Riwayat Buddha Gautama |
|
(Indonesia) - (English) | oleh: Dhyanaram Mahathera |
Kira-kira 2500 tahun yang lalu di kota Kapilawastu, daerah Madyadesa, India Utara (kini di kerajaan Nepal) bertahta seorang raja dari Dinasti Sakya, namanya Suddhodana dengan permaisurinya Mahamaya. Mereka hidup rukun dan bahagia, namun belum dikaruniai seorang putra pun. Suatu malam Putri Mahamaya bermimpi melihat seekor gajah putih bertaring empat dan sebuah bintang bersudut enam amat terang sinarnya jatuh dari langit masuk ke dalam perutnya. Impian ini sesungguhnya memberi alamat akan kelahiran seorang besar dan arif bijaksana. Tak lama kemudian beliau pun mengandung.
Setelah genap harinya, sesuai kebiasaan di India, Putri Mahamaya pergi ke rumah orang tuanya di Dewadaha. Setibanya di Taman Lumbini (atau Rumindei) yang permai kira-kira 100 mil sebelah Utara kota Benares di bawah kaki Gunung Himalaya yang agung terasa perutnya sakit. Tertegun beliau berdiri di bawah sebatang pohon Sal seraya meraih daunnya. Pada detik itulah, bulan purnamasidhi, lahirlah seorang putra yang diberi nama Siddharta, artinya yang terkabul cita-citanya. Sungguh ajaib, begitu lahir bayi tersebut lantas dapat berjalan melangkahkan kakinya tujuh langkah dengan alas bunga-bunga teratai. Saat itu tahun 623 Sebelum Masehi.
Tujuh hari setelah melahirkan putranya, Ratu Mahamaya wafat. Bayi Siddharta selanjutnya diasuh dengan penuh kasih sayang oleh Putri Prajapati Gotami, adik almarhumah yang menjadi ibu tirinya. Sejak kecil Pangeran Siddharta gemar berlatih samadhi. Ketika berumur 7 tahun Beliau sudah pernah memasuki Jhana Pertama melalui Anapanasati Bhavana di bawah pohon jambu. Melihat hal ini orang tua Siddharta sangat cemas, segera dipanggilnya 8 orang pertapa/brahmana untuk meramalkan penghidupan anaknya. Para brahmana meramalkan bahwa pangeran akan menjadi raja-diraja atau seorang Buddha.
Siddharta beranjak dewasa, Beliau mempunyai kasih sayang yang amat besar kepada semua makhluk hidup dan makin tampak sifat-sifat kebesarannya. Hidupnya tertib dan sopan, mengenal disiplin, rajin belajar dan otaknya sangat cerdas. Para gurunya amatlah memuji kecerdasan pangeran. Sewaktu-waktu Beliau suka juga pergi berburu tetapi tak pernah binatang-binatang itu dibunuhnya, hanya diajak bermain-main atau berlari-lari.
Bila diketahui kudanya sudah letih, turunlah Beliau dari punggung kuda itu, lalu mengelus-elusnya dengan penuh kasih sayang dan dibiarkannya kudanya beristirahat. Dengan demikian Beliau mulai disenangi binatang-binatang.
Suatu hari ketika pangeran berjalan-jalan di kebun, dilihatnya seekor burung bangau jatuh menggelepar di tanah, terkena panah Pangeran Dewadatta. Pangeran Siddharta membela hak hidup burung ini yang dituntut oleh Pangeran Dewadatta. Timbul pertengkaran antara kedua saudara sepupu itu, tetapi akhirnya Siddharta yang dinyatakan benar dan semua orang malah menghargai dan memuji sikap welas-asih Pangeran Siddharta.
Raja menghendaki agar putranya menjadi raja di dunia. Begitulah untuk mengalihkan perhatiannya, pangeran harus diberi hiburan-hiburan duniawi, dan dalam usia yang sangat muda Beliau akan dinikahkan. Pada pesta ulang tahunnya yang ke 16 diundanglah putri-putri raja yang cantik-cantik dan pangeran-pangeran dari seluruh negara tetangga dengan maksud untuk mencarikan pasangan yag sesuai bagi Pangeran Siddharta. Putri Yashodhara, putri tunggal dari Raja Suprabuddha dan Permaisuri Pamita dari suku Koliya mendapat kehormatan seuntai karangan mutiara dari Pangeran Siddharta sendiri sebagai hadiah untuk kecantikannya yang mempesona.
Untuk memperebutkan Putri Yashodhara diadakanlah sebuah sayembara. Pangeran Siddharta turut serta. Ternyata setelah melalui berbagai pertandingan, seperti memanah, memainkan senjata, menjinakkan kuda liar dan menaklukkan gajah yang ganas dan lain-lain, Siddharta keluar sebagai pemenangnya.
Putri Yashodhara merasa amat gembira atas kemenangan Pangeran Siddharta, maka segera Beliau mengalungi bunga kepada calon suaminya itu. Kemenangan Pangeran Siddharta juga disambut dengan gegap-gempita oleh seluruh rakyat Koliya. Demikian pula Raja Suprabuddha, ayahanda Yashodhara, amatlah senangnya. Upacara pernikahan segera ditentukan dan dilangsungkan dengan amat meriah.
Pangeran Siddharta dan Yashodhara hidup berbahagia tinggal dalam tiga buah istana yang dihadiahkan oleh Raja Suddhodana. Suatu hari pangeran merasa kesepian ingin keluar melihat-lihat kota. Atas perintah raja jalan-jalan raya yang akan dilalui Siddharta harus bersih, toko-toko harus dihias dengan bendera-bendera dan panji-panji untuk memberi pemandangan yang menyenangkan hati pangeran. Tetapi dicelah-celah keindahan ini melintas dengan susah payah seorang tua di tengah-tengah jalan yang dilalui oleh Pangeran Siddharta. Melihat pemandangan ini, amat susahlah hati Siddharta. Beliau cemas, bahwa pada suatu hari Beliau pun akan sampai pada usia tua dan kelapukan demikian.
Untuk kedua kalinya Siddharta pergi lagi dengan kusir/saisnya Channa dan lebih tercengang lagi melihat di dunia ini ada seorang sakit yang menderita banyak luka-luka di badannya merintih-rintih meminta air minum. Siddharta membantunya dan menanyakan kehidupannya.
Ketiga kalinya, ketika Beliau bertamasya keliling kota, dilihatnya mayat orang mati yang dipikul oleh empat orang. Melihat kejadian ini, terpikir olehnya, bahwa kematian itu suatu hal yang tidak terelakkan. Siddharta pun pulanglah dengan sedihnya.
Keempat kalinya, Siddharta berjalan-jalan di taman. Di situ dijumpainya suatu pemandangan yang mengagumkan yaitu seorang bhikkhu yang berpakaian serba kuning dengan mukanya yang terang dan tenang. Sadarlah Beliau, inilah caranya untuk mengatasi kesengsaraan hidup dan bertekad untuk mengikuti jejak dan jalan hidup sebagai seorang pertapa. Pada suatu malam, bulan Waisak purnamasidhi, tepat dalam usia 29 tahun, Pengeran Siddharta pergi meninggalkan segala yang dicintainya, istrinya Yashodhara, anaknya Rahula, istana dan orang tuanya dan semuanya demi untuk mencari Kebenaran Sejati bagi kebahagiaan makhluk semesta alam.
Kuda putih Kanthaka dengan kecepatan lari yang luar biasa membawa Pangeran Siddharta dan pengiringnya yang setia, Channa. Ketika menyebrangi sebuah sungai, pengiring itu turut memegang ekor kuda menyeberangi sungai itu. Dalam satu malam perbatasan Negeri Sakya telah dilaluinya. Tiada lagi yang dapat mengejarnya.
Setelah menyeberangi Sungai Anoma, Pengeran Siddharta memotong rambutnya dengan pedang yang dibawanya, menukar pakaiannya yang mewah dengan jubah pertapa yang kumal, kemudian memerintahkan kepada Channa untuk pulang melaporkan kepada ayahnya dan istrinya di istana, agar tidak usah mencari Beliau lagi. Beliau menjalani Pelepasan Agung.
Pangeran Siddharta berguru kepada pertapa-pertapa yang terkenal, antara lain Resi Alara Kalama dan Uddaka Ramaputra. Beliau ditawari kedudukan untuk menggantikan gurunya, tetapi menolaknya karena merasa dirinya belum mencapai kebebasan yang sempurna. Lalu Beliau berpisah dengan guru-gurunya dan menyusuri sepanjang Sungai Naranjara. Akhirnya Beliau tiba di Hutan Uruwela yang hening dan rindang.
Selama enam tahun sejak Beliau meninggalkan istananya, Pangeran Siddharta terus berusaha mencari penerangan di sekitar Hutan Uruwela. Pangeran Siddharta menjalani ajaran-ajaran penyiksaan diri dan pantang makan yang keras, hingga Beliau menjadi kurus kering dan sangat lemah. Beliau jatuh lunglai, hanya kesadarannya tetap jernih dan kuat.
Selagi Beliau diliputi kekosongan dan keraguan, berlalu serombongan penari dengan mendendangkan nyanyian merdu: "Jika gitar disetel terlalu kendur, bunyinya tidak enak. Sebaliknya jika disetel terlampau keras, putuslah talinya".
Bait ini menyadarkan Beliau akan perlunya merawat badan jasmaniah demi untuk menjamin kesegaran rohaniah. Dengan badan jasmaniah yang lemah akan sia-sialah segala perjuangan. Jalan Tengahlah yang dapat membawa ke tujuan.
Datanglah pada suatu hari seorang wanita muda, Sujata namanya, mempersembahkan makanan dari susu murni ke hadapan Pangeran Siddharta, sebagai pernyataan terima kasih atas terkabulnya permintaannya akan kelahiran seorang putra. Sujata beranggapan Tuhan telah menjelmakan diriNya sebagai dewa pertapa yang kurus namun agung ini, maka dengan gembira hati disajikannyalah masakan-masakan yang paling enak bagi dewanya ini.
Kemudian lewat pula seorang brahmana yang membawa rumput kering dan mempersembahkannya juga kepada Pangeran Siddharta untuk dijadikan alas tempat bersamadhi. Maka berjanjilah Pangeran Siddharta pada dirinya sendiri bahwa Beliau tidak akan bangkit dan berhenti samadhi sampai tercapainya cita-citanya untuk mendapatkan Penerangan Sempurna demi kebahagiaan umat manusia sejagad raya.
Dengan tekad yang tak tergoyahkan Pangeran Siddharta menekuni kembali samadhi Anapanasati Bhavana selama 7 minggu, yang pernah dilatihnya sewaktu Beliau berumur 7 tahun. Mara menggodanya dan berusaha menggugurkan tekadnya dengan mengirim pasukan jin dan iblisnya untuk menakut-nakuti dan penari-penari cantik jelita untuk menjatuhkan kesucian Sang Pertapa. Semua usaha Mara ini tidak berhasil. Dengan sikap duduk Padmasana Beliau bagaikan tonggak karang di tengah-tengah samudera.
Akhirnya tepat pada malam purnamasidhi dalam bulan Waisak di bawah pohon suci Bodhi di Bodh-Gaya, Pangeran Siddharta mencapai apa yang ingin didapatkannya pada usia genap 35 tahun, yaitu Penerangan Sempurna atau Samyak Sambodhi dan dengan demikian menjadi Samma Sambuddha, Buddha Yang Maha Sempurna! Guru Agung seru sekalian alam, umat manusia dan para dewa! Hari ini dikeramatkan sebagai Hari Tri Suci Waisak yakni memperingati 3 peristiwa penting:
1. | Hari lahir Pangeran Siddharta Gautama. |
2. | Hari Pangeran Siddharta Gautama menjadi Buddha dengan dicapaiNya Penerangan Sempurna. |
3. | Hari wafatnya Sang Buddha dan masuk Parinirwana. |
Tepat dua bulan kemudian di taman rusa Isipatana, dekat Benares, Sang Buddha untuk pertama kalinya menguraikan DhamaNya kepada 5 orang pertapa, bekas rekan/gurunya dahulu dengan khotbahNya yang terkenal tentang: Catur Arya Sattyani dan Hasta Arya Marga, yaitu Empat Kesunyataan Mulia, demikian diyakinkan oleh Sang Buddha, mengungkapkan, bahwa:
1. | Semua bentuk kehidupan adalah penderitaan (Dukkha). | |
2. | Penderitaan disebabkan oleh nafsu/keinginan yang rendah (Tanha). | |
3. | Dengan lenyapnya Tanha lenyap pula Dukkha, dan itulah Nirwana. | |
4. | Cara atau jalan untuk melenyapkan Dukkha adalah Delapan Jalan Utama, yaitu: | |
1. | Pengertian yang benar. | |
2. | Pikiran yang benar. | |
3. | Ucapan yang benar. | |
4. | Perbuatan yang benar. | |
5. | Mata pencaharian yang benar. | |
6. | Daya upaya yang benar. | |
7. | Perhatian yang benar. | |
8. | Konsentrasi yang benar. |
Peristiwa ini dikenal sebagai Hari Suci Asadha, yaitu hari mulai diputarnya Sang Roda Dharma (Dharma Cakra Pravartana Sutra) atau singkatnya disebut sebagai Hari Khotbah Pertama di kota Benares.
Makin hari makin banyak murid Sang Buddha. Siang atau malam tak henti-hentinya Beliau memberi ajaran Dharma. DipaparkanNya tentang Mahjima Pattipada atau Jalan Tengah, yaitu ajaran yang lurus dengan menghindari dua hal yang ekstrim. Hidup dengan berfoya-foya dan bersenang-senang, memuaskan nafsu indria secara berlebihan dan bersifat rendah, adalah berbahaya. Begitupun hidup dengan menyiksa diri dan berpantang terlalu keras adalah tidak bijaksana dan tidak bermanfaat. Jalan Tengah akan membangkitkan ketenangan, kedamaian, pengetahuan dan penerangan, dan dengan demikian dapat melenyapkan kebodohan, nafsu jahat dan serakah, sumber dari penderitaan.
Pada kesempatan lain Sang Buddha bersabda: "Janganlah berbuat kejahatan, perbanyaklah perbuatan baik. Sucikan hati dan pikiran, inilah ajaran para Buddha".
Sang Buddha terus berusaha untuk mengajarkan Jalan Suci kepada umat manusia. Pada suatu hari Beliau menumpang nginap di Asrama Kasyapa, Uruwela, dalam ruangan Yadnya yang gelap. Selagi Beliau melakukan samadhi datang seekor ular kobra yang ganas serta menyambar-nyambar mencari mangsa. Dengan tenang sambil menggunakan kekuatan bathinnya Sang Buddha menjinakkan ular berbisa dan menuntunnya kembali ke liangnya.
Suatu ketika Sang Buddha berjalan dengan para bhikkhu melalui sebuah gunung berapi, yang sedang menyemburkan lahar api.
Ditunjukkannya kepada para bhikkhu seraya berkata: "Wahai para bhikkhu, dunia ini terkapar keadaannya. Di mana-mana semuanya terbakar. Hawa nafsu menimbulkan permusuhan, cinta palsu, kebencian, kelakuan jahat, ini semuanya lebih ganas dari api. Oleh sebab itu berkelanalah kalian, wahai para bhikkhu, sebarkanlah Dharma, Jalan Kebenaran yang dapat memadamkan api angkara murka itu".
Setelah berpindah dari desa ke desa Sang Buddha dengan para bhikkhu menuju ke Rajagaha. Di Negeri Rajagaha, Sri Baginda Raja Bimbisara, permaisuri dan menteri-menterinya menyambut dengan segala kebesaran akan kedatangan Sang Buddha dan para bhikkhu. Raja itu mendengarkan pelajaran Dharma dari Sang Buddha dan kemudian menjadi salah seorang murid Sang Buddha yang sangat setia. Dari sini rombongan Sang Buddha menuju ke Kerajaan Kalpilawastu, kerajaan ayahNya.
Di Kerajaan Kapilawastu, Raja Suddhodana amatlah sedih hatinya mendengar putranya meminta-minta makanan dari rumah ke rumah sebagaimana kebiasaan para pertapa. Tetapi setelah diberi penjelasan beliau merasa tenang dan kemudian mengundang Sang Buddha ke istananya bersama dengan para bhikkhu.
Setelah itu Sang Buddha berkunjung ke tempat istriNya. Sudah lebih dari enam tahun Yashodhara menunggu kedatanganNya kembali, maka dengan khidmat ia memberikan penghormatan yang tulus kepada "suaminya" yang kini telah menjadi Buddha. Sang Buddha memberikan wejangan Dharma kepada Yashodhara, yang kemudian menjadi muridNya dan merupakan bhikkhuni pertama dalam persaudaraan Sangha wanita.
Yashodhara mengerti "kekayaan termulia" yang telah diperoleh suaminya, maka disuruhnya putra tunggalNya, Rahula, untuk datang menghadap kepada ayahnya dan meminta "warisan". Dalam usia 7 tahun Rahula menerima warisan Dharma dari ayahnya Sang Buddha. Dengan upacara sederhana ia diperkenankan memasuki Persaudaraan Suci dan menjadi samanera yang terkecil dalam Sangha.
Kemasyhuran Sang Buddha membuat Dewadatta iri hati dan menghasut para penganut, bahwasanya Sang Buddha hanyalah orang biasa saja dan tidak mempunyai kegaiban sama sekali. Ketika seorang penganut meminta bukti, dimintaNya sebuah mangga, dimakanNya, kemudian melemparkan bijinya ke atas tanah serta mencuci tanganNya di situ. Seketika biji itu tumbuh menjadi pohon mangga, membesar dan berbuah amat lebatnya. Peristiwa ini sangat mengherankan siswa-siswaNya.
Sewaktu-waktu Beliau mengasingkan diri dari keramaian dunia dan para penganutNya untuk hidup menyendiri di dalam hutan. Di sini binatang-binatang hutan seperti gajah, kera, dan lain-lain dengan setia menyediakan makanan-makanan yang diperlukan Sang Buddha. Binatang-binatang itu pun menjadilah pengikut Sang Buddha.
Sang Buddha mengetahui di dekat Hutan Saraswati itu tinggal penjahat Anggulimala yang hendak membuat kalung dari 1000 jari-jari tangan manusia. Saat itu telah terkumpul 999 buah dan Buddha adalah orang yang ke 1000 yang akan dijadikan korban. Walaupun satu hari penuh ia mengejar Sang Buddha dengan kecepatan lari melebihi anjing atau kuda, berputar-putar sepanjang lorong-lorong hutan dan desa, tetapi ia sangat heran tak dapat menyusul Sang Buddha yang berjalan begitu tenang. Akhirnya ia kehabisan tenaga dan memohon ampun. Sang Buddha yang penuh kasih sayang mengampuninya dan mentahbiskannya menjadi bhikkhu. Dalam waktu singkat ia mencapai kebebasan dan menjadi Arahat.
Kemudian Sang Buddha menuju ke Desa Adawika. Di batas desa itu ada sebuah hutan tempat berdiam seorang raksasa pemakan orang. Sang Buddha masuk ke dalam hutan dan duduk di bawah suatu pohon besar. Segera datanglah raksasa itu mengusir dan meminta korban dari Sang Buddha karena telah begitu berani menduduki tempat tinggalnya. Tetapi kesaktianNya yang jahat tak berhasil mengusir Sang Buddha dan akhirnya ia takluk dan menjadi murid Sang Buddha juga.
Sang Buddha sangat sayang kepada segala binatang. Bila dilihatnya ada yang menderita selalu Beliau bersedia menolongnya. Suatu hari Sang Buddha berjalan di sekitar desa. DilihatNya seorang gembala menggiring sekawanan ternak ke kandang. Seekor anak biri-biri menderita luka di kaki dan tak dapat berjalan pulang, maka tertinggal di belakang. Induk biri-biri selalu menoleh kepada anaknya namun apalah daya. Segera Sang Buddha menggendong anak biri-biri itu untuk diantarkan ke kandangnya.
Kedengkian Dewadatta memuncak, maka direncanakannya hendak membunuh Sang Buddha. Dimintanya kepada Raja Ajatasatru untuk mengirimkan Nalagiri, gajah buas yang sedang mabuk untuk melaksanakan niatnya itu. Tetapi setelah dekat pada Sang Buddha Nalagiri berubah manjadi jinak dan serta merta menghapus debu yang melekat di kaki Sang Buddha, kemudian merebahkan dirinya di hadapan Sang Buddha dengan kepala tertunduk.
Seorang murid Sang Buddha, Vishadadewi namanya, putri bendaharawan Raja Prasenajita dengan penuh bhakti memberi sumbangan-sumbangan besar kepada Sangha berupa pakaian, makanan, buah-buahan dan obat-obatan serta kepada para fakir miskin dengan menjauhi segala rasa kepentingan diri sendiri. Pemberian yang tulus ikhlas itu sangat dihargai dan diberkati oleh Sang Buddha.
Krisha Gautami, seorang wanita dari desa Krisha yang putus asa karena kematian anak tunggalnya memohon kepada Sang Buddha untuk menghidupkan kembali anaknya itu. Sang Buddha menyanggupi dengan senang hati asalkan wanita itu dapat menyerahkan segenggam biji lada hitam dari tangan seorang yang belum pernah kematian sanak keluarganya. Usahanya sia-sia saja. Akhirnya sadarlah ia bahwa setiap makhluk hidup akan mati. Kemudian dengan ikhlas Krisha Gautami membakar mayat anaknya.
Seorang penari bernama Ambapali yang meskipun hartawan tetapi dalam masyarakat pada waktu itu dipandang buruk oleh karena pekerjaannya tersebut, sangat simpati sekali dengan ajaran-ajaran Sang Buddha. Ia datang menghadap Sang Buddha dan langsung mendapat pelajaran Dharma, kemudia iapun menjadi anggota Sangha. Segala kekayaan dan kebun mangganya yang luas dihadiahkan untuk kepentingan Sangha.
Suatu hari Sang Buddha melihat seorang saudagar muda, Sigala namanya, di dekat Rajagaha di Kota Weluwana sedang bersembahyang di tepi sungai menyembah ke arah empat penjuru mata-angin, ke langit dan ke bumi, tanpa ia sendiri tahu apa maksudnya. Sang Buddha menasehatkannya, enam arah itu adalah enam kebajikan hidup berumah tangga dan bermasyarakat di dunia, yaitu kewajiban timbal-balik antara anak dan ibu-bapa, siswa dan guru, suami dan istri, buruh dan majikan, antar sahabat dan kaula terhadap negara (dahulu terhadap kaum brahmana sebagai kaum yang memerintah).
Sang Buddha tak menyukai sistim kasta. Beliau menghendaki persamaan segala manusia. Suatu ketika seorang brahmana yang sangat menyombongkan kastanya bertemu dengan Sang Buddha.
Sang Buddha bersabda: "Orang jadi suci tidak karena keturunan, bukan pula karena kasta yang menjadikan ia suci. Tetapi ia yang di dalam dirinya bersemayam kebenaran dan kebajikan, sesungguhnya ialah yang dirahmati!"
Di India Timur, Raja Prasenajita yang sangat orthodok mendatangi Sang Buddha, ia mengharapkan agar para bhikkhu tidak menerima makanan dari dan tidak bergaul denngan orang-orang yang berkasta rendah. Sang Buddha menasehatkan bahwa seorang bhikkhu tidak mengabdikan diri pada suatu kasta atau golongan, melainkan pada mereka yang berbudi tinggi, yang setia serta mengamalkan ajaran-ajaran Dharma. Mendengar itu Raja Prasenajita sangat malu dan kembali ke istananya.
Selama 45 tahun terus-menerus Sang Buddha mengajarkan Dharma. Khotbah yang terakhir diberikanNya di Capala Cetiya. Hadir antara lain siswaNya tersayang Ananda. Di sini pula Sang Buddha memberi tahu siswa-siswaNya bahwa sudah tiba waktunya bagi Beliau untuk memasuki Parinirwana.
Sementara itu Raja Mara mengingatkan Sang Buddha bahwa kewajibanNya di dunia telah terpenuhi semuanya dan Beliau harus segera kembali ke Alam Mayapada.
Mendengar itu Ananda terharu sekali dan tiga kali ia mencoba membujuk Sang Buddha untuk tidak segera meninggalkan dunia ini. Tetapi sia-sia saja. Seorang Buddha tidak akan menarik kembali apa yang telah diucapkannya. Karena waktunya sudah tiba; Ananda harus dapat mengerti hal ini!
Dari Capala Cetiya, Sang Buddha pergi menuju Kusinegara. Karena sangat haus, dimintaNya kepada Ananda barang seteguk air. Lama Ananda mencari air minum yang jernih, tetapi sia-sia saja. Karenanya, dengan terpaksa disuguhkannya juga air yang keruh kepada gurunya. Ajaib! Dalam sekejab mata, air yang keruh itu setelah tersentuh oleh tangan Sang Buddha berubah menjadi jernih, lalu segera diminumNya.
Kemudian Sang Buddha minta agar Ananda membuatkan tempat untuk peristirahatanNya yang terakhir. Ananda pun segera menyediakannya di bawah dua batang pohon dan di situlah, di kebun bunga Sala milik Pangeran Mala, di kota Kusinegara, pada bulan Waisak purnamasidhi, tahun 453 SM dalam usia 80 tahun, Sang Tathagata, Guru Agung umat manusia dan para dewa dengan tenang mangkat memasuki Parinirwana. Para dewa dan brahmana turun dari Mayapada menaburkan bunga-bunga dan sir suci menyambut Yang Maha Sempurna Sang Buddha meninggalkan dunia fana ini.
Raga Yang Maha Sempurna Sang Buddha telah disempurnakan, tetapi ajaran DharmaNya tetap hidup dan jaya sepanjang masa mengarungi seluruh penjuru angin alam semesta.
Sabbe Satta Avero Hontu! Semoga semua makhluk hidup tenang dan damai!
Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitatha! Semoga semua makhluk hidup berbahagia!
Saddhu! Saddhu! Saddhu!***
Sumber: |
Vihara Buddha Gaya, Bandung-Jawa Barat. |