya juga ikut kaget nanti.

        Nah saudara, itu bagian untuk tidur. Saya pernah ketemu ada rumah baru untuk tidur bhikkhu, ya memang kan bhikkhu selalu dikasih tempat yang paling bagus. Saya menyadari betul itu, umat selalu menyediakan yang terbaik. Suatu hari saya diundang untuk tidur di rumah umat karena rumahnya masih baru gorden aja belum ada. Padahal di depan jendela sliwar sliwer orang. Waah, saya sempat stress ini, gak aku dinjen. Saya ngalah-ngalahin bintang filem eh, ditonton orang, di jalan ditonton. Jadi kayak aku dinjen. Maksudnya dinjen itu kalo di kebun binatang monyoknya lagi opo? Jadi bukan dinjen kayak bintang filem maksudnya. Lalu saya berpikir, "Waah sekarang saya harus mengorbankan jubah saya yang 2 kali 3 ini tak centelke". Saya bawa karet, 1 karet disini pucuknya 1 di sini, aman, 2 kali 3 jadi gorden. Coba bayangkan kalau pakai jas. Centelke cupet sana cupet sini, waah tetep di'inceng'! Lha ini seninya.

        Ini masih belum hebat. Ada yang lebih hebat lagi, saudara. Pengalaman lain jubah saya yang serba guna ini. Suatu ketika saya pergi ke desa, desa yang jauh, sangat minim, sangat minus, desa pra-sejahtera. Saudara-saudara, namanya saya manusia dan saya kebetulan agak rajin, saya pengen mandi. Eh, saya rajin walaupun di Parakan tapi saya rajin, saya mau mandi lho. Ini sudah disediakan air hangat wah pengertian betul. Kalau tidak disediakan mungkin saya ya ndak pakai air hangat ciplang ciplung, disediakan sudah.

        Saudara-saudara, saya rajin saya mau mandi. Ketika saya plunga-plungu di rumah, ditanya sama yang punya rumah "Bhante mau apa?" "Mau mandi, mana ya kamar mandinya?" Dia jawab, "Kita kalau mandi biasa di sungai, bhante". Waah, ya ndak apa-apa saudara. Saya waktu di hutan sana ya di sungai, tidak apa-apa. Oke kalau gitu saya di sungai. Turun saya ke sungai. Lha di sungai ini suasananya sungai Indonesia dan di Thailand itu tidak sama. Kalau saya mandi musti jadi tontonan, ya bintang filem. Apalagi belik (tempat sumber air) adep-adepan belik lagi sama belik perempuan.

        Waah lha saya sempet stress. Waah saya berpikir, pikir saya keras betul itu, saya keringeten ngalah-ngalahin fitness itu. Piye caranya saya mandi? Kalau di Thailand kita biasa, di Thailand karena namanya vihara kita mandi di vihara itu kita pake telesan, kalau di vihara itu kalau bhikkhu mandi pakai telesan. Tahu telesan? Jadi ada sarungnya. Jadi pakai sarung mandi, biasa.. tapi tidak kumpul sama cewek-cewek itu tidak! Karena kompleks vihara kan bhikkhu-bhikkhu semua ya ratusan orang mandi ndak apa-apa wong telesan semua. Tapi kalau Indonesia kan jarang toh mandi telesan? Mandinya kan mulus-mulus itu wah. Lha kalo saya telesan kok lucu nanti.

        Saya pikir lama, ah saya ketemu lagi penyelamat saya yang diturunkan oleh Sang Buddha ini. Jubah saya ini 2 kali 3 saya ngomong sama umat "Cari bambu 4". Bambu 4 tancap sana tancap sini tancap sana tancap sini, jubahnya dikeluntungkan. 3 meter kok, keluntungkan. Siip, saya masuk ke situ, ciblang-ciblung! Aman. Jadi jubah ini wah serba guna. Makanya kalau saudara belum pernah jadi samanera atau jadi bhikkhu wah ngeces saudara kalau lihat. Karena ini begitu bermanfaat. Nah kalau saya suruh ganti jubah ini jadi jas, rugi besar. Gimana saya ngadepi coba kalau sekarang mandi di sungai? Apa yang digelar coba? Apa nggak saya mandi sambil jasnya tutupkan muka. Ya toh? Kan yang penting mukanya nggak ketahuan. Biar nanti ketemu saya udah ndak kenal lagi. Gitu toh caranya yang paling praktis. Dalam keadaan darurat jubah tutupin muka, ngincengnya dari bolongan tangan.

        Nah saudara-saudara, jadi saya merasa jubah ini bermanfaat melebihi dari pakaian-pakaian yang lain. Karena itu saya tetap bertahan walaupun jubah itu kurang bergengsi, tapi penuh fungsi. Walaupun jas itu bergengsi, tapi fungsinya kurang. Nah, karena itu saudara-saudara maka kita harus berbangga menjadi umat Buddha. Karena Sang Buddha demikian canggih menurunkan ilmu yang bisa fungsional begitu. Oleh karena itu kalau saudara-saudara berpikir ngopo toh jadi umat Buddha? Oh umat Buddha itu diajarkan umat Buddha itu supaya menjadi baik, menjadi sukses di dalam kehidupan. Karena kalau kita lihat caranya saja sedemikian efisien berarti dalam kehidupannya pun bisa berhasil.

        Nah saudara-saudara, kalau sekarang kita mau berefisien, apa semua itu harus jadi bhikkhu? Tidak saudara. Buktinya apa? Antara bhikkhu dan umat saja banyak umatnya daripada banyak bhikkhunya, ya toh? Jaman Sang Buddha dulu juga begitu, bhikkhu lebih sedikit daripada umat. Oleh karena itu saudara-saudara, pada malam hari ini saya akan kasih ilmunya 'Bagaimana saudara bisa cari duit sebanyak-banyaknya'. Saudara kadang-kadang berpikir juga ya toh? Kadang-kadang saudara pikir bhante ini nggak nyambut gawe, tidak bekerja. Kok bisa bangun vihara tiga? Wah 3 itu kalau dihitung kira-kira 1 M lebih lho. Kok bisa ya? Kerja cara bagaimana? Lha ini, saya sebetulnya ya menerapkan caranya Sang Buddha ini, tapi dengan cara bhikkhu.

        Ada orang mengatakan bhante ini kan nggak kerja toh? Saya kalau udah dikatakan bhante ndak kerja saya protes. Saya ngomong, "Apakah saudara mengatakan kalau guru itu tidak kerja? Guru itu apa pengangguran? Lau-ze (guru —bhs.Mandarin) itu pengangguran toh?" Lau-ze kan ngajar toh. Cuo Lau-ze (menjadi guru) toh itu, ya kan jadi guru itu kan kerja. Lha bhikkhu inikan guru toh? Apa bhikkhu ini karena ndak bayaran terus dianggap nggak nyambut gawe. Lha saya ngowes-ngowes 2 jam ini apa nggak dikira ngajar. Lha sampe menir nih, ini kan ya ngajar. Lho jadi psikolog itu apa nggak kerja. Psikolog ya toh? Kalau ada orang stress, "Duh saya ini gegeran sama pasangan hidup saya, bagaimana nasehatnya". Di kasih keterangan, itukan kerja.

        Lha jadi bhikkhu kan juga jadi psikolog, malah sering ditanyai yang aneh-aneh. "Bhante, bagaimana bhante istri saya rewel sekali". Yo, karepmu itu istrimu. Waktu kamu hepi-hepi sama istrimu kamu nggak laporan saya. Sekarang susah-susah sama istrimu kamu baru lapor sama saya. Lho memangnya ngapain saya ngurusi gituan. Toh saya jadi bhikkhu ini biar nggak punya istri yang rewel kok. Ya tapi saya nggak bisa jawab begitu, jawab gitu besok diusir nggak dapat makan saya. Ya jadi saya kan harus ngasih keterangan, kasih nasehat kan begitu? Lho apa ini pengangguran. Bedanya saya itukan cuman tidak terima duit sebagai balas jasanya kerja ini toh. Kalau ceramah ya keringetan lho saya kayak orang guru ngajar lho, mandi keringat peras keringat ini, peras otak juga. Nah oleh karena itu saya juga ngajar, saya juga kerja, tapi caranya lain. Tapi hari ini tidak saya ajarkan cara kerjanya bhikkhu, saya akan ajarkan cara kerjanya saudara.

        Nah saudara-saudara, untuk bisa bekerja dengan baik supaya lancar supaya kaya supaya sukses. Coba saudara sekarang siapa yang kepengen kaya? Eh ada yang kepengen miskin lho. Lho saya saja nggak kepengen kaya kok. Siapa yang kepengen kaya? Semua? Kaya apa? Lho kaya apa? Mau apa coba, kaya apa coba? Kaya duit? Nanti tipis-tipis begitu? Bunder-bunder begitu? Saudara-saudara, untuk bisa kaya untuk bisa sukses itu ada cara ada kuncinya ada rumus yang diberikan oleh Sang Buddha.

        Saudara-saudara, banyak orang mengatakan kepada kita, "Jangan, jangan jadi umat Buddha". Lho memangnya kenapa? "Jadi umat itu miskin-miskin. Sekarang ikut aja agama saya, nanti mesti kaya". Ada nggak saudara pernah ditawari gitu? Saudara pernah ditawari nggak? Ada orang mengatakan, "Eh jangan ikut agama Buddha, agama Buddha itu agamanya orang miskin. Kita ini lho agamanya orang kaya". Kita tidak boleh minder saudara, karena sebetulnya umat Buddha ini boleh kaya dan boleh menjadi konglomerat. Saya harus tunjukkan dan harus berbangga bahwa kita sebagai seorang umat Buddha punya konglomerat.

        Ini adalah majalah Warta Ekonomi bulan Mei hampir setahun yang lalu tahun 1995. Di sini ditulis 'Gebrakan konglomerat Buddha'. Jadi umat Buddha ini banyak yang kaya, saudara. Saudara tentu lihat ni bos kita. Siapa yang tidak mengenal ini? Sudono Salim, perusahaannya jumlahnya berapa saja sampai lupa saking banyaknya. Kita bantal guling masih inget, banyaknya di kamar berapa, tapi ni Sudono Salim perusahaannya ratusan sudah nggak inget. Lha ini bos yang sebelah ini juga saudara mesti inget. Karena kalau Waisak mesti muncul, ini Pak Untung sering ketemu. Ini Hartati Murdaya, saudara kalau pakai komputer pakai Hewlett Packard itu HP ya miliknya beliau juga. Lha ini juga Prayogo Pangestu, Barito Pasific, ini juga umat Buddha saudara. Maka berbanggalah saudara jadi umat Buddha, karena umat Buddha kita bukan umat Buddha enteng-entengan. Ini Sukmawati Wijaya ini adalah anaknya Eka Cipta Wijaya, ini juga Indah Kiat itu. Lalu Oesman Atmadjaja adalah bos Bank Danamon. Ini baru 5, masih banyak di dalamnya yang lain, di buku yang ini masih banyak bosnya umat Buddha. Karena itu kita harus berbangga bahwa umat Buddha itu bukan 'kere-kere', umat Buddha itu sederhana hidupnya banyak depositonya, jadi berbahagia saudara ya.

        Sekarang saudara-saudara 'Bagaimana kita bisa menjadi konglomerat?' Ya ini penting karena kalau agama Buddha ngajari jadi bhikkhu terus lha kapan jadi konglomerat? Nanti kalau bhikkhunya yang banyak lha kapan dirikan vihara wong bhikkhu semua. Tapi kalau konglomeratnya banyak kan ada yang jadi sponsor nanti. Nah saudara-saudara, untuk bisa jadi konglomerat bukan kong-lu-melarat. Kalau kong-lu-melarat wah itu repot itu engkongnya nanti melarat betul itu 'kong-lu-melarat'. Tapi ini konglomerat. Ini ada kuncinya saudara. Yang pertama kali kuncinya adalah Bagaimana kita memilih pekerjaan. Ini penting sekali, maha penting karena kesalahan di dalam memilih pekerjaan akan menjadi kesalahan berjangka panjang.

        Bagaimanakah pemilihan pekerjaan? Pekerjaan itu harus disesuaikan dengan hobby, hobby, kesenangan, kegemaran itu harus dipilih. Anak-anak kalau sekolah itu juga harus disesuaikan dengan kegemarannya dia. Kenapa demikian? Kalau kita mau berhasil anak kita mau sukses itu harus kita menguasai apa yang kita kerjakan. Satu contoh saudara senang masak, jangan saudara buka bengkel, tidak cocok, suka masak buka bengkel. Nanti kalau ada orang dandekerewel bukan hanya mesinnya yang rewel tapi orangnya yang datang juga dandekerewel irus masuk ke kepala orang, ya toh? Kalau saudara suka masak, jadilah tukang masak, buka restoran, buka katering. Kenapa demikian? Kalau ada orang rewel "Ih, masakanmu kok ora enak?" Wah, kita lalu caranya berpikir lain "Oh, kowe ngomong masakanku ora enak, saya perbaiki nanti, laen kesempatan ngemel kowe dalu pangananku". Karena kita senang, kita hobby.

        Jadi kalau saudara senang masak bukalah katering atau rumah makan. Kalau senang bikin roti ya bukalah backery, boleh kelas lokal rumahan ataupun buka toko sungguh-sungguh. Saudara senang ngomong cerita.. ini kebetulan sekaramg ini belum kelihatan belum ada yang suka, sejak saya duduk di sini belum ada yang ngomong-ngomong dengan sebelah. Ada orang yang dari saya duduk pertama sampai ngomong terus sukanya ngomong terus sama sebelahnya. Langsung saya ngomong "Oh orang itu kepengen jadi sales". Karena sales itu begitu duduk 'seeet langsung wawauwaau' "Bagaimana tokonya rame kan? Dagangan saya sudah habis belum ko? Apa perlu order yang baru lagi? Ini ada barang baru lho sekarang..." (ewes-ewes.. omong terus). Mesti begitu. Tapi di sini nggak ada yang bakat sales, di sini bakatnya jadi meditasi semua. Tapi baik, baik. Nah jadi apa saja hobbynya saudara, kembangkanlah.

        Sekarang anak juga begitu, anak dari kecil kan ada hobby tertentu ya? Misalkan suka nyanyi, leskan menyanyi. Anak suka gambar, leskan menggambar, anak suka sepak bola, suruh les sepak bola. Suka berenang, leskan berenang sehingga menjadi jago di bagian itu menjadi tokoh di bagian itu.

        Nah saudara-saudara, ada orang tanya sama saya "Bagaimana bhante, kalau sekarang ada orang hobbynya tidur?" Saya tidak kalah jawaban, karena di dalam agama Buddha ini 1000 pertanyaan, 1500 jawaban! Jangan kuatir semua pertanyaan ada jawabnya malah ada jawaban belum ada pertanyaannya. 1000 pertanyaan, 1500 jawaban! Saya katakan "Kalau kamu hobbynya tidur, buka hotel. Jadi kamu tahu persis tempat tidur apa yang paling empuk, lampu bagaimana yang paling enak tidur, musik apa yang paling enak untuk mengantar tidur. Itu mesti laris hotelmu, karena kamu coba sendiri tidur-tidur ini".

        Ada lagi yang lebih nyeleneh, jawab lagi. "Lha, sekarang kalau suka ngintip?" Saya jawab, "Kamu jadi tukang foto". Ngintip terus toh? Dan yang diintep seneng malah eksyen. Jadi hobbynya ngintip terpuaskan, duitnya dapet. Lha kan gitu, yang diintip seneng malah diundang. "Coba kamu besok ya waktu saya ada perkawinan dan ulang tahun kamu ngintipi saya terus, tak bayar malahan. Ya toh? suruh ngintipi terus. Lha, jadi apa saja hobby kita bisa dipakai.

        Karena itu saudara-saudara, dalam bekerja pilihlah pekerjaan yang paling ada hobbynya, karena kalau tidak ada hobby di dalam pekerjaan itu susah. Kenapa saya sekarang kok jadi bhikkhu? Saya di dalam kelas rapor saya SD kelas 2 atau kelas 3 ditulis "Banyak bercakap-cakap dalam kelas". Guru saya sampai jengkel. Saya kok ngomong ngeyelan karo guru. Eh ternyata saya sekarang jadi bhikkhu, cocok sudah! Karena jadi Sales dari pertama duduk sampai pulang nanti ngomong terus kerjaannya. Kan nggak ada toh peragaan kungfu di sini? Jadi cuman ngomong terus. Ini adalah bagian, bagian dari pekerjaan dan hobby saya.

        Nah, saudara-saudara sekarang pilih hobbynya masing-masing. Cari hobbynya masing-masing, kerjakanlah apa menurut hobby saudara, maka pekerjaan saudara akan menjadi alat untuk mencapai kemajuan. Nah saudara, kalau sekarang kita sudah punya pekerjaan sesuai dengan hobby, apakah yang harus kita lakukan? Maka yang harus kita lakukan, ada 4 cara yang bekerja supaya efektif dan efisien artinya kita bisa menjalankan sesuai dengan tujuan dan niat kita:

1. Kita harus selalu rajin dan bersemangat

        Bagaimana kita bisa rajin dan bersemangat? Syaratnya adalah kalau pekerjaan itu sesuai dengan hobby. Jadi kalau tadi misalnya, suka make-up. Iya toh? Suka make-up sendiri, lha saudara buka salon. Jadi senengannya saudara mendekorasi muka ini saudara bisa alihkan kepada orang lain, didekor muka orang. Orek-orek mukanya orang dapet duit, lho kanan enak. Rajin dan bersemangat di dalam kerja, pagi sore ada tantangan juga berani ada orang rewel kita juga berani menghadapi kesulitan maka yang berikutnya kita harus menjaga hasilnya, menjaga mutunya.

 

2. Kita harus menjaga hasilnya, menjaga mutunya

        Jadi kalau saudara bikin kue tart sudah bagus maka jangan acak-acakan. Nanti telornya dikurangi, atau nanti diganjel gabus, atau nanti gulanya diganti. Akhirnya mutunya menurun dagangan saudara sepi. Justru harus dijaga kalau perlu ditingkatkan. Ya, ini adalah menjaga hasil yang kita miliki.

 

3. Kita harus mempunyai teman yang baik

        Kemudian saudara-saudara, kalau pekerjaan ini sudah bisa kita jaga dengan baik, maka ada yang penting lagi. Kita harus punya teman yang baik. Harus punya teman, kenapa demikian? Teman ini mempengaruhi, karena jurus pertama dan jurus kedua ini pasti bikin saudara kaya raya. Jangan kuatir, mesti kaya raya. Nah nanti saudara bisa praktekkan itu, karena saudara kerja sesuai dengan hobby dan saudara bisa jaga mutu, pasti kaya. Nah tapi temannya ini kalau temannya suka mabuk-mabukan, saudara nanti jadinya juga suka mabuk.

        Di dalam agama Buddha disebutkan "Daun kalau untuk membungkus daging yang busuk, maka daunnya berbau busuk. Tapi kalau kertas untuk membungkus kayu cendana, maka kertasnya pun akan berbau harum". Jadi teman dan lingkungan ini mempengaruhi kita.

        Sekarang saudara sudah kaya, pekerjaan sudah sukses, ketemu teman suka judi. Apa yang diomongkan? "Ayo, sudah kaya toh kamu? Ayo judi". "Wah nggak mau, saya harus menjaga hasil saya, saya ndak boleh judi". "Ala, sok suci kamu, judi aja enak. Nanti duitmu seribu jadi seratus ribu. Ayo enak toh?" Belum dibalik itu 100.000 jadi ndak punya, itu nak ada itu ceritanya. Ceritanya seribu jadi 100.000. Wah dikasih yang legile-gile, dikoyain yang manis-manis. Akhirnya habis, lha kenapa? Karena punya teman nggak baik. "Ayo kamu sudah kaya toh? Rumahmu sudah bagus, punya istri baru, penting ini. Jadi kalau kamu jalan-jalan ada pasangan yang lain". "Nggak mau, saya harus menjaga". "Waah, sok suci kamu. Duit banyak-banyak untuk apa? Kalau ndak pelihara istri baru lagi". "Iya ya. Betul juga". Aah, kena pengaruh sama teman. Akhirnya kacau.

        Atau ketemu teman lagi, "Ayo minum minuman keras". "Nggak mau ah". "Sedikit saja, kamu ketinggalan jaman, jaman sekarang ini minum bir itu biasa, whisky biasa. Ayo masak kamu ndak mau". Ya, wis. Sedikit sedikit sedikit lama-lama kita dipengaruhi, lama-lama habis. Karena itu pilih teman yang baik, karena teman yang baik itu akan menjadi mercu suar akan menjadi pedoman bagi kehidupan kita. Tetapi kalau ada teman yang mengatakan "Ayo kamu kok lama nggak ke vihara, ayo ke vihara". "Nggak mau ah males, saya kerjaan sibuk", kita jawab. Temannya menjawab lagi, "Kerjaan kan besok masih ada. Sekarang ke vihara kan jarang ini, seminggu hanya sekali dengarkan dhamma class juga setahun hanya sekali, ayo ke vihara". Ya wis. Lha ini teman yang baik karena menganjurkan kita untuk maju.

        Dan terakhir saudara apabila di dalam kehidupan ini kita telah mempunyai pekerjaan yang sesuai dengan hobby kita dan kita kerjakan dengan rajin dan penuh semangat. Kemudian kita jaga hasil dan punya teman yang baik maka kita harus bisa hidup sesuai tidak berkelebihan. Maksudnya apa? Ada di dalam Dhamma disebutkan:

 

4. Bagaimanakah kita membagi keuntungan kita?

        Andaikata keuntungan kita ini 100%. Maka 25% kita gunakan untuk kehidupan sehari-hari. Makan, pakaian, untuk bayar listrik, bayar air itu 25% dari keuntungan kita. Kemudian 50% dari seluruh keuntungan kita tadi kita gunakan untuk menambah modal. Jadi modal kita selalu kita tambahi. Kemudian 25% kemudian (25% sisanya) kita gunakan untuk disimpan deposito kenapa? Karena mungkin kita bisa sakit, mungkin ada kejadian yang mendadak, maka harus didepositokan 25%, atau untuk berbuat baik. Lha di bagian ini agama Buddha hitungannya per-25%-an atau perempatan. Untuk berbuat baik itu 1/4 dari hasil yang kita miliki. Jadi saudara hari ini untung Rp.1000, ya siap-siap yang 250 untuk berdana. Saudara untung 1 juta, siap-siap 250 ribu untuk berdana. Perempatan untuk berbuat baik.

        Tapi kalau tidak untuk berbuat baik karena saudara belum kepengen berbuat baik maka boleh saudara depositokan. Siapa tahu nanti saudara perlu menggunakan uang deposito itu. Nah jadi jangan dibalik untuk makan dan minum 75%, untuk jalan-jalan 25%. Lha modalnya apa? Malah habis. Nah ini nanti modal saudara tambah habis tambah habis tambah habis, duitnya ndak ada. Oleh karena itu hidup secara tidak berkelebihan adalah dengan kita bisa membagi 25% untuk biaya kehidupan, 50% untuk menambah modal dan 25% lainnya untuk perbuatan baik atau kita depositokan.

        Nah saudara-saudara, apabila saudara bisa mengerjakan 4 hal ini seperti yang dimuat di Anguttara Nikaya IV Bab 825 ini yang ada di dalam Sutta Pitaka maka saudara akan punya kesempatan menjadi salah satu konglomerat Buddhis yang nanti akan dimuat di dalam majalah berikutnya. Entah majalah Trubus ataupun majalah yang lain, tapi saudara bisa ada kemungkinan dimuat disitu ya? Nah ini adalah caranya.

        Saudara-saudara, tetapi Sang Buddha bukan hanya berhenti sampai cara menjadi konglomerat. Sekarang ada juga cara yang lain bagaimana supaya kita bisa mempertahankan kekonglomeratan kita, supaya jadi konglomerat jangan cuman 1 hari. Hari ini jadi konglomerat besok habis. Nah saudara-saudara, untuk menjadi konglomerat dan bisa bertahan lama kalau perlu sampai anak cucu, maka kita membutuhkan 4 hal yang lain yang termuat di dalam Anguttara Nikaya II Bab 249.

        Di sini adalah kalau kita sudah jadi konglomerat bisa mempertahankan. Kalau mampu justru kita tingkatkan kemampuan kita ini. Caranya adalah apabila ada barang-barang yang hilang kita harus cari. Jangan kalau sudah jadi konglomerat mobilnya hilang, "Yaahh ndak apa-apalah hilang, besok beli lagi". Woo miskin nanti dengan cara begitu. Sekarang yang hilang ya sudah tapi terus jangan diulangi lagi. "Oh mobil kalau diletakkan di sini hilang, berarti sekarang mobil saya mau saya kasih grendel besar sekali, ta'rantai mobilnya biar nggak hilang". Mungkin, atau dikasih alarm jadi begitu dipegang orang langsung "Maling! Maling! Maling!" Pernah itu dulu saya masuk ke mobilnya orang. Saya pikir saya mau nunggu di dalam mobil, saya buka mobilnya jerit-jerit "Maling! Maling! Maling!" Oh saya ngomong "Oh mobil bikin karma buruk eh". Masak saya modelnya kayak gini dibengokin maling maling, "Karma buruk luh!" Karena mobil belum bisa ngerti "Bhikkhu! Bhikkhu!" belum bisa dia. Jadi "Maling! Maling!" teriaknya gitu aja.

        Nah itu adalah untuk mencegah kehilangan barang. Karena itu kalau ada barang yang hilang kita harus cari, kita harus usaha cari gantikan jangan merasa terlalu "Yah hilang ya wis, apa ya wis, apa ya wis", istilahnya apa itu 'Kurang disiplin'. Nah, kemudian kalau ada yang rusak, diperbaiki. Rumahnya bocor, jangan "Eh biarin aja yang bocorkan sana, pokoknya sini belum bocor nggak apa-apa". Tunggu aja, santai-santai. Oh hujan di sana, di luar hujan di dalam sama derasnya itu. "Tapi biar aja bocor sana kok, belum di sini". Nanti kalau sudah jatuh di sini, "Aah kan sana belum, kita bisa geser toh?" Tempat tidur geser sana lagi. Nanti kalau nunggu semua bocor, ambruk rumahnya sudah. Berarti kan atapnya sudah nggak ada lagi, semua bocor itu.

        Nah oleh karena itu barang yang rusak harus diperbaiki. Saudara punya mobil, karena saudara kaya jangan mobilnya digeletakin aja nongkrong biarin jadi besi tua, keliru! Itu tidak efisien menurut agama Buddha, bukan cara ekonomis Buddhis. Tapi ekonomi Buddhis kalau mobil saudara sudah rusak walupun mobil saudara 10 harus diperbaiki. Kalau memang diperbaiki sampai bosen nggak baik-baik jual! Supaya efisien, jadi duit nanti beli lagi. Jangan ditongkrongin aja!

        Kemudian makan dan minum yang secukupnya. Maksudnya di sini biar saudara itu awet hidupnya. Kalau saudara sudah kaya tapi sakit-sakitan untuk apa? Dulu ada orang ngomong dengan saya, "Bhante, saya dulu waktu saya miskin miskin sekali Bhante. Tapi setelah sekarang kaya, saya kok tetap miskin". Lha kan saya heran "Wong kamu kaya kok malah miskin, nih apa?". "Ya, Bhante. Dulu waktu saya miskin, saya ini ndak punya apa-apa untuk dimakan. Duitnya ndak punya ya ndak ada yang dimakan. Tapi sekarang setelah saya kaya, saya tidak boleh makan apa-apa, sakit! Ini ndak boleh harus diet, itu ndak boleh harus diet. Ini diet! Diet! Diet! Diet! Lha saya malah ndak makan apa-apa Bhante". Lho kan rugi toh. Jadi miskin dan kaya lha sama saja jadinya, kenapa? Karena itu di dalam ajaran Sang Buddha ini makan dan minum harus secukupnya supaya hidup saudara awet kesehatannya bagus.

        Ada loh orang kaya malah ndak menjaga kekayaannya. Anak sekarang itu makan apa saja dituruti, hamburger 5 habis! Hotdog 3 habis! Hotcat 3 habis! Lha hotdog lha hotcat masak ndak ada, hotdog kan anjing hanget. Kenapa namanya anjing saya nggak tahu, mungkin buntutnya anjing atau apa saya ndak tahulah. Hotcat mungkin ceritanya lain lagi. Kemudian kentucky habis! Itukan memasukkan racun di dalam tubuh, akhirnya orang sekarang matinya kan muda-muda. Umur segini kanker, umur segitu tumor, umur segini game! Kenapa begitu? Karena kita memasukkan penyakit setiap hari.

        Sadarilah itu saudara, bahwa kimia-kimia yang saudara makan itu pun adalah bagian dari penyakit. Makanya kalau saudara mau menjaga makan dan minum kembalilah model jalur Buddhis. Makan dan minum secukupnya, kalau mau pagi makan, siang makan malam tidak makan. Wah itu aman badannya langsing singset, cantik bo jelita, ganteng tapi sehat kuat seger waras, naah! Ini kenapa? Karena saudara njalani puasa model Buddhis. Ya model Bhikkhu-bhikkhu itu loh pagi makan, siang makan setelah jam 12 tidak makan. Kalau mau makan ya kecil-kecilan saja, roti nyicil-nyicil sedikit. Jangan makan roti 2 kilo, malam-malam sambil nonton televisi 'plak-pluk! plak-pluk!' yaa bengkak lagi. Ha ini. Karena kalau semakin saudara tambah memakan, makanannya makin tidak terjaga makin penyakitnya dateng. Kolesterol lah, tekanan darah tinggi lah, gulanya tinggi lah apa saja itu kan sakit kan begitu.

        Saudara sudah periksa darah semua? Ada yang rutin periksa darah 3 bulan sekali? Wah saudara belum tahu sakitnya itu. Kalau belum pernah periksa belum tahu sakitnya, harus periksa 3 bulan sekali. Biar saudara nanti ngerem makanan. Nanti akan tahu manfaatnya makan dan minum secukupnya ya? Sirup-sirup yang manis-manis waah itu pewarnanya juga kimia, makin banyak saudara masukkan kimianya makin masuk ke dalam tubuh nanti sel-sel tubuh saudara makin berkembang, itu jadi tumor. Karena itu jaga baik-baik makanan dan minuman.

        Nah kalau sekarang udah umurnya panjang kaya raya seperti tadi sudah disarankan maka apa yang harus kita kerjakan? Selalu berbuat baik! Supaya apa? Mati masuk surga. Jadi duitnya banyak, umurnya panjang kesehatannya bagus, matinya masuk surga. Kan hepi tuh? Yaah muda hepi-hepi, ya toh, udah bahagia, tua kaya-kaya mati masuk surga. Ini yang dicari di dalam agama Buddha kan begitu? Dan ini Sang Buddha sudah jelaskan dalam Anguttara Nikaya II Bab 249. Jadi konglomerat yang sehat lahir batin mati masuk surga kan hepi tuh!

        Ini jelas toh jalannya sekarang? Jelas toh, hidup di dunia bahagia mati masuk surga kan jelas sekarang, gampang toh? Nah saudara-saudara oleh karena itu mempertahankan dan meningkatkan ekonomi bukan hanya untuk kehidupan duniawi saja tapi juga untuk kehidupan yang akan datang. Nah saudara-saudara, sekarang bagaimanakah kata-kata Sang Buddha tentang 'perdagangan'?

        Saudara-saudara disini disebutkan di dalam Anguttara Nikaya I Bab 99-100 disebutkan "Seorang pedagang tidak akan mampu mengumpulkan hartanya, harta yang belum dimilikinya ataupun mempertahankan harta yang sudah dimilikinya. Ataupun meningkatkan harta yang telah dimilikinya apabila pedagang tersebut pada pagi hari ia tidak berusaha bekerja. Pada siang hari juga tidak bekerja, senja hari juga tidak bekerja". Bagaimana bisa terus kaya raya? Pagi nganggur, siang nganggur, malam tidur. Wah ini kan kata-kata ini kan luar biasa saudara. Berarti di dalam agama Buddha ini bukan ngajari 'Ayo jadi bhikkhu saja', tidak. Jadilah pedagang yang sip! yang hebat. Nah untuk bisa hebat maka pagi siang malam kerja, supaya bisa mempertahankan kekayaan, pagi siang malam kerja! Supaya bisa meningkatkan kekayaan, pagi siag malam kerja! Inilah satu pesan supaya saudara menjadi konglomerat Buddhis.

        Saya harapkan nanti Parakan atau Tumanggung atau Magelang atau mana lagi ini yang kumpul di sini dengan pengetahuan pelajaran pada malam hari ini saudara akan muncul semangat bekerja dan semangat berjuang untuk akhirnya menjadi konglomerat Buddhis. Nanti kalau sudah konglomerat Buddhis 25% bagian saudara bisa digunakan untuk berbuat baik sehingga menjadi konglomerat baik di dalam kehidupan ini konglomerat di kehidupan yang akan datang. 'Apa yang saudara cari akan saudara tinggalkan apa yang saudara beri akan saudara bawa', ya toh? Saudara cari di dunia kerja cara kerja kerja cari rumah cari mobil cari duit cari macem-macem itu semua akan saudara tingalkan, kalau mati tidak dibawa semua. Tinggal toh? Tapi apa yag saudara beri akan dibawa. Saudara banyak berbuat baik, per 25-an perempatan itu tadi, itu yang kalau mati akan saudara bawa untuk menjadi modal menjadi konglomerat di akhir jaman.

        Saya kira saudara-saudara sampai di sini ceramah pada malam hari ini. Mudah-mudahan ceramah ini membawa manfaat dan membangkitkan pertanyaan-pertanyaan saudara. Mungkin ada yang kepengen menjadi konglomerat yang lain, kesempatan malam hari ini ditanyakan, boleh lisan boleh tertulis ataupun pertanyaan Dhamma yang lain. Saya kira sampai di sini saja dan saya kembalikan kepada pembawa acara, terima kasih!***


Sumber:

Kaset Khotbah Dhamma