Upacara Persembahan Jubah Kathina

oleh: Bhikkhu Khantidharo

Menurut Vinaya Pitaka, terdapat tiga musim dalam setahun, yaitu musim panas, musim hujan, dan musim dingin. Tiap musim berlangsung selama empat bulan. Pada umumnya para bhikkhu, menyebarkan Dhamma selama musim panas dan musim dingin. Dan selama tiga bulan pertama pada musim hujan, para bhikkhu harus berdiam di suatu tempat (vihara) dan disebut menjalani masa vassa yang dimulai sehari setelah hari Asadha, yaitu sehari setelah purnama sempurna dalam bulan Juli.

Satu bulan terakhir dalam musim hujan (satu hari setelah purnama di bulan Oktober sampai purnama di bulan November) adalah merupakan waktu yang ditentukan bagi para bhikkhu untuk mencari kain yang dapat dipergunakan untuk membuat jubah baru, untuk menggantikan jubah lama yang telah rusak. Bulan inilah yang dikenal dengan bulan Kathina, dan untuk tahun ini jatuh pada tanggal 26 Oktober 1988 sampai tanggal 22 November 1988.

Upacara persembahan bahan jubah Kathina yang sebenarnya adalah persembahan yang dilakukan oleh umat Buddha kepada para bhikkhu yang menjalankan masa vassa pada satu vihara paling sedikit terdiri dari lima orang bhikkhu. Gagasan upacara Kathina Puja harus datang dari umat Buddha sendiri, tidak dari bhikkhu. Karena hari Kathina Puja adalah merupakan saat yang paling tepat bagi umat Buddha untuk berdana kepada Sangha.

Apakah yang dimaksud dengan jubah Kathina itu? Jubah Kathina adalah jubah yang dibuat/diterima pada hari upacara Kathina Puja, yang diadakan oleh umat Buddha di salah satu Vihara dengan syarat-syarat antara lain sebagai berikut:

  1. Di Vihara tersebut pada masa vassa harus berdiam sedikitnya lima orang bhikkhu selama tiga bulan penuh.
  2. Bhikkhu Sangha menunjuk seorang bhikkhu untuk menerima persembahan tersebut.
  3.  Bhikkhu yang ditunjuk itu kemudian mencuci kain persembahan tersebut, mengukur, memotong, menjahit, dan mencelupnya.
  4. Jubah itu harus selesai dikerjakan dan siap untuk dipakai pada hari itu juga.
  5. Batas waktu mengerjakan jubah dalam waktu sehari itu adalah sampai pukul 04.30 WIB dini hari (fajar), sudah siap untuk dipakai oleh bhikkhu yang menerima jubah tersebut. Mengingat sangat sempitnya waktu dalam mengerjakan jubah ini maka umat diijinkan untuk ramai-ramai membantu para bhikkhu dalam mengerjakan jubah tersebut.
  6. Karena jubah Kathina ini harus diserahkan dengan upacara khusus bagi para bhikkhu, maka paling lambat pukul 03,30 WIB dini hari harus telah selesai dikerjakan. Sehingga sisa waktu selama satu jam cukup dipergunakan oleh para bhikkhu untuk upacara penyerahan jubah Kathina tersebut.

Tradisi membuat jubah Kathina ini dahulu hanya dijahit dengan tangan, karena itu dapat kita bayangkan betapa lamanya membuat jubah Kathina, sehingga banyak umat yang semalam suntuk tidak tidur. Karena jubah tersebut harus dicelup pada malam itu juga, maka untuk mengeringkannya mereka ramai-ramai memanggang dengan api. Karena mengantuk, seringkali jubah tersebut terbakar. Apabila hal ini terjadi maka mereka dengan terpaksa beramai-ramai membuat jubah baru lagi.

Selanjutnya masih ada persyaratan lain yang harus dipenuhi agar jubah tersebut sah, tidak melanggar vinaya. Adapun syarat-syarat tersebut antara lain:

  1. Jubah Kathina tersebut tidak sah, bila seorang bhikkhu meminta kain untuk jubah tersebut kepada umat, baik secara langsung maupun tidak langsung.
  2. Jubah Kathina tersebut tidak sah apabila dijahit tidak menurut potongan atau pola yang telah ditentukan.
  3. Jubah Kathina tersebut tidak sah apabila ukurannya lebih besar dari ketentuan yang telah ditetapkan.
  4. Jubah Kathina tersebut tidak sah apabila tidak dikerjakan pada hari yang sama (waktu pekerjaannya ditunda).
  5. Jubah Kathina tersebut tidak sah jika yang menerima belum mengucapkan anumodana (turut bergembira karena jasa-jasa baik dari para dermawan yang memberi bahan jubah tersebut).

Terhadap Jubah Kathina itu, Sang Buddha menetapkan pula lima hal istimewa bagi para bhikkhu yangg memilikinya yaitu:

  1. Tidak perlu minta izin apabila bhikkhu tersebut mengunjungi umat/meninggalkan vihara pada waktu siang dan malam hari (vikala).
  2. Apabila keluar meninggalkan vihara diizinkan tidak perlu membawa satu setel jubah lengkap (tiga potong).
  3. Para bhikkhu diperbolehkan makan bersama (kembulan) setelah mengikuti upacara persembahan jubah Kathina.
  4. Bhikkhu yang bersangkutan diperkenankan memiliki jubah lebih dari jumlah yang ditetapkan dalam vinaya.
  5. Hak bhikkhu tersebut untuk menerima/mendapatkan jubah diperpanjang empat bulan lagi, sampai akhir musim dingin dan berhak menyimpannya lebih dari sepuluh hari.

Dari uraian tersebut di atas, jelaslah bahwa upacara Kathina Puja yang sebenarnya belum pernah diadakan di Indonesia. Yang dilaksanakan pada umunya adalah upacara penyerahan dana di bulan Kathina. Karena pada umumnya para bhikkhu tidak tinggal bersama selama musim hujan di satu vihara dan jumlahnya kurang dari lima orang. Tahun ini di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya tinggal bervassa lima orang bhikkhu selama tiga bulan penuh. Dengan demikian umat Buddha dapat melaksanakan upacara Kathina Puja yang sesungguhnya pada tanggal 22 Nopember 1988 yang akan datang di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya.

BUAH DARI PERBUATAN BAIK INI
Persembahan kain untuk bahan jubah Kathina akan berbuah berupa kebahagiaan yang sangat tinggi apabila diberikan kepada para bhikkhu yang bervassa di satu tempat. Dalam hal ini, Sang Buddha pernah bersabda bahwa Bhikkhu Pana pada kehidupannya yang lalu pernah berdana secarik kain untuk jubah, yang diberikannya kepada Sangha pada saat upacara Kathina Puja. Dari jasa-jasa perbuatan baiknya itu, ia berkali-kali lahir sebagai raja Cakkawati dan terakhir lahir sebagai Bhikkhu Pana serta mencapai tingkat kesucian Arahat.

Pada kesempatan yang lain, Sang Buddha pernah menolak persembahan jubah dari ibu angkatnya sendiri, Prajapati Gotami. Betapa kecewanya Ibu Prajapati Gotami yang telah berhari-hari membuat jubah yang telah dipilihnya dari kain yang paling bagus, dipotongnya sendiri dengan hati- hati, dijahitnya sendiri dengan benang yang terpilih, dan dicelupnya dengan pewarna yang paling baik. kadang-kadang semalam suntuk beliau tidak tidur untuk menyelesaikan jubah tesebut, tetapi teryata pada saat dipersembahkan, jubah tersebut ditolak oleh Sang Buddha. Dalam hal ini Sang Buddha bersabda, "Bukan maksudku untuk mengecewakan hatinya, tetapi karena masih ada kesempatan untuk mempersembahkan jubah itu yang nilainya jauh lebih tinggi dari pada jubah itu diberikan kepada saya pribadi, yaitu jika jubah itu diberikan kepada Sangha".

Selanjutnya di dalam kitab suci dinyatakan pula bahwa dana makanan yang diberikan sekali kepada seorang Sotapatti jasanya sama dengan dana makanan yang diberikan oleh Brahmana Welamakka setiap hari keempat arah selama tujuh tahun, tujuh bulan, dan tujuh hari. Berdana sekali kapada seorang Sakadagami jasanya sama dengan seratus kali jika dana tersebut diberikan kepada seorang Sotapatti. Berdana sekali kepada seorang Anagami, jasanya sama dengan seratus kali jika dana tersebut diberikan kepada Sakadagami. Berdana sekali kepada seorang Arahat, jasanya sama dengan seratus kali jika dana tersebut diberikan kepada seorang Anagami. Berdana sekali kepada seorang Pacekka Buddha, jasanya sama dengan seratus kali jika dana tersebut diberikan kepada seorang Arahat. Berdana sekali kepada seorang Sammasambuddha, jasanya sama dengan seratus kali jika dana tersebut diberikan kepada seorang Pacekka Buddha. Selanjutnya berdana sekali kepada Ariya Sangha, jasanya akan sama dengan seratus kali jika dana itu diberikan kepada seorang Sammasambuddha. Dengan demikian maka berdana kepada Sangha jasanya akan jauh lebih besar dari pada jika dana tersebut diberikan kepada seorang bhikkhu, walaupun bhikkhu tersebut telah senior.

Berdana kepada Sangha tidak hanya berupa jubah, tetapi ada empat kebutuhan pokok (catupaccaya) bhikkhu yang bisa dipersembahkan kepada Sangha, yaitu pakaian (jubah), makanan, tempat tinggal dan obat-obatan serta kebutuhan lainnya yang di zaman modern ini sangat penting artinya, yaitu transportasi.

Berdana adalah salah satu cara untuk melepaskan diri dari belenggu kemelekatan. Kemelekatan merupakan sumber derita. Melekat kepada apa yang kita miliki, kepada apa yang kita cintai, hanyalah akan mengakibatkan penderitaan. Sebab segala apa yang kita miliki, segala apa yang kita cintai, bila saatnya tiba mau atau tidak mau kita pasti akan berpisah. Dan perpisah dengan apa yang kita miliki, dengan apa yang kita cintai, pada hakekatnya adalah suatu derita, ratap tangis dan keluh kesah. Oleb karena itu marilah kita belajar melepaskan diri dari kemelekatan itu antara lain dengan suka berdana. Berdana kepada Sangha adalah merupakan jasa-jasa yang sangat tinggi nilainya.

Berdana kepada Sangha bukan berarti para bhikkhu itu menjadi kaya. Para bhikkhu, khususnya dari Sangha Theravada telah bertekad untuk melepaskan segala belenggu keduniawian. Jika pada Sangha terkumpul banyak dana, maka para bhikkhu boleh dikatakan kaya, tetapi tetap tanpa harta (sugih tanpo bondo). Dana yang ada pada Sangha itu semata-mata hanyalah dari umat dan untuk umat banyak, untuk meyebarkan Dhamma ke daerah-daerah, untuk membina umat agar menjadi manusia-manusia yang bermoral-moral tinggi, manusia yang bermoral Pancasila. Sehingga mereka akan siap mental dalam menghadapi saat-saat tinggal landas. Dengan demikian kegiatan para bhikkhu dengan dukungan dana dari umat tidak lain juga berarti umat juga ikut mendukung program pemerintah, khususnya di bidang mental/spiritual. Ini berarti bahwa makin banyak dana yang diberikan oleh umat, sekaligus umat Buddha telah secara aktif berpartisipasi dalam pembangunan nasional. Berpartisipasi dalam pembangunan berarti ikut memikul beban pelaksanaan pembangunan, ikut bertanggungjawab atas pelaksanaan pembangunan dan tidak hanya ikut menikmati hasil-hasil pembangunan.

Bulan Kathina adalah kesempatan yang sangat baik bagi umat Buddha untuk berbuat jasa-jasa yang akan membawa manfaat berupa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi kita semua. Semoga berkah Tuhan Yang Mahaesa dan Sang Tiratana terlimpah pada kita semua.***


Sumber:

Jalan Tengah No. 2/Tahun Ke I/9 November 1988; Yayasan Dhamma Dipa Arama; Jakarta.