Sekitar Masalah Bunuh Diri |
oleh: Jan Sanjivaputta |
Beberapa waktu yang lalu, kita sempat dikejutkan oleh berita tentang pelaksanaan hukuman gantung terhadap Westley Allen Dodd. Ia tertangkap enam minggu setelah membunuh Lee Iseli, bocah berusia empat tahun, ketika sedang berusaha menculik anak lainnya lagi —yang akan dijadikan korbannya yang keempat. Ada tiga delik pembunuhan yang telah dilakukan dan diakuinya. American Civil Liberties Union gagal mencegah pelaksanaan hukuman gantung yang baru pertama kali terjadi dalam 30 tahun terakhir ini, di Washington. Hukuman gantung dan tembak jelas mencerminkan kekejaman dan kebiadaban. Bahkan, hukuman setrum di atas kursi listrik ribuan volt serta suntikan racun mematikan (lethal injection) masih dinilai kurang manusiawi oleh lembaga-lembaga penegak hak asasi manusia.
Lebih daripada itu, Badan Amnesti Internasional berusaha keras untuk menghapus pemberlakuan hukuman mati dari muka bumi ini. Menurut laporan tahun 1990, baru 44 negara yang telah menerapkannya. Hukuman mati secara prinsipial bertentangan dengan hak asasi manusia yang paling mendasar, yaitu hak untuk hidup. Seberapa besar dan banyak kejahatan yang dilakukan seseorang, sesungguhnya tidak ada wewenang bagi siapa pun untuk mencabut nyawanya.
Dalam kasus Allen Dodd tersebut, lembaga-lembaga penegak hak asasi manusia tidak dapat berbuat banyak karena itu dikehendaki sendiri oleh pihak terhukum. Selama ini ia dibayangi trauma kejahatan yang telah dilakukannya, dan ini hanya bisa dibayar dengan kematiannya. Kematian, baginya, adalah satu-satunya jalan untuk melepaskan ingatan buruknya. Jenis kematian yang dikehendaki ialah seperti yang dilakukan terhadap korbannya yang ketiga, digantung. Kejadian itu merupakan suatu usaha "bunuh diri" secara tidak langsung; karena alasan kejahatan kriminal.
Belum lama ini, kita tercengang kembali atas berita upaya pengesahan "Euthanasia" dalam hukum Belanda. Dewan Parlemen di sana sedang mempersiapkan undang-undang yang mengizinkan kehendak bebas untuk bunuh diri karena alasan kesehatan [menderita penyakit yang tak terobati]. Untuk mulai diberlakukan secara sah, undang-undang itu perlu mendapat persepakatan terlebih dahulu dari Majelis Tinggi, yang direncanakan dalam tahun ini.
Sebenarnya, Euthanasia telah lama ditenggang (tolerated) di Belanda. Sejak tahun 1970-an, penerapannya telah diperbincangkan secara terbuka, dan hukum yang berlaku cenderung merupakan suatu pengendalian alih-alih larangan mutlak. Perdebatan yang bertahun-tahun menghasilkan kompromi pembuatan garis-garis panduan (guidelines) sementara tetap tidak mengesahkan penerapannya secara resmi. Pengadilan hampir selalu menghindari pendakwaan terhadap dokter-dokter yang telah mematuhi panduan tersebut, yang diterbitkan oleh Royal Dutch Medical Association. Ditetapkan bahwa permohonan bunuh diri harus diajukan sendiri oleh pesakit (pasien), bukan sanak keluarga atau kerabatnya. Si pesakit harus benar-benar mengalami penderitaan yang tak tertahan, dan penyakitnya tak terobati. Permohonan bunuh diri harus disampaikan tatkala ia sedang dalam keadaan sadar, waras.
The World Book Encyclopedia menuliskan, dalam lema "Suicide", bahwa Agama Kristen menganggap bunuh diri sebagai suatu dosa, dan banyak pengikutnya yang mempercayai bahwa seseorang yang melakukannya berarti membuang harapannya dalam mencapai Surga. Dengan ungkapan lain dapatlah dikatakan bahwa pelaku bunuh diri tidak mempunyai kesempatan untuk masuk Surga, betapa pun banyak kebajikan yang telah dilakukan sepanjang hidupnya. Semua kebajikannya akan sirna tak bersisa begitu upaya bunuh diri dilakukan. Bunuh diri adalah suatu dosa yang tak terampunkan. Kalaupun seseorang telah membunuh beratus-ratus orang lain [tidak termasuk binatang karena ini dianggap bukan dosa], ia masih diberi kesempatan untuk mengakui kesalahannya, bertobat, dan mempunyai kemungkinan untuk diampuni serta diangkat ke Surga.
Hingga dewasa ini, Kristen —khususnya Katholik— belum bisa menerima pelaksanaan bunuh diri, dan dengan pelbagai cara berusaha untuk menghalangi pengesahan undang-undang yang bertujuan untuk mengizinkannya. Dalam sidang parlemen di Belanda baru-baru ini, yang mendukung hak bunuh diri berasal dari Partai Buruh. Yang tidak setuju dengan Euthanasia kebanyakannya dari penganut agama yang fanatik, yang suaranya terwakilkan kepada Partai Demokrasi Kristen. Bagaimanapun, angket-angket pendapat yang dibuat dalam tahun-tahun ini menunjukkan bahwa paling sedikit tiga-per-empat penduduk Belanda cenderung memilih hak individu untuk mati. Prosentasi ini tentu mengecewekan kaum rohaniwan di sana, yang selama ini berusaha dengan kukuh dan sengit memerangi upaya bunuh diri.
Kita telah meninjau pandangan/pendapat kalangan umum serta agama lain. Sekarang, perlu kiranya dibahas bagaimana pandangan Agama Buddha atas upaya bunuh diri? Ada beberapa rujukan dalam Kitab Suci Tipitaka untuk membahas kasus bunuh diri. Dalam Godhika Sutta, Samyutta Nikâya dan Ulasan Dhammapada dikisahkan peristiwa bunuh diri yang dilakukan oleh Godhika Thera. Ia adalah putra pemuka Malla di Pâvâ. Ketika pergi ke Kapilavatthu bersama kerabatnya, ia melihat Mukjizat Ganda yang diperlihatkan oleh Sang Buddha. Selanjutnya ia tertarik untuk memasuki hidup kebhikkhuan. Ia telah menimbun kebajikan bersama kerabatnya dalam kehidupan-kehidupan lampau, khususnya pada zaman Buddha Siddhattha dan Kassapa.
Delapan puluh tujuh kappa yang lampau, ia pernah menjadi raja sebanyak tujuh kali, dengan nama Mahâsena. Dalam kehidupan sekarang, setelah menjadi bhikkhu, ia bertinggal di Kâďasilâ di Isigiďipassa. Di sana ia berusaha keras untuk meraih kesucian tertinggi (Arahat), tetapi hanya berhasil meraih pembebasan pikiran yang bersifat duniawi (sâmâyikam cetovimutti). Pencapaian itu pun kemudian memudar, lenyap kembali karena —menurut Buddhaghosa Thera— Godhika Thera sedang menderita suatu penyakit yang akut [berhubungan dengan empedu, dan mengeluarkan dahak]. Itu terjadi berulang-ulang hingga enam kali. Pada pencapaian ketujuh, ia sempat berpikir bahwa suatu makhluk yang pudar dari Pencerapan (Jhâna), kehidupan mendatangnya tidaklah menentu [mungkin terlahirkan di alam rendah karena akibat perbuatan (kamma) buruknya].
Sementara itu, mereka yang berada dalam Jhâna niscaya akan lahir kembali di Alam Brahma yang luhur. Dengan berpikir demikian, ia kemudian mengambil pisau cukur, dan dengan membaringkan tubuhnya, ia menggorok lehernya sendiri. Mâra si Jahat yang melihat kejadian itu segera melaporkan kepada Sang Buddha. Beliau datang terlambat, Godhika Thera dijumpai dalam keadaan mati terkapar dengan leher terputus. Kendati demikian, Beliau menyatakan bahwa ia telah berhasil meraih Pembebasan Sejati (Nibbâna).
"Orang bijaksana tidak mempunyai kemelekatan terhadap badan jasmaniah. Godhika telah melenyapkan keinginannya, meraih Nibbâna". Demikian sabda Sang Buddha. Pengulas menjelaskan bahwa ia berhasil meraih Nibbâna karena setelah menggorok lehernya [tetapi belum sampai pada ajalnya], ia sempat merenungkan dan menembus hakikat kehidupan yang fana ini.
Rujukan dalam Theragâthâ, Khuddaka Nikâya, dan Ulasan Dhammapada mengisahkan peristiwa yang hampir sama. Peristiwa itu berkaitan dengan Sappadâsa Thera. Ia juga memperoleh keyakinan, dan menjadi bhikkhu tatkala Sang Buddha mengunjungi penduduk di tempat kelahiran-Nya. Karena dikuasai oleh kebiasaan batin dan prilaku yang buruk, selama dua puluh lima tahun ia tidak dapat mengembangkan pemusatan. Itu sangat menyedihkannya, dan karenanya ia berniat untuk bunuh diri. Upaya bunuh diri yang dilakukannya ialah dengan menggigitkan ular pada tubuhnya. Akan tetapi, ular itu tak mau menggigitnya. Ia kemudian memasukkan tangannya dalam kendi, menggoyang-goyangkan tangannya ke sana ke mari, dan membuka mulut ular serta memasukkan jarinya. Ular itu tetap tak mau menggigit. Dengan berpikir bahwa ular itu tidak berbisa (beracun), ia membuangnya dan kembali ke vihâra.
Padahal, menurut bhikkhu-bhikkhu lain yang sempat mengetahui, itu adalah ular cobra yang ganas dan berbisa. Belakangan dikatakan oleh Sang Buddha bahwa dalam tiga kehidupan yang lampau, ular itu menjadi budaknya; dan karenanya tidak berani mengigitnya. Gagal dengan cara menggigitkan ular, Godhika Thera kemudian berusaha melakukan upaya bunuh diri dengan menggorok lehernya dengan pisau cukur. Sebelum ajalnya tiba, beliau meraih Nibbâna.
Berikut ini adalah pernyataan yang beliau uncarkan, "Sejak ditahbiskan selama 25 tahun, saya belum pernah memperoleh ketenangan batin walaupun hanya sekejap. Saya belum mencapai pemusatan pikiran. Dikuasai oleh nafsu inderawi, dengan menopangkan kedua belah tangannya sambil menangis meraung-raung, saya keluar dari tempat tinggal dan berpikir untuk mengambil pisau. Apa gunanya kehidupan ini? Bagaimana mungkin orang seperti saya meninggalkan latihan [lepas jubah]. Lebih baik mati saja saat ini. Setelah mengambil pisau cukur, saya naik ke ranjang. Pisau itu telah saya hunuskan, mampu memotong urat hingga putus. Pada saat itu, perhatian secara cermat dan benar (yonisomanasikâra) muncul dalam diri saya. Kesalahan tertampak oleh saya. Timbullah kejenuhan terhadap perpaduan (sankhâra). Karena kejenuhan terhadap perpaduan ini, batin saya terbebaskan. Lihatlah hakikat kebenaran Dhamma ini. Tiga Pengetahuan (Tevijja) berhasil saya tembus. Ajaran Sang Buddha telah saya tamati".
Berdasarkan dua riwayat hidup yang dikisahkan di atas, jelaslah bahwa dalam pandangan Agama Buddha —berbeda dengan beberapa agama tertentu—, bunuh diri bukanlah suatu "dosa" [Baca: kesalahan] yang tak terampunkan. Jangankan hanya kehidupan di Surga, bahkan pencapaian Arahat yang jauh lebih mulia daripada itu —yang menjadi tujuan akhir bagi setiap umat Buddha— dapat diraih oleh seseorang yang pernah melakukan upaya bunuh diri. Agama Buddha menolak adanya suatu Kekuasaan Adikodrati yang berwenang untuk menakdirkan nasib suatu makhluk; untuk melakonkan drama kehidupan yang penuh dengan penderitaan ini. Manusia, dan makhluk-makhluk lainnya, bukanlah sekadar "anak-anak wayang" yang terikat kontrak dengan Sutradara untuk melakonkan adegan penderitaan di atas panggung sandiwara dunia hingga batas waktu yang ditentukan secara sewenang-wenang dan sepihak. Setiap makhluk adalah pemilik mutlak atas kehidupannya masing-masing.
Dalam memandang kejahatan dan kebajikan, Agama Buddha senantiasa berpegang pada patokan yang proporsional. Sama sekali tidak ada dogma-dogma tak beralasan yang mencemarinya. Demikian pula halnya dengan delik pembunuhan, Sang Buddha memberikan penilaian yang adil dan sesuai dengan ukurannya. Bagi seorang bhikkhu, membunuh sesama manusia atau menganjurkan orang lain untuk bunuh diri adalah pelanggaran Pârâjika; suatu kesalahan paling berat (garukâpatti) yang membuatnya terlepas dari pasamuan. Ini adalah suatu kesalahan yang tak terobati (atekicchâ), yang berarti sepanjang kehidupan sekarang, ia tidak berhak lagi untuk menjadi bhikkhu. Ia adalah orang yang telah terkalahkan dalam upaya meraih pembebasan sejati.
Dengan perkataan lain, dalam kehidupan sekarang ini, ia tidak mungkin dapat meraih kesucian apa pun. Namun, dalam kehidupan-kehidupan mendatang, terbuka lagi kesempatan baginya. Dalam Agama Buddha, tidak ada suatu kejahatan apa pun dan seberapa pun beratnya, yang membuatnya kehilangan hak secara mutlak [tak berakhir/tak berbatas] untuk meningkatkan taraf kehidupannya dalam pengembaraan hidup yang panjang ini.
Sementara itu, pembunuhan terhadap binatang oleh seorang bhikkhu, dikenai hukuman yang lebih ringan; yaitu pâcittiya —suatu kesalahan yang membuat seorang bhikkhu diwajibkan untuk mengaku di hadapan bhikkhu lain. Apabila yang dibunuh adalah dirinya sendiri [bunuh diri], seorang bhikkhu hanya terkena pelanggaran dukkata; suatu kesalahan yang paling ringan. Bagi umat awam, menurut Kitab Tafsiran Sâratthadîpanî dan Vimativinodanî, bunuh diri tidak termasuk pelanggaran sîla karena faktor pembunuhannya tidak terlengkapi. Pelanggaran sîla dalam hal pembunuhan ini harus berobjekkan makhluk lain, tidak termasuk diri sendiri. Bunuh diri juga bukan merupakan akusala-kammapatha; suatu kejahatan yang dapat menyeret pelakunya dalam kehidupan di alam-alam rendah.
Di sini terlihatlah kearifan Sang Buddha dalam menggariskan berat ringannya suatu kejahatan. Sangatlah tidak beralasan untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat terhadap pelaku bunuh diri daripada pembunuh orang lain. Bagaimanapun, kita harus mengakui bahwa setiap orang berhak atas kehidupannya sendiri. Bunuh diri sama sekali tidak merugikan orang lain. Dengan begitu, bagaimana mungkin kita memvonisnya dengan "dosa" yang tak terampunkan; melebihi "dosa" yang dilakukan oleh mereka yang membunuh makhluk lain [melanggar hak orang lain]? Seperti halnya orang yang merusak barang [kekayaan] milik orang lain, patut dijatuhi hukuman, tetapi kiranya tidak ada alasan yang tepat untuk menghukum berat orang yang merusak barang miliknya sendiri.
Atas kasus Godhika Thera dan Sappadâsa Thera, perlu kiranya ditegaskan di sini bahwa seorang Arahat tidak akan melakukan bunuh diri. Mereka melakukan itu sebelum pencapaian ke-arahat-annya. Pada waktu melakukan bunuh diri, batin mereka masih belum terbebaskan dari kekotoran (kilesa). Ke-arahat-an itu diraih sebelum ajalnya tiba. Masyarakat luas tampaknya kurang begitu bisa menerima tindakan bunuh diri. Bunuh diri dianggap sebagai suatu perbuatan yang sangat tolol (dungu). Pelakunya akan dilecehkan.
Sesungguhnya, permasalahannya tidaklah sedangkal yang mereka bayangkan. Dalam kasus Godhika Thera, misalnya, beliau berniat untuk bunuh diri karena jenuh terhadap badan jasmaninya [yang menderita sakit sangat parah], dan beliau merasa yakin setelah kematiannya akan terlahirkan kembali di Alam Brahma yang luhur. Bagaimanapun keadaannya, seseorang memang tidak patut "membenci" tubuh jasmaninya. Namun, ia juga tidak sepatutnya untuk "melekati"-nya. Tubuh ini sesungguhnya tak ubahnya seperti periuk (kendi). Kalau itu memang sudah pecah dan tidak bisa dipakai lagi, mengapa kita tidak membuangnya, dan mencari yang baru; yang lebih baik?
Ada perumpamaan lain yang bernada sama. Apabila ada orang —yang mempunyai jatah atas baju baru yang lebih indah— melepaskan bajunya yang sudah lama, gelandangan yang menyaksikannya mungkin berpikir, "Orang itu bodoh sekali, baju masih baik kok dibuang begitu saja". Dalam menilai sesuatu, kita tidak bisa hanya berpedoman pada takaran duniawi yang rendah semacam ini. Menjadi kecenderungan orang awam untuk melekat pada kehidupan sekarang ini, dan berusaha untuk mencari kepuasan di dalamnya. Menempuh kehidupan yang jauh dari nafsu, dalam arti menjadi bhikkhu, misalnya, mungkin dianggap sebagai keputusan yang dungu. Mereka berpikir, selama masih ada kesempatan untuk memuaskan nafsu yang menyenangkan, mengapa tidak memanfaatkannya? Mereka tidak menyadari bahwa dengan melepaskan kesenangan inderawi, para bhikkhu meraih kebahagiaan yang jauh lebih luhur daripada kesenangan nafsu inderawi.
Demikian pula halnya dengan kasus Godhika Thera, kita tidak bisa menilainya dengan menggunakan kemelekatan kita terhadap kehidupan di dunia sekarang ini. Beliau mempunyai pertimbangan lain sehingga memutuskan hal itu. Kita sering menganggap kematian sebagai "akhir" yang mengerikan. Sesungguhnya, kematian —dalam kondisi tertentu— bukanlah tak mungkin merupakan suatu "awal" menuju kebahagiaan.
Kehidupan sebagai manusia bukanlah satu-satunya kehidupan yang diberkahi oleh Tuhan sebagaimana yang dipercayai oleh beberapa agama tertentu. Kehidupan manusia tidaklah dapat dibandingkan dengan kehidupan di Alam Brahma. Kehidupan sebagai Brahma jauh lebih luhur dan membahagiakan daripada kehidupan sebagai manusia. Tidak ada penderitaan jasmaniah (dukkhavedanâ) maupun penderitaan batiniah (domanassavedanâ) di sana. Karena itu, melakukan bunuh diri dengan harapan untuk meraih kehidupan yang lebih baik, seperti yang dilakukan oleh Godhika Thera, bukanlah suatu perbuatan yang sangat dungu dan tak masuk akal. Bagaimanapun, itu bukanlah cara berpikir seorang Buddhis sejati.
Dalam pemikiran yang lebih tinggi tarafnya, kita harus menyadari bahwa kehidupan di Alam Brahma pun bukanlah suatu jaminan bahwa kita tidak akan terjatuh kembali ke alam-alam yang lebih rendah, yang lebih menderita. Kelahiran di Alam Brahma, apalagi hanya Alam Surga, sama sekali bukan Jalan Keselamatan yang aman. Dengan menyadari demikian, mengapa kita tidak berusaha untuk meraih Pembebasan Sejati, terbebas dari daur kehidupan dan kematian yang berulang-ulang? Inilah pemikiran Buddhis yang sejati.
Dalam ulasan sebelumnya, jelaslah bahwa bunuh diri bukanlah suatu pelanggaran dalam segi Sîla [bagi umat awam], dan hanya merupakan pelanggaran Vinaya kecil [bagi para bhikkhu]. Kita mungkin bertanya apakah bunuh diri melanggar Dhamma? Jawabannya ialah: jelas melanggar. Jangankan melakukan upaya bunuh diri, bahkan "berpikir" untuk melukai diri sendiri sudah merupakan pelanggaran Dhamma. Perbuatan apa pun —melalui tindakan, ucapan maupun pikiran— yang membangkitkan kelobaan (lobha), kebencian (dosa) dan kedunguan (moha); semuanya melanggar Dhamma.
Ingin makan enak, ingin punya istri, ingin punya anak, ingin dapat gaji besar, ingin punya rumah mewah, dan sebagainya; adalah contoh-contoh pelanggaran Dhamma dalam segi lobha. Tidak puas dengan apa yang dimiliki, berkeluh-kesah, kecewa, bosan hidup, dan sebagainya; adalah contoh-contoh pelanggaran Dhamma dalam segi dosa. Pertanyaan kita selanjutnya ialah, haruskah kita memaksakan nilai-nilai Dhamma yang sangat luhur itu dalam menyelesaikan masalah bunuh diri dalam taraf bawah?
Dalam hal ini, kita tidak mempersoalkan apakah bunuh diri itu salah atau tidak, tetapi kita hanya menentukan apakah bunuh diri itu boleh atau tidak dalam segi hukum duniawi. Dengan pertanyaan lain yang lebih jelas, haruskah kita melarang dan menghukum pelaku bunuh diri, ataukah membiarkannya? Jika kita mengakui hak hidup seseorang, kiranya tidak ada alasan bagi kita untuk menghalangi kehendak orang lain dalam menentukan kehidupannya sendiri —dalam arti memilih mati atau tetap hidup dalam penderitaan/kesengsaraan. Asalkan suatu perbuatan tidak merugikan pihak lain, tidaklah beralasan untuk menghukumnya. Seperti halnya masalah rokok. Kita semua tahu bahwa merokok itu dapat merusak kesehatan. Cukup beralasan jika kita melarang merokok di tempat-tempat umum sebab itu dapat membahayakan kehidupan orang lain yang tidak suka merokok. Tetapi, kalau seseorang merokok dalam kamarnya sendiri, bolehkah kita menjatuhkan hukuman kepadanya? Demikian pula halnya dengan masalah bunuh diri. Sepanjang itu tidak mengganggu kehidupan makhluk lain; tidak melanggar hak asasi makhluk lain, kiranya tidak ada alasan untuk memberlakukan larangan apalagi menjatuhkan hukuman kepada pelakunya.
Pelaku bunuh diri mungkin dapat dibebaskan dari segala tuntutan hukum, tetapi bagaimana pula dengan dokter yang memberikan bantuan dalam suatu upaya bunuh diri? Bersalahkah ia? Pantaskah ia digugat ke pengadilan dengan delik pembunuhan? Ini adalah suatu permasalahan yang kontroversial. Tugas utama seorang dokter ialah menyembuhkan pesakit. Karena itu, tidak sedikit orang yang berpendapat bahwa membantu upaya bunuh diri sangat bertentangan dengan jiwa kedokteran. Biasanya, betapa pun parah penyakit yang diderita oleh pesakit, bahkan dalam keadaan hampir sekarat pun, dokter akan "menghibur"-nya dengan pelbagai harapan kesembuhan. Itu secara resmi telah dianggap sebagai "etika kedokteran" meskipun tak dapat dipungkiri bahwa ini termasuk kebohongan.
Sudah lazim jika penyakit parah yang diderita pesakit akan dirahasiakan —dalam arti pesakit tidak diberi tahu atas penyakit yang sesungguhnya menghidapinya. Mereka tidak ingin pesakit itu putus asa, pasrah, dan menyerah pada keadaan kesehatannya. Dengan pelbagai cara mereka berusaha keras untuk menyelamatkan jiwa pesakit. Kita tidak perlu menyangsikan bahwa kebanyakan dokter mempunyai "jiwa menolong" semacam itu.
Akan tetapi, banyak sekali pertanyaan yang perlu kita jawab dalam hal ini: apakah menghibur pesakit yang sesungguhnya tidak mempunyai harapan untuk hidup tidak menyalahi hukum moral? Apakah merahasiakan keadaan kesehatan yang sesungguhnya tidak berarti melanggar hak asasinya untuk memperoleh informasi yang benar atas dirinya? Apakah etis untuk membiarkan pesakit berkhayal tentang kesembuhannya yang tak kunjung tiba? Apakah tidak mungkin ada dokter tertentu yang berniat tidak baik dengan sengaja "mengulur-ulur" kehidupan pesakit yang ditanganinya agar ia mempunyai kesempatan untuk melakukan pelbagai eksperimen atau mencari pengalaman serta keuntungan tertentu bagi kepentingannya sendiri? Apakah tidak melanggar etika jika seorang dokter menjadikan pesakit tertentu sebagai "kelinci percobaan" tanpa kerelaan yang bersangkutan —walaupun ini mungkin bermanfaat bagi orang banyak?
Memang, seorang dokter tidak patut menganjurkan pesakit untuk bunuh diri, misalnya dengan ungkapan, "Penyakitmu tak bisa diobati lagi. Lebih baik kamu bunuh diri saja!" Ini jelas melanggar etika, dan juga termasuk delik pembunuhan. Seorang dokter cukup menyatakan apa adanya, dan selanjutnya terserah kepada pesakit untuk menentukan kehidupannya sendiri: Apakah memilih mati atau tetap hidup dalam keadaan menderita. Si pesakit perlu diberi waktu yang cukup lama untuk memutuskan "masalah besar" ini. Hanya apabila pesakit itu benar-benar bersikeras untuk memilih bunuh diri, seorang dokter boleh memberikan bantuan selayaknya.
Ini sangat perlu supaya kejadian seperti yang menimpa Hugh Gale [70 tahun], Michigan, tidak terjadi. Sewaktu kedok karbon monoksida dikatupkan di mukanya, ia kepanikan, dan mengubah keinginannya untuk bunuh diri dengan menjerit, "Copot, copot...!" Kini Dr. Jack Kevorkian sedang digugat di Pengadilan dengan tuduhan mengabaikan permintaan pesakit untuk membatalkan bunuh diri. Jika benar-benar bersalah, ia bisa mendekam di penjara selama empat tahun. Tetapi, Cheryl yang mendampingi Gale saat menjelang ajal, memberikan kesaksian bahwa suaminya tidak pernah menghentikan usaha untuk bunuh diri. Ada tidak kurang dari 15 orang yang telah mati dengan bantuan Dr. Kevorkian —yang dijuluki "Dr. Death"—, sebelum skandal itu terbongkar berdasarkan berkas laporan di keranjang sampah.
Terlepas dari masalah itu, kita mungkin bertanya-tanya apakah seorang dokter yang membantu pesakit bunuh diri berarti melakukan suatu kamma buruk? Tentu, sebab itu merupakan pembunuhan walaupun mungkin saja tidak disertai dengan pikiran benci/marah (paighasampayutta). Ia hanya sekadar melaksanakan kehendak pesakit. Barangkali dapat dikatakan bahwa kamma buruknya lebih ringan daripada aparat keamanan yang bertugas menjalankan hukuman mati kepada narapidana.
Mengapa bisa lebih ringan? Alasannya ialah: dalam kasus hukuman mati, kebanyakan narapidana masih menginginkan kehidupannya; tidak mau mati. Itu berarti aparat keamanan merampas hak hidupnya. Sebaliknya, dalam kasus bunuh diri, pelakunya sudah tidak menginginkan kehidupannya lagi. Jadi, dokter hanya sekadar menjalankan kemauannya. Kaum rohaniwan tertentu menolak tindakan dokter itu sebagai "mercy killing" —pembunuhan berdasarkan kasih sayang. Sesungguhnya, yang paling tahu dalam hal ini ialah dokter itu sendiri. Ia tahu bagaimana keadaan batinnya sewaktu membantu menjalankan upaya bunuh diri; apakah dipenuhi dengan kebencian terhadap si pesakit atau tidak. Dengan alasan apa dia harus membenci pesakit-nya manakala jika mempertahankan kehidupannya, dia menerima honorarium tanpa harus bersusah-payah mencari pesakit baru lainnya?
Perlu juga dipertimbangkan: Apabila seorang dokter menolak permintaan pesakit untuk bunuh diri —dengan alasan tidak sesuai dengan misi kedokteran atau bisa digugat di Pengadilan—, bukanlah tak mungkin pesakit itu nekad bunuh diri dengan caranya sendiri. Keadaannya justru menjadi lebih fatal, karena kebanyakan pesakit tidak tahu cara yang baik dan tepat untuk mengakhiri hidupnya.
Seorang dokter lebih berpengalaman dalam mencarikan jalan mati yang tenang dan tak begitu menyakitkan. Pula, jika upaya bunuh diri direncanakan secara matang, pesakit mempunyai kesempatan untuk mengundang pemuka agama yang diyakininya agar mendampinginya; memberikan petunjuk spiritual, menenangkan batinnya, dan sebagainya. Ini tentu membawa keuntungan bagi diri pesakit itu sendiri. Apalagi jika ia menganut Agama Buddha, yang meyakini bahwa keadaan batin saat menjelang ajal sangat berpengaruh dalam menentukan kehidupan mendatang: apakah terlahirkan kembali di alam menyenangkan atau alam menyedihkan. Bukanlah tidak mungkin jika ia nekad bunuh diri dengan usaha sendiri, tanpa petunjuk dokter dan tanpa didampingi oleh pemuka agama yang diyakini, batinnya akan menjadi kacau, tak terkendali, diliputi kecemasan, ketakutan, kekhawatiran, dan sebagainya. Sayangnya, menurut Kevorkian, meskipun pesakit yang ditangani merupakan orang-orang beragama, tak satu pun yang mau mengkonsultasikan soal ini kepada pemuka agamanya. Ia mengatakan bahwa agama [yang dianut di Barat] tidak relavan. Mereka sangat anti-bunuh diri, tanpa mau memperdulikan pertimbangan-pertimbangan lain sama sekali.
Sementara pihak mungkin mempertanyakan: Apakah seorang umat Buddha yang melakukan bunuh diri tidak berarti "memungkiri" Dalil Kamma? Apakah setelah kematiannya ia tidak perlu melunasi hutang kamma-nya lagi —dalam arti menderita lagi seperti yang dialami dalam kehidupan sebelumnya? Dapatkah akibat suatu kamma diputuskan dengan kematian?
Memang, sebagai orang biasa, sukar untuk dapat melihat dan memastikan bagaimana bekerjanya Dalil Kamma yang sangat pelik (complex). Hanya seorang Sammâsambuddha yang memiliki kemampuan semacam itu. Namun, haruslah diingat bahwa Sang Buddha pernah mengajarkan tentang pembagian kamma berdasarkan waktu dalam menghasilkan akibat. Ada kamma yang memberikan akibat pada masa kehidupan sekarang (ditthadhammavedanîya-kamma), dan ada pula kamma yang tidak memberikan akibat karena jangka waktunya untuk menghasilkan akibat telah habis (ahosi-kamma).
Agama Buddha memang mengakui adanya Dalil Kamma. Tetapi, Sang Buddha tidak pernah mengajarkan umat-Nya untuk "tunduk" pada akibat kamma. Sikap inilah yang membedakan antara akibat kamma lampau dengan nasib/takdir yang harus diterima dengan pasrah —sebagaimana yang dipercayai oleh agama-agama lainnya. Contoh yang gamblang dalam hal ini. Seandainya kita digigit nyamuk, kita tentu tidak membiarkannya begitu saja dengan pandangan, "Biarlah dia (nyamuk itu) menggigit sepuas-puasnya, supaya hutang kamma saya kepadanya dalam masa lampau terlunasi semuanya!" Ini jelas merupakan suatu sikap menerima kamma lampau yang salah, yang tidak sesuai dengan Agama Buddha.
Sang Buddha tidak pernah menganjurkan siswa-Nya untuk bersikap sebodoh itu. Jika digigit nyamuk, seorang umat Buddha boleh mengusirnya [tanpa harus membunuhnya], atau melakukan tindakan-tindakan pencegahan lainnya, misalnya memasang kelambu dsb. Dengan meyakini Dalil Kamma, umat Buddha bukanlah berarti harus menahan diri dari segala macam penderitaan/kesakitan yang dialami; tanpa ada sedikit usaha pun untuk menghindarinya. Akibat kamma tidak mutlak harus diterima semuanya. Ingat! Ajaran Agama Buddha tentang Dalil Kamma perlu dibedakan dari doktrin Jainisme tentang Hukum Karma —yang mempercayai bahwa Keselamatan/Pembebasan hanya bisa diperoleh apabila semua hutang karma terlunasi. Kehidupan suatu makhluk tidaklah hanya sebanyak puluhan atau ratusan kali; tetapi tak terhitung jumlahnya. Jika setiap makhluk harus melunasi setiap akibat karma yang pernah diperbuatnya dalam kehidupan-kehidupan lampau; sangatlah muskil baginya untuk meraih Pembebasan.
Dalam menjenguk umat yang sedang sakit, seorang bhikkhu perlu bersikap waspada. Betapa pun berat penyakit yang dideritanya, janganlah sampai menganjurkannya untuk bunuh diri karena ini merupakan pelanggaran pârâjika. Namun, ia kiranya juga tidak perlu membangkitkan semangat umat yang sakit itu secara berlebihan hingga sangat bergairah dan melekat pada kehidupannya. Tugas utamanya ialah untuk menenangkan batin umat yang sakit itu, membuatnya sadar akan hakikat kehidupan yang fana ini.
Tubuh ini hendaknya dipandang sebagai suatu perpaduan pelbagai unsur, yang bersifat tidak kekal, yang senantiasa berubah, pudar, dan hancur secara alamiah. Setelah menjelaskan kelahiran, usia tua, sakit, dan kematian sebagai penderitaan, ia hendaknya menunjukkan jalan mulia menuju lenyapnya penderitaan. Selanjutnya, apakah umat yang sakit itu berniat untuk mengakhiri ataupun mempertahankan kehidupannya, itu adalah urusannya sendiri. Tidak seperti Yesus yang didongengkan sering menyembuhkan orang sakit kusta, dsb., Sang Buddha tidak menganggap praktik pengobatan medis sebagai bagian utama dalam misi keagamaan-Nya.
Tersembuhkan dari penyakit bukanlah suatu jaminan bahwa penyakit itu [atau lainnya] tidak akan kambuh lagi. Cara yang Beliau pakai ialah penyembuhan secara total, dengan mencabut benih-benih penyebab kehidupan yang penuh penderitaan. Tidak ada Keselamatan Mutlak selama belum meraih Pembebasan, mencapai Kesucian. Penyembuhan medis adalah peranan kaum awam, sedangkan penyembuhan batin adalah tugas kaum agamawan. Ada larangan bagi bhikkhu untuk bertindak selaku tabib yang mengobati —dengan cara medis atau mistis— orang biasa yang sakit. Kecuali jika orang itu mendadak sakit ketika sedang berada di vihâra, misalnya jatuh tersandung dsb., seorang bhikkhu boleh memberikan pertolongan pertama.
Khusus kepada kerabat sepenghidupan suci, bhikkhu boleh memberikan perawatan secara penuh. Alasannya ialah bahwa seseorang yang telah menanggalkan hidup keduniawian terjauhkan dari sanak keluarganya. Menjadi tugas sesama bhikkhu untuk merawatnya ketika sedang sakit. Bahkan Sang Buddha memuji dan menganjurkan kepada siswa-Nya: "Ia yang merawat bhikkhu sakit, tak ubahnya seperti merawat Saya sendiri".
Persyaratan utama bagi upaya bunuh diri ialah bahwa ini harus murni merupakan kemauan yang bersangkutan. Sanak keluarga, kerabat, dokter atau siapa pun, tidaklah patut menganjurkan seseorang untuk memilih jalan bunuh diri dalam mengatasi penderitaannya. Jika dilakukan, itu tentu merupakan suatu kejahatan.
Betapa pun berat penyakit yang diderita, dan berapa pun biaya yang dibutuhkan, apabila pesakit itu sendiri masih ingin tetap hidup, sanak keluarganya patut berusaha dengan segenap kemampuan untuk memperjuangkan kehidupannya. Apalagi jika pesakit itu adalah orangtua sendiri atau orang-orang yang telah berjasa besar. Inilah kesempatan untuk membalas jasa kepada beliau. Banyak orang pada zaman modern sekarang ini yang merasa risih dalam menghadapi orangtuanya yang sedang sakit. Terlebih-lebih jika mereka harus merawat sendiri, dan orangtuanya itu tidak mampu mengerjakan sendiri kegiatannya sehari-hari; dalam arti harus mendulangkan makanan, memandikan, dan membersihkan kotorannya. Mereka jijik melakukan itu, padahal pekerjaan semacam itu telah dilakukan oleh orangtua kepada anaknya tanpa ada perasaan jijik sedikit pun.
Suatu kenyataan yang mengenaskan ialah bahwa orangtua mampu merawat belasan anaknya sejak bayi dengan baik, tetapi jarang ada seorang pun dari anaknya itu mampu merawat orangtuanya dengan baik di masa tua. Menjadi kewajiban seorang anak untuk membalas jasa orangtua. Mereka patut membagi perhatian kepada beliau, apalagi di saat sedang sakit. Mereka harus siap mengorbankan segalanya demi kesembuhannya. Menurut Kartono Mohamad, Ketua Ikatan Dokter Indonesia, meskipun belum diakui secara resmi di Indonesia, Euthanasia telah diterapkan secara pasif. Jika pasien tak bisa ditolong lagi, lalu keluarganya —karena alasan biaya— menginginkan pasien dipulangkan agar bisa ditunggui keluarga saat meninggal, permintaan itu dikabulkan. Ini adalah suatu kenyataan yang sangat mengenaskan. Perlu diusulkan kepada Pemerintah untuk memberikan asuransi khusus bagi para pesakit. Apabila yang bersangkutan dan keluarganya benar-benar tidak mampu membiayai ongkos pengobatan dan perawatannya, Pemerintah patut turun tangan dengan mengulurkan tunjangan demi alasan kemanusiaan.
Manusia adalah makhluk luhur yang mampu mengungkapkan pikiran atau kehendaknya secara lisan atau dengan cara-cara lain. Bagaimana kita harus bersikap terhadap binatang, makhluk yang lebih rendah, yang sukar diajak berkomunikasi? Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa suatu binatang yang sedang menderita sakit parah ingin bunuh diri? Inilah permasalahan yang tak gampang dipecahkan; karena sangat sulit untuk dapat memutuskan apakah suatu binatang ingin tetap hidup atau mati hanya dilihat dari sorot matanya. Yang jelas, kita tidak seharusnya mengakhiri hidupnya dengan alasan ia sudah tidak berguna, menghabiskan banyak biaya, merepotkan dan memboroskan waktu, dsb. Banyak peternak yang sengaja membunuh binatang piaraannya karena berpenyakitan dan ditakuti akan menular ke yang lainnya; atau karena sudah terlalu tua sehingga tenaganya atau susunya tidak bisa diambil lagi. Tindakan semacam itu jelas tidak dibenarkan dalam Agama Buddha.
Kita mungkin bisa menenggang upaya bunuh diri karena alasan penyakit akut (kesehatan). Bagaimana pula dengan alasan-alasan lainnya? Bolehkah seseorang bunuh diri karena masalah hidup: frustasi, patah cinta, gagal dalam bisnis, dsb.?
Agaknya, persoalannya tidak bisa dipersamakan begitu saja. Betapa pun peliknya suatu masalah hidup, itu bisa dicarikan jalan keluarnya yang lebih baik [selain bunuh diri]. Paling tidak, itu bisa diatasi dengan mengubah "sikap hidup" atau "cara berpandangan". Permasalahan hidup adalah penderitaan batiniah. Lain halnya dengan penyakit —yang merupakan penderitaan jasmaniah—, meskipun para pakar kedokteran telah berhasil meracik pelbagai macam obat penyembuh, vaksin, serum, dsb., itu tetap ada batas-batasnya.
Penyakit adalah suatu "natural force"; yang tak mungkin dapat ditaklukkan secara mutlak oleh umat manusia [kecuali dengan cara Pembebasan dari kelahiran yang berulang-ulang sebagaimana yang diajarkan oleh Sang Buddha]. Sejauh ini Agama Buddha tidak dapat membenarkan upaya bunuh diri karena alasan masalah hidup . . . .***
Bunuh diri jelas tidak selaras dengan pandangan Buddhis. Tetapi masalahnya sekarang ialah: seberapa jauh kita menjamin hak seseorang untuk melakukan bunuh diri. Jika kita mengakui hak hidup seseorang, kiranya tidak ada alasan bagi kita untuk menghalangi kehendaknya dalam menentukan kehidupannya sendiri —dalam arti memilih tetap hidup atau mati.
Sumber: |
KUMPULAN KARYA TULIS JAN SANJIVAPUTTA; Jan Sanjivaputta; Theravada.net |