Abhidhamma: Sabda Murni Sang Buddha?

oleh: Jan Sanjivaputta

        Menurut catatan sejarah yang dapat dipercayai, Abhidhamnma Pitaka adalah suatu kitab yang baru resmi tertuliskan pada Muktamar (Sangâyanâ) keempat yang diselenggarakan di Aluvihâra, Sri Lanka pada permulaan abad keenam sesudah Kemangkatan Mutlak (Parinibbâna) Sang Buddha Gotama (83 sebelum Masehi). Pada mulanya, Abhidhamma Pitaka dituliskan pada lembaran-lembaran daun lontar. Bahasa awal yang dipergunakan ialah Bahasa Pâli (Magadha). Namun, pada beberapa tempo berselang, telah terdapat pula Abhidhamma Pitaka yang ditulis dalam bahasa Singhala, Devanagari, Birma, Thai, Inggris, dan lain-lain.

        Abhidhamma Pitaka seluruhnya terdiri atas tujuh kitab, yakni: Kitab Dhammasangani, Kitab Vibhanga, Kitab Dhâtukathâ, Kitab Puggalapaññatti, Kitab Kathâvatthu, Kitab Yâmaka, dan Kitab Patthâna.

        Kitab Dhammasangani yang secara harfiah berarti penggolongan Dhamma terbagi menjadi empat bab. Kitab Vibhanga merupakan pemilahan Dhamma dalam delapan belas bagian. Kitab Dhâtukathâ yang merupakan pemaparan tentang unsur terdiri atas empat belas bab. Kitab Puggalapaññatti yang merupakan penetapan individu berisi sepuluh bab. Kitab Kathâvathu yang berisikan pokok-pokok pertentangan terdiri atas dua puluh tiga bab. Kitab Yâmaka yang merupakan pemaparan berpasangan berisi sepuluh bab. Kitab Patthâna yang menjelaskan dua puluh empat ketergantungan (Paccaya) merupakan kitab Abhidhamma yang paling akhir dan paling tebal.

        Abhidhamma Pitaka adalah suatu kitab yang mengandung banyak hal yang pelik. Kepelikan yang dimaksud ini tidak hanya menyangkut aspek-aspek doktrinal yang dikupas di dalamnya —yang kerap membuat 'puyeng' kebanyakan orang yang menyimaknya—, melainkan juga menyangkut masalah kesahihan dan keabsahan kitab itu sendiri. Ada beberapa orang serta kelompok yang menyangsikan dan bahkan menolak tegas Abhidhamma Pitaka sebagai Sabda Murni Sang Buddha Gotama. Abbidhamma dianggap sebagai suatu ajaran yang baru muncul pada masa belakangan sebagai hasil perkembangan yang menyusul kemudian. Lebih tandasnya, Abhidhamma adalah hasil karya orang lain —bukan Sang Buddha Gotama. Dengan perkataan lain, pada masa kehidupan Sang Buddha Gotama, Abhidhamma masih belum ada.

        Anggapan semacam itu agaknya bukan merupakan hal yang baru. Beberapa Kitab Ulasan (Atthakathâ) menyiratkan suatu kenyataan bahwa hanya dalam beberapa waktu setelah Kemangkatan Mutlak Sang Buddha Gotama, kesahihan dan keabsahan Abhidhamma sudah mulai ramai dipermasalahkan.[1] Ini berlangsung terus dari waktu turun ke waktu hingga pada dewasa ini juga. Banyak bukti yang dapat dirujuk untuk menunjukkan kenyataan ini.

[1] Menurut prakiraan Sthien Bodhinanda —mantan dosen mata-kuliah Sejarah Agama Buddha Universitas Mahâmakutarâjavidyâlaya—, hal ini sudah mulai terjadi sebelum abad ketiga penanggalan Buddhis.

        WS. Karunaratne, pengulas aran (entry) 'Abhidhamma' dalam Encyclopaedia of Buddhism —yang semestinya bersikap objektif—, secara langsung maupun tak langsung menempatkan diri di pihak yang menolak (setidak-tidaknya menyangsikan) kesahihan dan keabsahan Abhidhamma Pitaka. Dalam pengantarnya, ia menuliskan: "Both historically and logically, the Abhidhamma represents a development of the Dhamma or the Doctrine of the Buddha. It enjoys equal canonical authority with the Dhamma and its texts have been compiled into a separate Pitaka".

        Pernyataan senada ini agaknya disokong pula oleh David J. Kalupahana, seorang dosen kawakan mata-kuliah filsafat Buddhis. Dalam "Buddhist Philosophy" pada Bab Awal Skolastisisme dan Mahâyâna, ia menuliskan: "Kegiatan Skolastik tidak berhenti sampai di sini saja. Kendati uraian yang lengkap diturunkan dari mulut ke mulut, ada pula upaya untuk mendaftarkan dan mengelompokkan Induk Topik (Mâtikâ, Sk. Mâtrkâ), seperti kelompok kehidupan (Khandha), unsur (Dhâtu), dan landasan indera (Ayatana), yang diuraikan oleh Sang Buddha. Hal-hal ini kemudian menjadi inti dari kumpulan Kitab Suci yang ketiga, yakni Abhidhamma Pitaka yang terutama berkenaan dengan analisis dan sintesis filsafat".

        Sementara itu, Bhikkhu Buddhadâsa —seorang bhikkhu terkenal di Muangthai—. memperlihatkan sikap yang 'pantang kromo' dalam hal ini. Dengan ungkapan yang sarkastis ia bahkan pernah berujar: "Abhidhamma Pitaka bolehlah dilempar ke selokan! Kitab itu sama sekali bukan Sabda Murni Sang Buddha Gotama!" Agaknya, hasil pemantanan Bhikkhu Nârada yang tertuliskan dalam A Manual of Abhidhamma tidaklah meleset: "According to some scholars, Abhidhamma is not a teaching of the Buddha but is a later elaboration of scholastis monks".

        Jadi, memang tidak dapat disangkal lagi jika digemborkan bahwa ada tidak sedikit 'tokoh Buddhis' yang hanya mau berpedoman pada dua kitab saja (Dvipitaka), yaitu Sutta Pitaka dan Vinaya Pitaka.

        Sementara itu, ada pula pihak yang tetap berpegang teguh pada Tipitaka (Tiga Himpunan Kitab) yang berarti mengakui Abhidhamma Pitaka sebagai Sabda Murni yang diwejangkan sendiri oleh Sang Buddha Gotama. Dalam menentukan sikap, kedua belah pihak (antara yang pro dan kontra) sama-sama mempunyai alasan masing-masing. Tulisan berikut ini mencoba menelaah alasan-alasan yang dikemukakan oleh kedua belah pihak tersebut dengan seobjektif mungkin. Telaah ini akan dialurkan dalam bentuk cakapan (dialogue). Bagian KILAHAN dimaksudkan untuk mewakili pihak yang menyangsikan serta menolak Abhidhamma Pitaka sebagai Sabda Murni Sang Buddha Gotama. Sementara itu, bagian ARGUMENTASI mengatasnamakan pihak yang mempercayai serta mempertahankan kesahihan dan keabsahan Abhidhamma Pitaka.

1. KILAHAN:

        Setiap peraturan kedisiplinan yang ditetapkan oleh Sang Buddha Gotama sebagai Vinaya senantiasa dapat diketahui di mana ditetapkannya, kapan ditetapkannya, alasan ditetapkannya, dan berhubungan dengan siapa ditetapkannya. Demikian pula halnya dengan setiap Sutta yang dibabarkan oleh Beliau, selalu dapat diketahui di mana dibabarkannya, kapan dibabarkannya, alasan dibabarkannya, dan kepada siapa dibabarkannya. Berkenaan dengan Abhidhamma, agaknya tidak ada data historis secuil pun yang dapat dijumpai dalam Sutta Pitaka dan Vinaya Pitaka. Dengan begitu, bagaimana mungkin Abbidhamnia Pitaka bisa diakui sebagai Sabda Murni Sang Buddha Gotama?

ARGUMENTASI:

        Tak perlu dipungkiri bahwa data historis semacam itu memang tidak dapat dijumpai dalam Sutta Pitaka dan Vinaya Pitaka. Namun, agaknya kurang tepat jika hal-hal yang berkaitan dengan Abhidhamma hanya dikorek dan satu dua sumber saja. Haruslah disadari bahwa Sutta Pitaka dan Vinaya Pitaka saja tentunya tidak mungkin sanggup meliput 'seluruh' peristiwa yang pernah terjadi sepanjang kehidupan Sang Buddha Gotama. Dengan perkataan lain, pasti ada peristiwa-peristiwa tertentu yang benar-benar terjadi namun tidak sempat tertuliskan di dalamnya. Untuk menelusuri peristiwa semacam mi, Kitab Ulasan (Atthakathâ) dan Kitab Tarsiran (Tîkâ) yang dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya agaknya dapat dijadikan sebagai pelengkap sumber-acuan.

        Dalam Kitab Ulasan atas Dhammapada, Khuddaka Nikâya, Sutta Pitaka, dan juga dalam Kitab Ulasan atas Udâna dan Itivuttaka, Khuddaka Nikâya, Sutta Pitaka tercantumlah data historis tentang pewejangan Abhidhamma. Lebih daripada itu, dalam beberapa Kitab Ulasan atas Abhidhamma Pitaka sendiri dikisahkan secara panjang lebar bahwa setelah memperlihatkan Mukjizat Ganda (Yâmaka-Patihâriya)[2] untuk membabat pandangan sesat aliran kepercayaan dan keagamaan lain di dekat Sâvatthi, Sang Buddha Gotama naik ke Alam Surga Tâvatimsa untuk membalas jasa kebajikan Ibunda Mahâmâyâ yang pernah melahirkan-Nya. Pada waktu itu, Ibunda Mahâmâyâ terlahirkan kembali sebagai Putra Dewa di Alam Surga Tusita, dua tingkat di atas Alam Surga Tâvatimsa. Ini tidaklah berarti bahwa Sang Buddha Gotama salah menuju tempat. Beliau sengaja naik ke Alam Surga Tâvatimsa karena alam ini merupakan tempat pertemuan para dewa dari pelbagai tingkat. Di Alam Surga Tâvatimsa ini terdapat balai umum bernama Saddhamma-sâlâ —yang dipergunakan untuk mendengarkan dan memperbincangkan Dhamma. Ketika berjumpa dengan Raja Dewa Indra, Sang Buddha Gotama memerintahkannya untuk menjemput Ibunda Mahâmâyâ. Tatkala Ibunda Mahâmâyâ telah tiba, Beliau merenungkan serta menimbang bahwa Vinaya dan Sutta tidaklah begitu luhur —tak sepadan dengan jasa kebajikan yang pernah dicurahkan oleh Ibunda Mahâmâyâ.

[2] Jika dihitung hanya berdasarkan data yang tertulis dalam Tipitaka, Mukjizat Ganda yang diperlihatkan pada tahun keenam ini ialah yang kedua. Namun, apabila data dalam Atthakathâ juga dimasukkan, ini adalah yang ketiga karena beberapa minggu setelah Pencerahan Agung, Beliau juga memperlihatkannya.

        Duduk di singgasana Pandukambala dengan sangat agung-Nya, Sang Buddha Gotama memutuskan untuk mewejangkan Abbidhamma kepada Ibunda Mahâmâyâ yang didampingi oleh para dewa dalam jumlah yang sangat banyak dari 10.000 cakrawala. Abhidhamma yang terdiri atas tujuh kitab ini diwejangkan oleh Beliau dengan 'mendalam' serta 'terinci' (Vitthâranaya). Pewejangan Kitab Dhammasangani hingga Kitab Patthâna ini memakan waktu tepat satu musim hujan (Vassa ketujuh) atau kira-kira tiga bulan menurut penanggalan Candra. Sangat menakjubkan bahwa pewejangan Abhidhamma ini berlangsung tanpa ada jeda sekejap pun —dalam artian terus-menerus; tidak berhenti sama sekali. Apabila tiba saatnya untuk merawat tubuh kemanusiaan-Nya, dengan kemampuan batin-Nya yang luar biasa Sang Buddha Gotama membuat 'Sosok Ciptaan' yang menyerupai Beliau untuk ganti mewejangkan Abbidhamma. Baik wajah, cahaya maupun suara 'Sosok Ciptaan' ini sama sekali tidak ada nuansanya dengan yang sesungguhnya. Setelah membuat 'Sosok Ciptaan' ini, Beliau pun kemudian turun ke Bumi untuk ber-pindapâta di Uttarakuru. Pulang dari pindapâta, Beliau bersantap di pinggir Danau Anotatta. Selesai beristirahat di hutan Cendana, Sang Buddha Gotama naik kembali ke Alam Surga Tâvatimsa. Ini berlangsung terus hingga akhir masa Vassa. Sehari setelah habisnya musim hujan, yang berarti selesainya pewejangan Abbidhamma di Alam Surga Tâvatimsa, Beliau dengan diiringi para dewa turun kembali ke Bumi, tepatnya di daerah Sankassa. Peristiwa ini sekarang diperingati oleh umat Buddha sebagai hari Devorohana.

2. KILAHAN:

        Dalam argumentasi di atas dikatakan bahwa Sang Buddha Gotama merenung serta menimbang bahwa Vinaya dan Sutta tidaklah begitu luhur — tak sepadan dengan jasa kebajikan Ibunda Mahâmâyâ. Tidakkah perkataan ini beranti mendaifkan atau merendahkan Vinaya dan Sutta yang merupakan Ajaran-Nya sendiri? Mungkinkah seorang Buddha bersikap demikian?

ARGUMENTASI:

        Sesungguhnya, perkataan tersebut tidaklah berarti Sang Buddha Gotama mendaifkan atau merendahkan Vinaya dan Sutta, melainkan semata-mata mengungkapkan suatu penilaian yang benar-benar didasarkan pada kenyataan yang ada. Dalam menilai segala sesuatu, seorang Buddha senantiasa bersifat objektif —tidak berat sebelah/sepihak— dan sesuai dengan proporsinya masing-masing. Dalam Kitab Ulasan Atthasâlini, Buddhaghosa Thera menjelaskan bahwa kata sifat 'Abhi' secana harfiah berarti melebihi, melampaui, mengungguli. Jadi, Abhidhamma adalah suatu Dhamma yang melebihi, melampaui, mengungguli Vinaya dan Sutta. Memanglah benar bahwa dalam Sutta pun, Sang Buddha Gotama mengajarkan kelompok kehidupan (Khandha 5)[3], landasan indera (Ayatana 12), unsur (Dhâtu 18), kesunyataan (Sacca 4), kemampuan (Indriya 22), ketergantungan asal (Paccayâkâra 12), landasan penyadaran (Satipatthâna 4), upaya benar (Sammappadhâna 4), sarana keberhasilan (Iddhipâda 4), faktor pencerahan (Sambhojjhanga 7), jalan mulia (Ariyamagga 8), pencerapan (Jhâna 4), keadaan nirbatas (Appamaññâ 4), pokok latihan (Sikkhâpada 5), pengetahuan analitis (Patisambhidâ 4), pengetahuan (Nâna 16). Namun, Ajaran-ajaran itu hanya diuraikan sebagian (Ekadesa), tidak keseluruhannya (Nippadesa) sebagaimana yang diuraikan dalam Abhidhamma.

[3] Angka dibelakang istilah Pâli ini menunjukkan jumlah unsur yang dimiliki oleh istilah itu. Misalnya; 'Khandha 5' berarti bahwa Khandha (kelornpok kehidupan) ini terdiri atas lima, yaitu Rûpa-khandha (kelompok rupa), Vedanâ-khandha (kelompok perasaan), Saññâ-khandha (kelompok ingatan), Sankhâra-khandha (kelompok corak-corak batiniah), dan Viññâna-khandha (kelompok kesadaran).

        Pada dasarnya, seluruh Ajaran Sang Buddha Gotama bisa diringkas menjadi tiga latihan, yaitu latihan Kesilaan (Sîla-sikkhâ), latihan Pemusatan (Samâdhi-sikkhâ), dan latihan Kebijaksanaan (Paññâ-sikkhâ). Sîla-Sikkhâ pada umumnya termaktub dalam Vinaya Pitaka, sedangkan Samâdhi-sikkhâ umumnya termaktub dalam Sutta Pitaka. Sementana itu, Paññâ-sikkhâ umumnya termaktub dalam Abhidhamma Pitaka. Dengan kekuatan Sîla dalam kesadaran Jalan (Magga-citta), suatu makhluk mampu melenyapkan noda batin yang kasar, yang terwujud melalui ucapan dan tindakan (Vitikkama-kilesa). Dengan kekuatan Samâdhi dalam kesadaran Jalan (Magga-citta), suatu makhluk mampu melenyapkan noda batin yang sedang, yang terwujud melalui pikiran (Pariyutthâna-kilesa). Dengan kekuatan Paññâ dalam kesadanan Jalan (Magga-citta), suatu makhluk mampu melenyapkan noda batin yang halus, yang tersembunyi di dasar batin (Anusaya-kilesa). Pelenyapan noda batin yang dimaksudkan di sini ialah pelenyapan secara total/mutlak (Samuccheda-pahâna) yang berarti sepanjang sisa hidupnya, noda batin itu tidak akan pernah muncul kembali.

        Dari ulasan di atas, jelaslah terlihat bahwa hanya dengan kekuatan Paññâ —yang Ajarannya umumnya termaktub dalam Abhidhamma Pitaka— sajalah suatu makhluk benar-benar dapat tersucikan. Agaknya tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa di dalam Abhidhamma-lah umat manusia dapat menyaksikan serta membuktikan betapa tinggi tak terbandingkan Kebijaksanaan seorang Sammâsambuddha. Ini secara langsung kiranya juga berarti bahwa Abhidhamma-lah yang paling berhasil dalam menahtakan Agama Buddha jauh di atas segala sistem kefilsafatan dan keagamaan lain mana pun yang pernah muncul di dunia ini! Dengan begitu, bukanlah sekadar suatu cemoohan apabila dikatakan bahwa umat Buddha yang mengetahui Vinaya Pitaka dan Sutta Pitaka thoq —tanpa tahu sedikit pun tentang Abhidhamma Pitaka— sesungguhnya masih berada di 'dasar' Ajaran Sang Buddha Gotama, belum sampai di 'puncak'-nya.

3. KILAHAN:

        Sudah umum dikisahkan bahwa di akhir hampir setiap Sutta yang dibabarkan sendiri oleh Sang Buddha Gotama, banyak di antana pendengarnya yang berhasil meraih kesucian tingkat-tingkat tertentu. Mengacu pada pewejangan Abhidhamma, adakah di antana pendengarnya yang berhasil meraih kesucian?

ARGUMENTASI:

        Ada, dan bahkan pada kesempatan inilah makhluk hidup dalam jumlah yang paling banyak sepanjang misi yang diemban oleh Sang Buddha Gotama berhasil meraih kesucian. Di akhir pewejangan Kitab Dhammasangani, para dewa sejumlah 70.000.000 meraih kesucian tingkat Arahat. Di akhir pewejangan Kitab Vibhanga, para dewa sejumlah 70.000.000 meraih kesucian tingkat Arahat. Di akhir pewejangan Kitab Dhâtukathâ, para dewa sejumlah 60.000.000 meraih kesucian tingkat Arahat. Di akhir pewejangan Kitab Puggala-paññatti, para dewa sejumlah 60.000.000 meraih kesucian tingkat Arahat. Di akhir pewejangan Kitab Kathâvatthu, para dewa sejumlah 70.000.000 meraih kesucian tmgkat Arahat. Di akhir pewejangan Kitab Yâmaka, para dewa sejumlah 70.000.000 meraih kesucian tingkat Arahat. Di akhir pewejangan Kitab Patthâna, para dewa sejumlah 400.000.000 meraih kesucian tingkat Arahat. Jadi, semuanya ada dewa sejumlah 800.000.000 (80 Koti) yang berhasil meraih kesucian tingkat Arahat. Sementara itu, Ibunda Mahâmâyâ meraih kesucian tingkat Sotapanna.

4. KILAHAN:

        Dalam argumentasi di atas disebutkan bahwa Ibunda Mahâmâyâ hanya berhasil meraih kesucian tingkat Sotapanna (terendah). Sementara itu, dikisahkan dalam Sutta Pitaka bahwa kendatipun Sang Buddha Gotama membalas jasa kebajikan Ayahanda Suddhodhana dengan membabarkan Dhamma (bukan Abhidhamma), namun alhasil ia meraih kesucian tingkat Arahat (tertinggi). Dalam kepenadan (relevancy) antara angumentasi di atas dan argumentasi sebelumnya, perlu dipertanyakan: "Kalau Abhidhamma dinyatakan lebih luhur dari Vinaya dan Sutta, mengapa yang menjadi kenyataan justru begitu? Dengan memperbandingkan kenyataan itu, tidakkah sebaliknya dapat dinilai bahwa pembabaran Dhamma jauh lebih sangkil (effective) daripada pewejangan Abhidhamma?"

ARGUMENTASI:

        Sesungguhnya, pembandingan hasil yang diraih oleh pihak pendengar 'tidaklah selamanya' bisa dijadikan tolok ukur untuk menilai kesangkilan antara Dhamma dan Abhidhamma. Peraihan kesucian pada dasarnya tergantung pada Kesempurnaan (Pâramî) yang telah dipupuk masing-masing individu pada masa-masa yang lampau[4].

[4] Untuk peraihan kesucian tingkat Arahat, suatu makhluk haruslah memupuk Kesempurnaan selama tidak kurang dari 100.000 kappa. (Satu kappa = satu masa dunia, kurun waktu suatu dunia mulai terbentuk hingga hancur kembali).

        Kewajiban Sang Buddha Gotama hanyalah membalas jasa kebajikan Ibunda Mahâmâyâ dengan yang paling luhur nilainya. Apakah dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya atau tidak, ini adalah 'urusan' individu masing-masing. Bukanlah wewenang seorang Sammâsambuddha untuk menyucikan atau meng-arahat-kan seseorang, betapa pun dekat dan erat hubungannya. Sang Buddha hanyalah menunjukkan Jalan, dan selanjutnya terserah kepada tiap-tiap makhluk sampai seberapa jauh mampu memapaki Jalan ini.

        Kenyataan semacam itu agaknya juga telah tertampak dengan jelas dalam Sutta Pitaka. Ânanda Thera, misalnya, walau tidak tanggung-tanggung dalam melayani Sang Buddha Gotama selama 20 tahun lebih, dan senantiasa mendengar setiap pembabaran Dhamma langsung dari Beliau sendiri, toh hanya sampai pada kesucian tingkat Sotapanna[5]. Jika ditanyakan mengapa Ibunda Mahâmâyâ hanya berhasil meraih kesucian tingkat Sotapanna, sekarang perlu dipertanyakan balik: Mengapa Ânanda Thera tidak seperti saudara-saudara seperguruannya yang kendati hanya mendengar sebuah syair saja (bukan satu Sutta) sudah mampu meraih kesucian tingkat Arahat? Jawabannya mirip penjelasan di atas bukan?

[5] Beliau baru berhasil meraih kesucian tingkat Arahat tiga bulan setelah Sang Buddha Gotama mencapai Kemangkatan Mutlak.

 

5. KILAHAN:

        Argumentasi di depan mengisahkan bahwa Abhidhamma diwejangkan oleh Sang Buddha Gotama kepada para dewa. Ini secara langsung ataupun taklangsung menyiratkan satu pesan bahwa Abhidhamma sesungguhnya hanya diperuntukkan bagi para dewa, bukan umat manusia. Jadi, sekarang apa perlunya bagi umat manusia untuk ikut campur melestarikan, apalagi mempelajari serta mempraktekkannya?

ARGUMENTASI:

        Sebetulnya, ada beberapa alasan yang membuat Sang Buddha Gotama memutuskan untuk mewejangkan Abbidhamma di Alam Surga Tâvatimsa. Selain untuk dapat membalas jasa kebajikan Ibunda Mahâmâyâ dengan yang paling luhur nilainya, alasan lainnya ialah bahwa sudah menjadi kebiasaan bagi setiap Sammâsambuddha untuk mewejangkan Abbidhamma dengan mendalam dan teninci (Vitthâranaya) hingga selesai dalam satu kali pewejangan saja. Ini berarti bahwa mulai dari Kitab Dhammasangani hingga Kitab Patthâna diwejangkan dengan nonstop, tanpa berhenti sejenak pun[6]. Sudah diprakirakan dengan matang oleh Beliau bahwa pewejangan ini niscaya akan membutuhkan waktu yang tidak kurang dari tiga bulan. Dalam waktu selama ini, tidak ada satu manusia pun yang mampu bertahan duduk terus untuk mendengarkan pewejangan tersebut. Hanya para dewalah yang mampu berdiam dalam satu sikap (Iriyapatha) seperti itu karena waktu di Alam Sunga tidaklah bertepatan dengan waktu di Alam Manusia. Untuk Alam Surga Tâvatimsa, satu hari di sana berbanding dengan 100 tahun waktu di Adam Manusia.

[6] Sutta tidak harus dibabarkan secara nonstop karena berkenaan dengan pribadi tertentu dan dalam situasi serta waktu yang berlainan, sedangkan Abhidhamma adalah wejangan yang bersifat umum dan saling berpautan erat antara satu kitab dengan kitab lainnya.

        Kendatipun pada awalnya diwejangkan untuk para dewa, ini kemudian tidaklah berarti bahwa Abhidhamma sama sekali tidak diperuntukkan bagi umat manusia. Pada dasarnya, Sang Buddha Gotama tidak pernah mendiskriminasikan ajanan-Nya dengan mengatakan bahwa yang ini untuk umat manusia saja, sedangkan yang itu untuk para dewa saja. Mangala Sutta, salah satu misal, walaupun sebenarnya merupakan jawaban atas pertanyaan para dewa, toh kemudian menjadi suatu Ajaran yang dapat dilaksanakan oleh umat manusia dalam kehidupan sehari-hari. Lebih daripada itu, dalam Atthasâlini terulaskan bahwa Sang Buddha Gotama berkenan untuk mengulang kembali pewejangan Abhidhamma kepada Sâriputta Thera yang setiap hari datang ke pinggir Danau Anotatta untuk menjenguk serta melayani-Nya. Pada kesempatan itu, Beliau pun sempat berpesan kepada Sâriputta Thera untuk meneruskannya kepada masyarakat umum demi kesejahteraan dan kebahagiaan mereka. Perlu dicamkan bahwa pengulangan kembali yang disampaikan ini tidaklah sama dengan yang diwejangkan di Alam Surga Tâvatimsa, yang mendalam dan terinci (Vitthâranaya). Pengulangan kembali ini hanya ringkasannya (Sankhepanaya). Namun, selanjut-nya Sâriputta Thera mampu mengajarkan Abhidhamma kepada 500 bhikkhu muridnya (Saddhivihârika)[7] dengan metode "setengah ringkas setengah terinci" (Nâtivitthâra-nâtisankhepanaya). Dan 500 bhikkhu murid Sâriputta Thera ini, Abhidhamma tersebar luas dan menjadi topik yang menarik di antana para bhikkhu lainnya, termasuk Ânanda Thera.

[7] 500 bhikkhu ini pada zaman Buddha Kassapa pernah terlahirkan sebagai kelelawar. Berkat mendengarkan dua orang bhikkhu yang sedang berbincang-bincang tentang Abhidhamma di sebuah gua —walau sebagai kelelawar tak mengerti maknanya—, mereka semua terlahirkan kembali di Alam Surga selama satu masa Buddha.

 

6. KILAHAN:

        Sudah umum diketahui bahwa Ânanda Thera adalah satu-satunya siswa Sang Buddha Gotama yang memperoleh Hak Istimewa untuk mendengarkan kembali setiap pembabaran Dhamma yang tidak dihadirinya. Berkaitan dengan pewejangan Abhidhamma, bukankah merupakan suatu 'kejanggalan' yang men-colok apabila Sang Buddha Gotama mengulang kembali kepada Sâriputta Thera alih-alih Ânanda Thera?

ARGUMENTASI:

        Agaknya kurang begitu arif jika seseorang mengkaji suatu hal hanya secara sepintas. Pengkajian secara saksama akan memperlihatkan bahwa Hak Istimewa itu baru diperoleh tatkala Ânanda Thera resmi ditunjuk sebagai Pelayan Tetap Sang Buddha Gotama (Buddha Upatthâka), kira-kira tiga belas tahun setelah pewejangan Abhidhamma di Alam Surga Tâvatimsa. Pada waktu itu, sebagaimana yang telah dikemukakan di depan, Ânanda Thera sudah menghafal Abhidhamma dan 500 bhikkhu murid Sâriputta Thera — atau mungkin juga dari Sâriputta Thera sendiri. Karena Ânanda Thera sudah menghafalnya sejak semula, agaknya tidak perlu lagi (kalau tak boleh dikatakan 'mubazir') bagi Sang Buddha Gotama untuk mengulangi kembali pewejangan Abhidhamma di Alam Surga Tâvatimsa —yang sudah berlalu 13 tahun— kepadanya. Ini bukan berarti bahwa Sang Buddha Gotama tidak menetapi kesanggupan-Nya atas Hak Istimewa tersebut. Hak Istimewa tersebut baru berlaku terhadap pembabaran Dhamma yang tak dihadirinya semenjak menjadi Pelayan Tetap Sang Buddha Gotama.

        Sebelum penunjukkan Pelayan Tetap ini, Sang Buddha Gotama memperoleh perlayanan secara silih bergantian dari para siswa-Nya. Khusus pada saat pewejangan Abhidhamma, yang bertugas ialah Sâriputta Thera. Karena itu, sesungguhnya merupakan suatu hal yang sangat wajar (sama sekali tidak janggal) apabila Sang Buddha Gotama mengulang-kembali kepadanya. Lagipula, Sâriputta Thera adalah Siswa Utama (Aggasâvaka), yang paling unggul dalam segi Kebijaksanaan (Paññâ) serta sangat mahir dalam Pengetahuan Analitis (Patisambhidâ) —suatu faktor yang amat penting bagi pemahaman Abhidhamma. Buddhaghosa Thera mengulaskan bahwa pengulangan-kembali pewejangan Abhidhamma secara ringkas (Sankhepanaya) kepada Sâriputta Thera dapatlah diibaratkan seperti penunjukkan samudra maha-luas kepada seseorang yang telah berada di pinggir pantai. Dengan begitu, Sâriputta Thera selanjutnya mampu mengajarkan Abhidhamma yang dipahaminya dengan jelas itu kepada 500 bhikkhu muridnya dengan "setengah-ringkas setengah-terinci" (Nâtivitthâra-nâtisankhepanaya). Inilah barangkali yang merupakan alasan bagi Sang Buddha Gotama untuk mengulang-kembali pewejangan Abhidhamma kepada Sâriputta Thera.

7. KILAHAN:

        Dinyatakan di depan bahwa dari 500 bhikkhu murid Sâriputta Thera, Abhidhamma selanjutnya menyebar-luas dan menjadi topik pembahasan yang menarik bagi para bhikkhu lainnya. Ini berarti bahwa Abhidhamma sudah ada sejak masa kehidupan Sang Buddha Gotama. Adakah bagian-bagian dari Sutta Pitaka dan Vinaya Pitaka yang menjaminnya sebagai suatu kenyataan yang sesungguhnya?

ARGUMENTASI:

        Terlalu banyak bukti dalam Sutta Pitaka dan Vinaya Pitaka yang dapat diacu untuk memperlihatkan bahwa Abhidhamma memang benar-benar sudah ada sejak masa kehidupan Sang Buddha Gotama — sehingga tak mungkin dapat dihadirkan di sini semuanya. Hanya sebagian yang akan dikutipkan sebagai berikut:

        Dalam Vinaya Pitaka, Mahâvibhanga, Dabbamalaputta Thera-vatthu tertulis:

...YE TE BHIKKHÛ ABHIDHAMMIKÂ TESAM EKAJJHAM SENÂSANAM PAÑÑÂPETI TE AÑÑAMAÑÑAM ABHIDHAMMAM SÂKACCHISANTÎTI...

...Para bhikkhu yang ahli Abhidhamma tergabungkan dalam satu kelompok (Dabbamallaputa Thera)[8] mengatur tempat duduk untuk mereka dengan berpikir supaya mereka ini dapat saling mengadakan perbincangan tentang Abhidhamma...[9]

[8] Beliau adalah Siswa Mulia yang paling unggul dalam hal mengatur tempat bagi para bhikkhu.
[9] Hal yang sama juga diperlakukan olek Dabbamallaputta Thera terhadap para bhikkhu yang ahli Vinaya (Vinayadhara), dan terhadap yang ahli Sutta (Suttantika).

        Dalam Vinaya Pitaka, Bhikkhuni Vibhanga termaktublah satu peraturan kedisiplinan:

…PAÑHAM PUCCHEYYÂTI SUTTANTE OKÂSAM KÂRÂPETVÂ VINAYAM VÂ ABHIDHAMMAM VÂ PUCCHATI ÂPATTI PÂCITTIYASSA, VINAYE OKÂSAM KÂRÂPETVA SUTTANTAM VÂ ABHIDHAMMAM VÂ PUCCHATI ÂPATTI PÂCITTIYASSA, ABHIDHAMME OKÂSAM KÂRÂPETVA SUTTANTAM VÂ VINAYAM VÂ PUCCHATI ÂPATTI PÂCITTIYASSA...

        Seorang bhikkhuni yang mengajukan suatu pertanyaan kepada bhikkhu haruslah sesuai dengan kesempatan yang dimohonkan. Apabila memohon kesempatan untuk mengajukan pertanyaan tentang Sutta tetapi kemudian berbalik mempertanyakan Vinaya atau Abhidhamma; bhikkhuni tersebut melanggar Pâcittiya[10]. Apabila memohon kesempatan untuk mengajukan pertanyaan tentang Vinaya tetapi kemudian berbalik mempertanyakan Sutta atau Abhidhamma; bhikkhuni tersebut melanggar Pâcittiya. Apabila memohon kesempatan untuk mengajukan pertanyaan tentang Abhidhamma tetapi kemudian berbalik mempertanyakan Sutta atau Vinaya; bhikkhuni tersebut melangar Pâcittiya...

[10] Suatu jenis pelanggaran yang tergolong sedang —tidak berat tetapi juga tidak ringan.

        Sementana itu, dalam Sutta Pitaka, Anguttara Nikâya terkisahkanlah:

…TENA KHO PANA SAMAYENA SAMBAHULA THERÂ BHIKKHÛ PACCHÂBHATTAM PINTAPÂTAPATIKKANTA MAÕÖALAMÂLE SANNISINNA SANNIPATITA ABHIDHAMMAM KATHENTI...

...Pada masa itu, para bhikkhu Thera (Sesepuh), setelah kembali dari berpindapâta dan bersantap, berkumpul bersama untuk membahas Abhidhamma.

        Dalam Sutta Pitaka, Khuddaka Nikâya, Theri-apadâna dapatlah dijumpai suatu pernyataan pribadi (Bhikkhuni) Khema Theri —yang merupakan Siswi Utama (Aggasâvikâ)— dalam bentuk syair:

KUSALÂHAM VISUDDHÎSU KATHÂVATTHUVISÂRADÂ

ABHIDHAMMANAYAÑÛÑCA VASI PATTÂMHI SÂSANE

        Dalam Agama (Sâsana/Ajaran) ini, Saya (Khema Theri) ahli dalam Tujuh Kesucian Mutlak (Visuddhi) dan juga mahir dalam Kitab Kathâvatthu serta memahami hakikat Abhidhamma dengan jelas.

        Dalam Sutta Pitaka, Majjhima Nikâya, Mûlapaóóâsaka terdapat suatu persanjungan yang disampaikan oleh Moggallana Thera (Aggasâvaka) bahwa Hutan Gosingasâla niscaya akan indah semarak apabila dua orang bhikkhu saling berbincang-bincang tentang Abhidhamma. Persanjungan ini disepakati oleh Sang Buddha Gotama. Sambil menyampaikan rasa simpati, Beliau memuji Moggallana Thera sebagai seorang Pembabar Dhamma yang sejati (Dhammakathika).

        Kutipan-kutipan dalam Vinaya Pitaka dan Sutta Pitaka itu kiranya sudah terlalu cukup untuk membuktikan bahwa Abhidhamma memang sudah ada sejak masa kehidupan Sang Buddha Gotama.

8. KILAHAN:

        Dalam beberapa Sutta memang dapat dijumpai istilah 'Abhidhamma' yang bersandingkan istilah 'Abhivinaya'. Salah satu contohnya ialah dalam Kitti Sutta, Uparipannâsaka, Majjhima Nikâya. Namun, istilah 'Abhidhamma' di sini tidaklah merujuk pada Abhidhamma Pitaka. Pengulas (Atthakathâcâriya) menjelaskan bahwa yang dimaksudkan ialah 37 Dhamma Penunjang Pencerahan (Bodhipakkhiyadhamma) yang terdini atas: Landasan Penyadaran (Satipatthâna 4), Upaya Benar (Sammappadhâna 4), Sarana Keberhasilan (Iddhipâda 4), Kemampuan (Indriya 5), Kekuatan (Bala 5), Faktor Pencerahan (Bhojjhanga 7), Jalan Mulia (Ariya Magga 8). Dengan begitu, istilah 'Abhidhamma' dalam Sutta tidak lain adalah Ajaran-ajaran yang terdapat dalam Sutta Pitaka itu sendiri — tidak bersangkut-paut dengan Abhidhamma Pitaka sama sekali!

ARGUMENTASI:

        Tak perlu disangkal bahwa istilah 'Abhidhamma' yang terdapat dalam Kitti Sutta dijelaskan oleh Pengulas-nya sebagai Bodhipakkhiyadhamma. Namun, haruslah disadari lebih lanjut bahwa penjelasan itu diberikan dengan berdasarkan pada ancangan pelaksanaan (practical approach). Seluruh Ajaran yang terdapat dalam Abhidhamma Pitaka pun, jika ditinjau dengan berdasarkan pada ancangan pelaksanaan, tidak akan terlepas dari Bodhipakkhiyadhamma. Bahkan, justru dalam Abhidhamma Pitaka inilah, Bodhipakkhiyadhamma dikupas dengan sangat luas dan mendalam —melebihi kupasan yang terdapat dalam Sutta Pitaka.

        Akan tetapi, perlu diketahui selanjutnya bahwa dalam menjelaskan suatu istilah, para Pengulas tidaklah selalu berdasarkan pada ancangan pelaksanaan. Pada beberapa bagian, beliau menggunakan ancangan yang berbeda. Dalam Manoratthaparanî dan Papañcasûdanî bagian kedua, misalnya, beliau mengakui kesahihan dan keabsahan Abhidhamma Pitaka. Jadi, satu bagian Kitab Ulasan saja belumlah cukup untuk dijadikan alasan dalam menolak Abhidhamma Pitaka sebagai Sabda Murni Sang Budha Gotama.

9. KILAHAN:

        Dalam Mahâparinibbâna Sutta, Dîgha Nikâya, Sutta Pitaka dapatlah ditemui satu pesan Sang Budha Gotama bahwa apabila ada orang yang memperdebatkan suatu ajaran apakah termasuk Sabda Murni Beliau atau tidak, hendaknya ajaran itu dicocokkan dengan Sutta dan Vinaya (Mahâpadesa 4). Dalam Sutta Pitaka, Jhâna (Pencerapan) dibagi menjadi delapan. Tetapi, dalam Abhidhamma Pitaka, Jhâna dipilah menjadi lima. Karena tidak cocok dengan Sutta Pitaka, tentunya dapat diputuskan bahwa Abhidhamma bukanlah Sabda Murni Sang Buddha Gotama!

ARGUMENTASI:

        Apabila ditilik hanya dari jumlah angkanya, memang seolah-olah pembagian Jhâna menurut Sutta tidaklah sama dengan pemilahan Jhâna menurut Abhidhamma. Akan tetapi, jika ditelaah dengan seksama akan terbuktilah bahwa keduanya tidak mengandung perbedaan prinsipial. Dalam Sutta Pitaka ada delapan Jhâna karena dihitung berdasarkan faktor Jhâna, yaitu empat rangkaian[11] faktor Jhâna dalam Pencerapan Berbentuk (Rûpa-Jhâna), dan berdasarkan pada objek yang nirbentuk dalam Arûpa Jhâna —yang terdiri atas: Âkâsânañcâyatana (angkasa yang nirbatas), Viññanañcâyatana (kesadaran yang nirhingga), Akiñcaññâyatana (kehampaan yang melompong), dan Nevasaññâ nâsaññâyatana (bukan ingatan tetapi bukan pula tanpa ingatan). Sementara itu, dalam Abhidhamma Pitaka ada lima Jhâna karena seluruhnya dihitung berdasarkan pada faktor Jhâna, yaitu lima rangkaian faktor Jhâna dalam Rûpa Jhâna beserta satu rangkaian faktor Jhâna dalam Arûpa Jhâna. Jelasnya, empat objek nirbentuk itu terangkum menjadi satu. Alasannya ialah bahwa empat objek nirbentuk itu sesungguhnya mempunyai faktor Jhâna yang persis, yaitu Upekkhâ (keseimbangan), dan Ekaggatâ (panunggalan). Jadi, hanya ada nuansa dalam cara menghitungnya, tetapi dalam kenyataannya sesungguhnya sama saja. Dari sini dapatlah dinyatakan bahwa apabila seseorang sungguh-sungguh memahami Abhidhamma dan Sutta secara benar dan mendalam, ia niscaya menatap suatu kenyataan bahwa tidak di bagian mana pun ada Ajaran dalam Abhidhamma Pitaka yang bertentangan dengan ajaran dalam Sutta Pitaka. Sebabnya tidak lain ialah bahwa kedua-duanya memang merupakan Sabda Murni Sang Buddha Gotama.

[11] Empat rangkaian faktor Jhâna ini ialah 1). Pengarahan (Vittakka), Pemantapan (Vicâra), Kegiuran (Pîti), Kebahagiaan (Sukha), Panunggalan (Ekaggatâ); 2). Pîti, Sukha, Ekaggatâ; 3). Sukha, Ekaggatâ; 4). Keseimbangan (Upekkhâ), Ekaggattâ. Ini berlaku bagi mereka yang memiliki kebijaksanaan sangat tinggi (Tikkhapuggala) —yang mampu menanggalkan Vitakka dan Vicâra secara berbarengan/bersamaan. Namun, bagi mereka yang memiliki kebijaksanaan tidak begitu tinggi (Mandapuggala), Vitakka dan Vicâra ditanggalkan secara berurutan sehingga ada lima rangkaian faktor Jhâna.

 

10. KILAHAN:

        Untuk memberikan penjelasan tentang hal itu, perlu kiranya dimengerti terlebih dahulu apakah sesungguhnya makna Pencerahan Agung. Menunut pengertian Abhidhamma, Pencerahan Agung adalah penembusan Dhamma yang seharusnya dipahami (Ñeyyadhamma). Ñeyyadhamma ini secara teoretis terjabarkan menjadi lima bagian, yakni:

1. Saõkhâra: kesadaran (Citta 89 atau 121), corak batiniah (Cetasika 52) dan rupa sejati (Nipphana-rûpa 18)
2. Vikâra: rupa yang berubah (Vikâra-rûpa 5)
3. Lakkhana: rupa yang bersifat (Lakkhana-rûpa 4)
4. Nibbâna: Pembebasan Sejati (dari Lima Kelompok Kehidupan)
5. Paññatti ketetapan suara (Sadda-paññatti) dan ketetapan makna (Attha-paññatti).

        Secara sekilas, lima Ñeyyadhamma di atas tidak ada sangkut-pautnya dengan Empat Kebenaran Mulia (Ariya Sacca 4) sebagaimana yang terdapat dalam Sutta Pitaka. Akan tetapi, jika ditelaah dengan saksama, tertampaklah bahwa Kebenaran Mulia Pertama tentang Penderitaan (Dukkha-sacca) yang dipahami (pariññeyya) oleh Sang Buddha Gotama tidak lain ialah kesadaran duniawi (Lokiya-citta 81) —yang terdiri atas: kesadaran buruk (Akusala-citta 12), kesadaran nirsebab (Ahetuka-citta 18), kesadaran baik yang berkelana dalam alam indera (Kâmâvacarasobhana-citta 24), kesadaran meluhur (Mahâggata-citta 27)—, corak batiniah (cetasika 51) —semuanya kecuali corak batin kelobaan (Lobha-cetasika)—, dan rupa (Rûpa 28). Kebenaran Mulia kedua tentang Sebab Penderitaan (Dukkha-samudaya) yang dilenyapkan (pâhatabba) oleh Sang Buddha Gotama tidak lain ialah corak batiniah kelobaan (Lobha-cetasika). Kesunyataan Mulia Ketiga tentang Lenyapnya Penderitaan (Dukkhanirodha) yang diraih (sacchikatabba) oleh Sang Buddha Gotama tidak lain ialah Pembebasan Sejati (Nibbâna). Kesunyataan Mulia tentang Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan (Dukkhanirodhagâminipatipadâ) yang telah dikembangkan (bhâvetabba) oleh Sang Buddha Gotama tidak lain ialah corak batiniah faktor jalan (Magganga-cetasika 8) – yang terdiri atas: corak batiniah Kebijaksanaan (Paññâ cetasika), corak batiniah Pengarahan (Vitaka-cetasika), corak batiniah Ucapan Benar (Sammâvâcâ-cetasika), corak batiniah Tindakan Benar (Sammâkammanta-cetasika), corak batiniah Matapencahanian Benar (Sammââjîva-cetasika), corak batin Upaya Benar (Viriya-cetasika), corak batiniah Penyadaran (Sati-cetasika), dan corak batiniah Panunggalan (Ekaggatâ-cetasika) —yang berpadu dengan kesadaran Jalan (Magga-citta 4). Dengan demikian, jelas terbuktilah betapa erat hubungan antara Abhidhamma dengan Pencerahan Agung yang diraih oleh Sang Buddha Gotama.

11. KILAHAN:

        Sudah merupakan kenyataan yang tertampak dengan jelas bahwa ajaran-ajaran yang termaktub dalam Vinaya Pitaka serta yang terkandung dalam Sutta Pitaka dapat dipraktekkan oleh setiap umat Buddha dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana pula halnya dengan ajaran yang terdapat dalam Abhidhamma Pitaka?

ARGUMENTASI:

        Agaknya, banyak orang yang memandang Abhidhamma dengan menggunakan kaca mata yang kurang tepat. Dalam pandangan mereka, Abhidhamma dianggap sebagai suatu teori atau rumusan kaku tentang pokok-pokok Dhamma atau semacam filsafat yang kering. Sesungguhnya, apabila seseorang memandang Abhidhamma dengan tepat, akan tertampaklah bahwa semua ajarannya dapat dimanfaat sebagai "petunjuk-praktis" dalam menempuh kehidupan sehari-hari, khususnya dalam hal pelaksanaan pengembangan Pandangan Terang (Vipassanâ-bhâvanâ). Abhidhamma Pitaka berisikan suatu ajaran tentang Hakikat Mutlak (Paramattha-dhamma). Intisari Paramattha-dhamma ini tidak lain ialah kesadaran (Citta 89/121), corak batiniah (Cetasika 52), rupa (Rûpa 28), dan Pembebasan Sejati (Nibbâna). Seluruh objek meditasi Vipassanâ —yaitu badan jasmaniah (kâya), perasaan (Vedanâ), kesadaran (Citta), dan fenomena batiniah (dhamma) —sebagaimana yang dibabarkan dalam Mahâsatipatthâna Sutta, tidaklah terlepas dari intisari Empat Hakikat Mutlak tersebut.

        Dalam babakan-babakan di Mahâsatipatthâna Sutta, terlihatlah betapa erat tak terpisahkan kaitan di antaranya. Dalam babakan kelompok kehidupan (Khandha-pabba), misalnya, yang dimaksud dengan kelompok rûpa (Rûpa-khandha) ialah rûpa 28; kelompok perasaan (Vedanâ-khandha) ialah corak batiniah perasaan (Vedanâ-cetasika); kelompok ingatan (Saññâ-khandha) ialah corak batiniah ingatan (Saññâ-cetasika); kelompok corak-corak batiniah (Sankhâra-khandha) ialah corak batiniah (Cetasika 50); dan kelompok kesadaran (Viññâna-khandha) ialah kesadaran (Citta 89/121); sedangkan Pembebasan Sejati (Nibbâna) ialah sesuatu yang terlepas dari lima kelompok kehidupan (Khanda-vimutti). Dalam babakan landasan indera (Âyatana-pabba), Citta 89/121 termasuk landasan indera kesadaran (Manâyatana); Cetasika 52, dan Nibbâna termasuk landasan indera Dhamma (Dhammâyatana); sedangkan Rûpa 28 termasuk landasan indera (Âyatana 11). Dalam babakan unsur (Dhâtu-pabba), Citta 89/121 termasuk unsur kesadaran (Viññâna dhâtu 7), Cetasika 52, dan Nibbâna termasuk unsur Dhamma (Dhamma dhâtu); sedangkan Rûpa 28 termasuk unsur (Dhâtu 11). Dari sini terlihatlah dengan jelas bahwa pengertian tentang Abhidhamma adalah prasyarat utama bagi pelaksanaan meditasi Vipassanâ. Tanpa pengertian tentang Abhidhamma, banyak orang yang salah mempraktekkan meditasi Vipassanâ. Apalagi jika ajaran tentang pelaksanaan meditasi Vipassanâ yang terdapat dalam Sutta-sutta hanya dibaca 'secara dangkal' dan 'secara harfiah' belaka. Salah satu misal, penyadaran terhadap gerak-gerik badan jasmaniah —dalam artian kalau sedang berjalan, menyadari bahwa "Aku sedang berjalan"; kalau sedang berdiri, menyadari bahwa "Aku sedang berdiri"; kalau sedang duduk, menyadari bahwa "Aku sedang duduk"; kalau sedang berbaring, menyadari bahwa "Aku sedang berbaring" dan sebagainya— sudah ditafsirkan oleh mereka sebagai pelaksanaan meditasi Vipassanâ, yaitu penyadaran terhadap badan jasmaniah (Kâyânupassanâ Satipatthâna). Di sini, mereka agaknya telah mengabaikkan satu hal yang penting bahwa objek meditasi Vipassanâ —entah penyadaran jeli terhadap badan jasmaniah (Kâyânupassanâ), terhadap perasaan (Vedanânupassanâ), terhadap kesadaran (Cittânupassanâ) maupun terhadap fenomena batiniah (Dhammânupassanâ)— haruslah berupa Hakikat Mutlak (Paramattha). Ketetapan umum (Paññatti) tidak bisa dijadikan objek meditasi Vipassanâ. Berdasarkan ketetapan umum, memang diakui adanya suatu 'makhluk' 'orang', 'diri'; 'aku'. Karena itu, mungkin ada "Aku yang sedang berjalan, berdiri, duduk, berbaring dan sebagainya" Akan tetapi, jika ditinjau berdasarkan Hakikat Mutlak, sesungguhnya tidak ada sesuatu yang disebut 'makhluk', 'orang', 'diri', 'aku'. Karena itu, tidak ada pula "Aku yang sedang berjalan, berdiri, duduk, berbaring dan sebagainya". Berdasarkan Paramattha, yang ada hanyalah rûpa (Rûpa 18). Dalam Rûpa 18 ini tidak terdapat 'suatu rûpa' yang berjalan, berdiri, duduk, berbaring. Yang bisa melakukan aktivitas semacani ini hanyalah anggota-anggota badan jasmaniah yang dimengerti berdasarkan Ketetapan Umum, bukan Rûpa 18. Seseorang yang masih terpacak pada ketetapan umum (Paññatti) — yang masih memiliki pandangan tentang 'makhluk', 'orang', 'diri'; 'aku' (Sakkaya-ditthi)— tidaklah mungkin dapat menembus Kebenaran Mutlak. Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa sebelum mulai melaksanakan meditasi Vipassanâ —puncak seluruh pelaksanaan dalam Agama Buddha—, haruslah dimiliki pengertian dasar tentang apa dan mana yang termasuk Paññatti, serta apa dan mana yang termasuk Paramattha, serta dapat membedakan di antara keduanya. Pengertian ini pada dasarnya hanya bisa diperoleh dengan mempelajari ajaran yang terdapat dalam Abhidhamma Pitaka.[12]

[12] Keterangan lebih lanjut tentang pelaksanaan Abhidhamma dalam kehidupan sehari-hari dapat disimak pada buku "Abidkamma in Daily Life" karya Nina Van Gorkom.

 

12. KILAHAN:

        Dalam Argumentasi di depan dinyatakan bahwa pengertian tentang Abhidhamma merupakan prasyanat utama bagi pelaksanaan pengembangan Pandangan Terang (Vipassanâ-bhâvanâ) hingga berhasil meraih kesucian dan Pembebasan Sejati. Apakah pernyataan semacam mi tidak bertentangan langsung dengan riwayat hidup beberapa Siswa Mulia pada masa kehidupan Sang Buddha Gotama? Bukanlah Cûlapanthaka —yang bahkan tidak sanggup menghafal satu bait syair pun selama empat bulan— meraih kesucian tingkat Arahat hanya dengan merenungkan sifat ketak-langgengan dan sehelai saputangan bersih yang digenggamnya di bawah terik matahari? Bukankah Upatissa —yang kemudian terkenal sebagai Sâriputta Thera— merealisasi Pembebasan Sejati (Nibbâna) hanya dengan mendengar separoh bait syair yang berkenaan dengan Sebab dan Akibat? Bukankah Patâcârâ yang berduka-cita karena kehilangan keluarga yang dikasihinya— menembus kebenaran hanya dengan mengamati lenyapnya air yang membasuh kakinya?

ARGUMENTASI:

        Agaknya merupakan satu kecenderungan banyak orang untuk mengamati suatu kejadian hanya secara sangat sepintas. Dengan bersikap demikian, mereka tentunya tidak mungkin dapat memahami hal tersebut dengan benar dan sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Para Siswa Mulia sebagaimana yang disebut-sebut di atas itu sebenannya adalah makhluk-makhluk yang tergolong sebagai Ugghatitaññû yang mempunyai kemampuan untuk meraih kesucian dan pembebasan Sejati dalam waktu yang relatif sangat singkat —setelah mendengar sabda-ringkas seorang Sammasambuddha. Makhluk-makhluk yang tergolong sebagai Ugghatitaññû ini dapat diibaratkan sebagai bunga teratai yang telah berada di atas permukaan air sehingga begitu terkena sinar matahari langsung mekar pada hari itu juga. Berkat timbunan Pâramî (Kesempurnaan) yang telah dikumpulkan dalam kehidupan yang lampau, dalam mempelajari serta menerapkan ajaran yang terangkum dalam tiga bagian: Vinaya, Sutta maupun Abhidhamma, mereka pada dasarnya mempunyai kebijaksanaan yang tinggi. Dengan modal inilah mereka dapat meraih kesucian dan Pembebasan Sejati walaupun —pada saat-saat peraihan— tidak mendengar ajaran Abhidhamma pun. Berkenaan dengan Cûlapanthaka, memanglah benar bahwa dalam kehidupan tersebut bolehlah dinilai sebagai orang yang 'dungu' —dalam artian tidak sanggup menghafal satu bait syair pun selama empat bulan. Akan tetapi, perlulah disadari bahwa pada zaman Buddha Kassapa, beliau sebenarnya telah mempunyai kebijaksanaan yang tinggi serta sangat mahir dalam Tipitaka: Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka, maupun Abhidhamma Pitaka. 'Kedunguan' itu adalah akibat perbuatan jahat (akusala-vipâka) yang harus ditanggungnya karena dalam kehidupan ini beliau pernah mencemooh serta menertawakan bhikkhu temannya yang sangat lamban dalam pelajaran. Beracukan kenyataan ini, sangatlah tidak berdasar dan gegabah apabila seseorang berujar bahwa Abhidhamma 'tidaklah mutlak' perlu bagi perailian kesucian dan Pembebasan Sejati, apalagi jika dirinya bukan tergolong sebagai Ugghatitaññû.

        Pada dewasa ini, makhluk-makhluk yang tergolong sebagai Ugghatitaññû agaknya boleh diprakirakan sudah tidak muncul lagi. Mereka kebanyakannya terlahirkan pada masa kehidupan seorang Sammâsambuddha. Demikian pula dengan makhluk-makhluk yang tergolong sebagai Vipaccitaññû yang mempunyai kemampuan untuk meraih kesucian dan Pembebasan Sejati setelah mendengarkan sabda seorang Sammâsambuddha yang diuraikan serta dijabarkan secara terinci —ibarat bunga teratai yang mengambang di permukaan air yang akan mekar pada keesokan harinya—, kitanya sudah sangat muskil untuk dapat ditemui pada masa sekarang ini. Pada dewasa ini, hanya makhluk-makhluk yang tergolong sebagai Neyya dan Padaparama saja yang mungkin masih ada. Neyya adalah mereka yang mempunyai kemampuan untuk meraih kesucian dan Pembebasan Sejati setelah mendengarkan sabda seorang Sammâsambuddha yang diuraikan serta dijabarkan secara sangat terinci, dan memiliki ketekunan serta keuletan yang luar biasa dalam menerapkannya. Neyya ini diibaratkan seperti bunga teratai yang masih berada di dalam air, yang mungkin akan mekar pada hari lusa. Sementana itu, Padaparama —ibarat bunga teratai yang masih berada di dasar air, yang tak sempat mekar karena dimakan kura-kura dan ikan— adalah mereka yang kendatipun telah mendengar sabda yang panjang lebar dan telah berusaha 'mati-matian', tidak mungkin dapat meraih kesucian dan Pembebasan Sejati dalam kehidupan yang sekarang ini. Bagi dua golongan makhluk ini, khususnya Padaparama, jelas perlu banyak mempelajari serta menerapkan seluruh ajaran Sang Buddha, baik yang terangkum dalam Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka, maupun Abhidhamma Pitaka. Hanya dengan menghafal 'satu bait syair', atau hanya dengan merapal jampi "Namo..., Namo..., Namo" dan "Buddho, Buddho, Buddho", atau hanya dengan duduk 'mematung', atau hanya dengan menghitung 'keluar-masuknya napas', atau hanya dengan berjalan 'mondar-mandir'; janganlah berkhayal dapat berhasil meraih kesucian dan Pembebasan Sejati. Sangatlah memalukan dan bahkan boleh dianggap 'takabur' serta 'tak tahu diri' apabila dewasa ini ada sementana orang yang ingin 'menyebandingkan diri' dengan para Siswa Mulia seperti Cûlapanthaka, Sâriputta, dan lain-lain dengan berharap untuk berhasil meraih kesucian dan Pembebasan Sejati tanpa mengacuhkan Abhidhamma pada kehidupan sekarang.

13. KILAHAN:

        Dalam Mahâparinibbâna Sutta, Sang Buddha Gotama meninggalkan pesan terakhir kepada Ânanda Thera bahwa Dhamma dan Vinaya yang telah sempurna dibabarkan-Nya itulah yang kelak menjadi Guru seluruh umat Buddha apabila Beliau sudah tiada lagi (YO VO ÂNANDA, DHAMMO CA VINAYO CA DESITO PAÑÑATTO SO VO MAMACCAYENA SATTHÂ). Terlihat dengan jelas bahwa dalam kutipan di atas hanya disebut 'Dhamma' dan 'Vinaya', sama sekali tidak ada ungkapan 'Abhidhamma'. Bagaimana mungkin Abhidhamma sekarang diakui sebagai Sabda Murni Sang Buddha Gotama?

ARGUMENTASI:

        Memanglah benar bahwa di dalam kutipan di atas tidak terdapat ungkapan-langsung 'Abhidhamma'. Namun, perlu juga disadari bahwa ungkapan 'Sutta' pun tidak termaktub di sana. Yang ada hanyalah ungkapan 'Dhamma' dan 'Vinaya'. Karena itu, kilahan yang mengeksploitasikan kutipan tersebut sangatlah menggelikan. Betapa tidak! Mengeluarkan Abhidhamma dari ungkapan 'Dhamma' secara langsung maupun tak langsung berarti juga mencampakkan 'Sutta' itu sendiri. Sebaliknya, kalau 'Sutta' bisa dianggap sebagai Dhamma, mengapa 'Abhidhamma' yang secara kebahasaan dan kemaknaan jelas mengandung kata dasar 'Dhamma' (dengan tambahan kata sifat 'Abhi') justru tidak boleh dianggap pula sebagai Dhamma? Sesungguhnya, ungkapan 'Dhamma' itu juga mencakup Abhidhamma karena pada dasarnya Abhidhamma tidak lain adalah Dhamma itu sendiri —tetapi yang lebih luhur, lebih tinggi, lebih unggul, lebih istimewa, lebih khusus, lebih mendalani, lebih terinci. Ini bukan hanya sekadar penjelasan yang diberikan oleh para Pengulas[13], Upâli Thera[14] yang banyak berandil dalam Muktamar Pertama (Pathama Sangâyanâ) pun mengungkapkan:

[13] Lihat Kitab Ulasan Samantapâsâdika, Atthasâlini, Paramatthadîpanî, Manovatthaparani, Papañcasûdani bagian kedua.
[14] Dalam Muktamar Partama beliau bertugas menjawab pertanyaan Mahâkassapa Thera tentang hal-hal yang berhubungan dengan Vinaya.

SUTTANTAM ABHIDHAMMAÑCA VINAYAÑCAPI KEVALAM

NAVAÒGAM BUDDHAVACANAM ESÂ DHAMMASABHÂ TA VA[15]

Baik Sutta, Abhidhamma maupun Vinaya yang terangkum sebagai Ajaran Murni Sang Buddha dengan sembilan faktornya, semuanya adalah Dhamma-sabhâ (Himpunan Dhamma).

[15] Sutta Pitaka, Khuddaka Nikâya, Theravatthu, Apadâna Upâli.

        Selanjutnya, dalam Pathama-sangîti, Cullavagga, Vinaya Pitaka, terabsahkanlah hasil Muktamar Pertama yang dihadiri oleh 500 bhikkhu Arahat pimpinan Mahâkassapa Thera: PITAKAM TÎNI SADGÎTIM, AKAMSU JINASÂVAKA yang artinya, "Para siswa Sang Penakluk (Sang Buddha Gotama) telah selesai menyusun Tipitaka (Tiga Himpunan Kitab Suci Agama Buddha)".

14. KILAHAN:

        Dinyatakan sendiri oleh Sang Buddha Gotama bahwa Ânanda Thera adalah Bendahara Dhamma (Dhamma-bhandagârikâ). Sebagai Bendahara Dhamma, beliau tentunya mengetahui dengan tepat ada berapa banyak Ajaran yang merupakan Sabda Murni Sang Buddha Gotama. Jika Abhidhamma Pitaka diakui sebagai Sabda Murni Sang Buddha Gotama, perlu dipertanyakan adakah bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Ânanda Thera memberikan jaminan atas hal ini?

ARGUMENTASI:

        Dalam Theragâthâ, Khuddaka Nikâya, Sutta Pitaka terdapatlah pernyataan Ânanda Thera dalam bentuk syair:

DVASÎTI BUDDHATO GANHAM DYE SAHASSÂNI BHIKKHUTO

CATURÂSITISAHASSÂNI YE ME DHAMMA PAVATINNO

Dari semua Dhamma yang Saya hafalkan, 82.000 Dhammakhandha Saya pelajari langsung dari Sang Buddha sendiri; sedangkan 2.000 Dhammakhandha dari para bhikkhu, sehinga seluruhnya berjumlah 84.000 Dhammakhandha.

        Secara harfiah, Dhammakhandha berarti pokok Dhamma. Berdasarkan penghitungan yang dilakukan, dalam Vinaya Pitaka terdapat 21.000 Dhammakhandha. Penghitungan Dhammakhandha dalam Vinaya Pitaka didasarkan pada materi induk topik (Vatthu-mâtikâ), kesalahan (Âpatti), ketaksalahan (Anâpatti), dan lain-lain. Ini berarti bahwa satu Vatthu-mâtikâ atau satu Âpatti atau satu Anâpatti masing-masing terhitung satu Dhammakhandha. Dalam Sutta Pitaka juga terdapat 21.000 Dhammakhandha. Penghitungan Dhammakhandha dalam Sutta Pitaka didasarkan pada hubungan (Anusandhi) yang mungkin berupa satu sutta, satu gâtha (syair), satu pertanyaan (pañhâ), atau satu jawaban (visajjana). Sementara itu, dalam Abhidhamma Pitaka terdapat dua kali lipat dari kitab lainnya, yaitu 42.000 Dhammakhandha. Penghitungan Dhamma-khandha dalam Abhidhanima Pitaka didasarkan pada pemilahan dalam kelompok tiga (Tîka), kelompok dua (Dukâ) dan pemilahan corak kesadaran (Vâra-citta). Dari penelaahan ini terbuktikan secara nyata bahwa Abhidhamma Pitaka adalah bagian yang tak terpisahkan dari seluruh Ajaran Sang Buddha Gotama. Kalau dikilahkan bahwa Abhidhamma Pitaka bukan Sabda Murni Sang Buddha Gotama, perlu dipertanyakan dari manakah 42.000 Dhammakhandha kurangnya diambil untuk menggenapi jumlah 84.000 Dhammakhandha sebagaimana yang Ânanda Thera patrikan dalam bentuk syair di atas? Dengan berkilah begitu, tidakkah seseorang berarti melakukan delik manipulasi terhadap upaya pelestarian Dhamma yang telah diemban oleh Ânanda Thera?

        Perlu ditambahkan di sini bahwa selain digolongkan dengan berdasarkan Dhammakhandha, Ajaran Sang Buddha Gotama adakalanya juga digolongkan dengan berdasarkan kelompok (Nikâya), dan faktornya. Penggolongan dengan berdasarkan Nikâya terbagi menjadi 5, yaitu: Dîgha Nikâya, Majjhima Nikâya, Samyutta Nikâya, Anguttara Nikâya dan Khuddaka Nikâya. Abhidhamma Pitaka dan Vinaya Pitaka termasuk dalam kelompok Khuddaka Nikâya, sedangkan sisanya adalah bagian dari Sutta Pitaka. Sementana itu, penggolongan dengan berdasarkan faktornya, terbagi menjadi sembilan, yaitu Sutta, Geyya, Veyyâkarana, Gâthâ, Udâna, Itivuttaka, Jâtaka, Abhutadhamma, dan Vedalla. Vinaya Pitaka termasuk dalam Sutta, sedangkan Abhidhamma Pitaka termasuk dalam Veyyâkarana. Sisanya adalah bagian dari Sutta Pitaka.

15. KILAHAN:

        Beberapa peneliti menyimpulkan bahwa Abhidhamma Pitaka disusun berdasarkan pokok-pokok Dhamma yang bertaburan dalam Sutta Pitaka. Benarkah simpulan ini? Jika tidak sesuai dengan kenyataannya, coba jelaskan dan buktikan!

ARGUMENTASI:

        Tampaknya, banyak orang yang salah mengerti terhadap Abhidhamma Pitaka. Dalam pandangan mereka, Abhidhamma Pitaka seolah-olah merupakan suatu kitab yang sejenis dengan 'Dhammapada' yang merupakan kumpulan syair yang bertaburan dalam beberapa bagian lain dalam Sutta Pitaka dan Vinaya Pitaka. Kenyataannya sesungguhnya tidaklah demikian. Metode Suttantabhâjanîya (pemilahan berdasarkan pengertian Sutta) memang dapat dijumpai pada Kitab Vibhanga. Namun, metode Suttantabhâjanîya ini agaknya khusus diperuntukkan bagi para dewa yang kebijaksanaannya tidak begitu memadai dalam memahami Abhidhamma yang sesungguhnya. Tidak di bagian mana pun dalam Sutta Pitaka dapat ditemui adanya penguraian suatu pokok Dhamma dengan menggunakan metode 'Abhidhammabhâjanîya' (pemilahan berdasarkan pengertian Abhidhamma) dan metode 'Pañhâpucchaka' (pemilahan dalam bentuk tanya-jawab). Lebih daripada itu, pokok-pokok Dhamma yang terdapat dalam Kitab Dhâtukathâ, Kitab Yâmaka dan Kitab Patthâna tidaklah pernah dapat dijumpai dalam Sutta Pitaka. Jadi, sebagaimana yang dinyatakan oleh U Narada dalam pengantar terjemahan Kitab Patthâna (Conditional Relations), pandangan bahwa Abhidhamma Pitaka disusun berdasarkan pokok-pokok Dhamma dalam Sutta Pitaka adalah suatu tafsiran-dangkal yang diujarkan oleh orang-orang yang tidak mengetahui (apalagi memahami) Abhidhamma yang sesungguhnya.

16. KILAHAN:

        Beberapa bagian Abhidhamma Pitaka memperlihatkan kemiripan dengan Patisambhidâmagga, Mahâniddesa, Cûlaniddesa, Sangîti Sutta, dan Dassutara Sutta yang dibabarkan oleh Sâriputta Thera. Adanya kemiripan ini agaknya membawa pada simpulan bahwa Abhidhamma barangkali merupakan pitutuh Sâriputta Thera (Sâvaka-bhâsita), bukan Sabda Murni Sang Buddha Gotama (Buddha-Vacana). Benarkah demikian?

ARGUMENTASI:

        Dalam Atthasâlinî, Buddhaghosa Thera menandaskan SAMMASAMBUDDHO VÂ PATHAMATARAM ABHIDHAMMIKO yang artinya ialah bahwa Sang Buddha Gotama adalah pakar/ahli Abhidhamma yang pertama. Alasan yang dikemukakan ialah bahwa pada minggu keempat setelah peraihan Pencerahan Agung, Sang Buddha Gotama menyelami hakikat Abhidhamma yang maha-luas dalam Bilik Mestika (Ratanaghâra) selama tujuh hari penuh. Tatkala Beliau merenungkan kitab Abhidhamma yang terakhir (Patthâna), terpancarlah enam cahaya (Chabbannaramsi) —nila/hijau kebiruan, pita/kuning kecoklalan, lohita/merah darah, odâta/putih keperakan, mañjettha/merah kekuningan, dan pabhassara/bening permata— dari tubuh Beliau dengan amat cemerlang.

        Sesungguhnya, tidak ada seorang pun di dunia ini —termasuk Sâriputta— yang mampu mewejangkan Abhidhamma, kecuali seorang Sammâsambuddha. Sâriputta Thera dapat memahami Abhidhamma melalui Sang Buddha Gotama. Jadi, kalau dirasa ada kemiripan antara Abhidhamma dengan Sutta-sutta yang dibabarkan oleh Sâriputta Thera; satu-satunya kemungkinan ialah bahwa beliaulah yang mencontoh Abhidhamma; bukan sebaliknya Abhidhamma dicontohkan dari beliau.

17. KILAHAN:

        Argumentasi di depan dengan teguh mempertahankan bahwa Abhidhamma benar-benar Sabda Murni Sang Buddha Gotama (Buddha Vacana); bukan pitutuh para siswa (Sâvaka-bhâsita). Bukankah sikap seperti ini berarti mengingkari ulasan yang tertulis dalam Kitab Ulasan Atthasâlini bahwa Kitab Kathâvatthu baru digubah oleh Moggalliputta Tissa Thera pada tahun 218 sesudah Kemangkatan Mutlak Sang Buddha Gotama? Berlampirkan bukti ini, tidak beralasankah jika Abhidhamma Pitaka —setidak-tidaknya Kitab Kathâvatthu—dianggap hanya sebagai Sâvaka-bhâsita; bukan Buddha-Vacana?

ARGUMENTASI:

        Sesunguhnya, kurang begitu tepat jika ditafsirkan bahwa Moggalliputta Tissa Thera yang 'menggubah' Kitab Kathâvatthu. Hal yang sebenarnya ialah bahwa pada saat selesai pewejangan Kitab Puggalapaññatti, Sang Buddha Gotama meramalkan bahwa 218 tahun setelah Kemangkatan Mutlak-Nya, akan terseruaklah berbagai pandangan sesat yang bertentangan dengan hakikat Dhamma dan Vinaya. Namun, pada waktu yang bersamaan, akan ada seorang bhikkhu sesepuh bernama Moggalliputta Tissa yang piawai dalam Dhamma dan Vinaya serta mampu menghadapi pandangan sesat tersebut. Menimbang hal yang akan terjadi ini, Sang Buddha Gotama akhirnya memutuskan untuk mewejangkan Kitab Kathâvatthu hanya dalam bentuk Induk Topik (Mâtikâ) dengan harapan agar kelak di kemudian hari Moggalliputta Tissa akan menjabarkan serta menguraikannya.

        Itu bukanlah suatu hal yang aneh. Peraturan-peraturan kedisiplinan yang terdapat dalam Vinaya Pitaka itu sendiri juga tidak akan ditetapkan oleh Sang Buddha Gotama sebelum ada 'pelanggaran'. Hanya dengan beginilah akan tertampak kesangkilan (effectivity) dan ketelakan (accuracy) peraturan-peraturan kedisiplinan tersebut. Demikian pula halnya tentang Kitab Kathâvatthu, sebelum pandangan-pandangan sesat yang bertentangan dengan Dhamma dan Vinaya terseruak, Beliau tidak akan terburu mcnanggapinya. Karena waktunya masih jauh, Beliau dalam hal ini mengembankan tugas luhur kepada Moggalliputta Tissa Thera yang dirasa memiliki kemampuan yang memadai dalam menghadapinya.

        Jadi, Moggalliputta Tissa Thera sesunguhnya kurang begitu tepat jika dikatakan telah 'menggubah' Kitab Kathâvatthu. Beliau semata-mata hanyalah menjabarkan serta menguraikan Induk Topik (Mâtikâ) yang telah diwejangkan oleh Sang Buddka Gotama. Dalam menjabarkan serta menguraikan Induk Topik tersebut, beliau tidaklah mendasarkannya pada pengetahuannya sendiri. Karena Sang Buddha Gotama sendiri yang mewejangkan Induk Topiknya, Kitab Kathâ-vatthu dinyatakan sebagai Buddha-vacana, bukan Sâvaka-bhâsita.

        Ketetapan itu bukanlah suatu hal yang aneh. Sebuah sutta berjudul Madhupindika yang termaktub dalam Majjhima Nikâya, Sutta Pitaka pun memperlihatkan ketetapan yang serupa. Dikisahkan dalam sutta tersebut bahwa pada suatu ketika, Sang Buddha Gotama membabarkan Dhamma di hadapan sekelompok bhikkhu. Namun, Dhamma yang dibabarkan-Nya ini hanya berbentuk Mâtikâ-nya saja, dan setelah itu Beliau beranjak dari tempat duduk lalu masuk ke Vihâra. Para bhikkhu yang mendengarkan pembabanan Mâtikâ tersebut berusaha menjumpai Mahâkaccayana Thera untuk menanyakan hakikat sejati yang terkandung di dalamnya. Mahâkaccayana Thera berkenan untuk menjabarkan serta menguraikannya, tetapi beliau kemudian berpesan agar diperbandingkan serta dicocokkan lagi kepada Sang Buddha Gotama sendiri. Para bhikkhu pun lalu menyampaikannya kepada Sang Buddha Gotama. Karena Beliau menyatakan kesepakatan-Nya, penjabaran dan pengunaian yang diberikan oleh Mahâkaccayana Thera dianggap sebagai Buddha-vacana bukan Savaka-bhâsita. Ketetapan ini bukan hanya berlaku pada Madhupindika Sutta, melainkan juga mencakup semua Sutta yang dijabarkan serta diuraikan oleh siswa-siswa Sang Buddha Gotama lainnya, seperti Sâriputta Thera dan Ânanda Thera.

18. KILAHAN:

        Secara historis dikatakan bahwa tidak begitu lama setelah Kemangkatan Mutlak Sang Buddha Gotama, timbullah kegiatan Skolastisisme dalam agama Buddha. Karena Abhidhamma Pitaka baru tertuliskan secara resmi pada kira-kira lima abad berselang, tidakkah beralasan jika ditafsirkan bahwa ajaran ini merupakan hasil 'perkembangan' Skolastisisme —dalam artian bukan sudah ada sejak masa kehidupan Sang Buddha Gotama?

ARGUMENTASI:

        Perlu dicamkan sebelumnya bahwa Sang Buddha Gotama adalah pendiri agama yang telah membabarkan Ajaran-Nya dengan sempurna (Svakkhâto Bhagavatâ Dhammo). Dalam Mahâparinibbâna Sutta dapat diketahui bahwa apabila Ajaran-Nya belum terbabarkan dengan sempurna dan belum mapan, seorang Sammâsambuddha tidak akan mengakhiri hidup-Nya. Karena sesungguhnya sudak sempurna, sangatlah salah jika dikatakan dapat mengalami suatu 'perkembangan'. Sesuatu yang masih bisa mengalami perkembangan berarti belum sempurna. Ajaran Sang Buddha Gotama tidak mungkin mengalami perkembangan lagi karena sejak sebelum Beliau mencapai Kemangkatan Mutlak sudah menuju puncaknya.

        Jadi menafsirkan Abhidhamma Pitaka sebagai hasil perkembangan Skolastisisme jelas merupakan suatu sikap yang 'sangat mendaifkan' kemampuan Sang Buddha Gotama, dan sebaliknya justru 'terlalu niengagungkan' kemampuan orang-orang lainnya. Dalam argumentasi di depan sudah berulang-kali ditandaskan bahwa tidak ada seorang pun di dunia ini —kecuali seorang Sammâsambudha— yang mampu mewejangkan Abhidhamma. Dalam Vinaya Pitaka, Parivâra sendiri diakui bahwa apabila seorang Sammâsambuddha tidak muncul di dunia ini, tidak ada seorang pun yang akan tahu walau hanya nama 'Sabhâva Dhamma'[16] itu saja (BUDDHACANDE ANUPPANNE, BUDDHÂDICCE ANUGGATE, TESAM SABHÂVADHAMMANAM, NÂMA-MATTAM NA NÂVATI).

[16] 'Sabhâva-dhamma' adalah suaru kebenaran berdasarkan sifat alamiahnya. Kebenaran inilah yang mendapat penekanan utama dalam Abhidhamma Pitaka.

        Dalam Sammohavinodani[17] Buddhaghosa Thera menegaskan:

AYAM ABHIDHAMMO NÂMA NA ADHUNÂ KATO, NÂPI BÂHIRAKA ISÎHI VA SÂVAKEHI VA DEVATAHI VA BHÂSITO, SABBAÑÑÛJINABHÂSITO PANA AYAM artinya, "Yang disebut Abhidhamma ini bukanlah suatu Dhamma yang digubah belum begitu lama ini, bukan pula rumusan/teori Dhamma yang di luar Agama Buddha maupun pitutuh para siswa atau para dewa. Namun, Abhidhamma ini benar-benar diwejangkan oleh Sang Buddha — Penakluk (Jina) yang Maha-tahu (Sabbaññû)".

[17] Kitab Ulasan (Atthakathâ) atas Kitab Vibhanga.

        Pada Kitab Ulasan yang lain, beliau menuliskan: ABHIDHAMMO NÂMA NA AÑÑESAM VISAYO SABBAÑÑUTTABUDDHÂNAM YEVA VISAYO TESAM VASENA DESETABBA DESANÂ yang teralihbasakan, "Disebut Abhidhamma karena bukanlah dalam kemampuan (Visaya) orang lain; melainkan hanya merupakan kemampuan Sammâsambuddha yang Maha-tahu. Berlandaskan pada kekuatan Kemaha-tahuan Sang Buddha inilah Abhidhamma diwejangkan!"

19. KILAHAN:

        Pola dan gaya kesusastraan dalam Abhidhamma Pitaka mencerminkan ungkapan-ungkapan Bahasa Pâli pada masa belakangan, setelah Sang Buddha Gotama mencapai Kemangkatan Mutlak. Misalnya, dalam banyak bagian terdapat ungkapan "YAÑCA KHO BHAGAVATÂ JÂNATÂ PASSATÂ…" yang berarti "Sang Buddha yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat..." dan ungkapan "VUTTAÑCETAM BHAGAVATÂ" yang berarti "Bukankah ini telah diwejangkan oleh Beliau?" Tidakkah semua ini merupakan ungkapan-ungkapan yang dipakai oleh para penyelenggara Muktamar (Sangîtikâcâriya)? Tidakkah ini merupakan suatu bukti nyata bahwa Abhidhamma Pitaka adalah hasil karya yang baru terampungkan setelah terselenggaranya Muktamar, bukan merupakan Sabda Murni yang sudak ada sejak zaman Sang Buddha Gotama?

ARGUMENTASI:

        Memanglah benar bahwa dalam Abhidhamma Pitaka sering terdapat ungkapan tersebut. Namun, jika hal ini dijadikan alasan untuk menyangsikan serta menolaknya sebagai Sabda Murni Sang Buddha Gotama, sebagai konsekuensinya Vinaya Pitaka dan Sutta Pitaka semestinya juga tidak dianggap sebagai Sabda Murni Sang Buddha Gotama. Mengapa barus demikian? Hampir seluruh pokok Dhamma yang termaktub dalam Vinaya Pitaka dan Sutta Pitaka didengar dan dihafal oleh para siswa (Sâvaka) secara temurun, dan pada akhirnya ditulis dalam bentuk kitab. Sang Buddha Gotama tidak menulisnya sendiri. Dalam Sutta Pitaka pun sering terdapat ungkapan "EVAMME SUTAM, EKAM SAMAYAM BHAGAVÂ ..." yang artinya "Demikianlah yang Saya dengar, Pada suatu ketika Sang Buddha ..." Sementara itu, dalam Vinaya Pitaka banyak terdapat ungkapan "TENA KHO PANA SAMAYENA BHAGAVATÂ ..." yang berarti “"Pada masa itulah Sang Buddha ..." Bukankah semua ini juga jelas merupakan ungkapan para penyelenggara Muktamar? Lalu, apakah Sutta Pitaka dan Vinaya Pitaka bukan Sabda Murni Sang Buddha Gotama? Sesungguhnya, baik Sutta Pitaka, Vinaya Pitaka maupun Abhidhamma Pitaka, ketiganya adalah himpunan Sabda Murni Sang Buddha Gotama. Ungkapan para penyelenggara Muktamar tersebut hanyalah berfungsi sebagai prawacana (prologue). Jadi bagian terpenting yang perlu dikaji untuk membuktikannya sebagai Sabda Murni Sang Buddha Gotama adalah isi serta makna yang terkandung di dalamnya[18].

[18] Telaahan yang senada juga berlaku bagi kilahan yang sebaliknya mengatakan bahwa Abhidhamma Pitaka tidak dapat diakui sebagai Sabda Murni Sang Buddha karena di situ tidak terdapat ungkapan "EKAM SAMAYAM BHAGAVÂ..." Tanggapan yang diberikan oleh Buddhaghosa Thera ialah: "Kalau begitu, Jâtaka, Suttanipâta dan Dhammapada —yang tak memiliki ungkapan seperti itu— tentunya juga bukan sabda Murni Sang Buddha Gotama?"

 

20. KILAHAN:

        Beberapa mazhab/sekte dalam agama Buddha —mazhab Sautrântika dan Mahâsangika[19] (cikal bakal Mahâyâna), salah dua contohnya— dengan tegas menolak Abhidhamma Pitaka (Pâli) sebagai Buddha-Vacana. Mengapa Theravada dalam hal ini mengakuinya sebagai Sabda Murni Sang Buddha Gotama?

[19] Selain menolak Abhidhamma Pitaka, mazhab Mahâsangika juga menolak Patisambhidâmagga, Niddesa dan beberapa Jâtaka.

 

ARGUMENTASI:

        Sesungguhnya, pandangan suatu mazhab 'tertentu' tidak selamanya dapat dijunjung sebagai 'hakim adikuasa' untuk mengadili ajaran yang dianut oleh mazhab lainnya. Sudah merupakan kenyataan yang wajar apabila di antara mazhab-mazhab terdapat pandangan yang 'tidak selaras' (kalau risih disebut 'bertentangan') satu dengan lainnya. Jika sejak semula dan hingga kini senantiasa terbina adanya 'keseragaman' pandangan, tidak akan pernah ada catatan sejarah yang bergoreskan peristiwa terseruaknya pelbagai mazhab. Pada dasarnya, terseruaknya suatu mazhab selalu bercorakkan adanya kelompok yang tidak mampu melaksanakan atau tidak bisa memahami suatu peraturan kedisi-plinan atau Ajaran, dan selanjutnya berusaha untuk 'menghapus' atau 'menghilangkan'-nya. Tetapi, di pihak lain ada kelompok yang berusaha untuk tetap mempertahankannya.

        Salah satu contoh, beberapa waktu setelah Kemangkatan Mutlak Sang Buddha Gotama, ada sekelompok bhikkhu (Vajjiputtaka) yang tidak mampu melaksanakan 10 peraturan kedisiplinan —di antaranya ialah larangan untuk makan selewat tengah hari— yang telah ditetapkan oleh Sang Buddha Gotama, dan kemudian berusaha untuk menghapusnya. Selanjutnya mereka memisahkan diri dan mendirikan mazhab yang baru. Tetapi, di pihak lain —dalam hal ini Theravâda— tetap bertaat-asas pada segala peraturan kedisiplinan yang telah ditetapkan oleh Sang Buddha Gotama, dan berusaha sedapat mungkin untuk melestarikannya. Di sini terlihatlah bahwa peraturan kedisiplinan yang benar-benar telah ditetapkan oleh Sang Buddha Gotama dihapus dengan seenaknya saja oleh mazhab Vajjiputtaka, dan lambat laun tentunya tidak diakui lagi sebagai Vinaya yang ditetapkan oleh Sang Buddha Gotama. Yang perlu direnungkan sekarang ialah bahwa apakah karena mereka tidak mengakuinya lagi, lalu Theravâda harus 'ikut-ikutan'? Tentunya tidak, bukan?

        Contoh lain, telah berulang kali Sang Buddha Gotama menjelaskan bahwa Beliau semata-mata hanyalah sebagai Penunjuk Jalan. Untuk meraih Pembebasan Sejati, setiap makhluk haruslah berjuang dengan kemampuan sendiri. Dengan ungkapan yang bermakna sama, Beliau juga bersabda: "Diri sendiri sesungguhnya adalah pelindung bagi diri sendiri. Siapa pula yang dapat menjadi pelindung selain diri sendiri?" Tampaknya, ajaran ini sukar diterima oleh sebagian besar umat manusia. Penderitaan yang menghujam bertubi-tubi dan tak kunjung berhenti membuat mereka cepat putus asa dalam berjuang dengan hanya mengandalkan kemampuan sendiri. Selanjutnya mereka membutuhkan serta menantikan sesuatu yang Adikodrati yang dapat memberikan bantuan. Untuk memenuhi tuntutan yang tak wajar ini, ada kelompok umat Budha berusaha mengorbitkan beberapa 'Tokoh Fiktif' yang digambarkan sebagai 'Juru Selamat' yang dapat membebaskan makhluk hidup dan penderitaan. Pengorbitan tokoh-tokoh fiktif semacam ini secana langsung maupun tak langsung 'melorotkan' nilai serta makna Sabda Murni Sang Buddha Gotama sebagaimana tersebut di atas.

        Demikian pula halnya dengan masalah Abhidhamma. Bukan karena Sautrântika dan Mahâsangika menolaknya sebagai Sabda Murni Sang Buddha, lalu Theravâda harus 'ikut-ikutan' tidak mengakuinya. Perlu disadari bahwa dengan 'mengumbar' tindakan semacam itu, Ajaran Sang Buddha Gotama, tak ayal lagi, pada suatu saat nanti tak akan tersisa lagi. Para pengulas meramalkan bahwa tidak lebih dari 5.000 tahun setelah Kemangkatan Mutlak Sang Buddha Gotama, Ajaran Agama Buddha akan mengalami kepunahan. Kepunahan ini akan beranjak dari Abhidhamma Pitaka mulai Kitab Patthâna menuju Kitab Dhammasanganî— hingga Sutta Pitaka, dan pada akhirnya ialah Vinaya Pitaka. Karena itu, kalau umat Buddha sampai menolak Abhidhamma Pitaka sebagai Sabda Murni Sang Buddha Gotama, tindakan ini tak pelak lagi akan mempercepat proses kepunahan tersebut. Sebaliknya, umat Buddha yang mengakui Abhidhamma Pitaka sebagai Sabda Murni Sang Buddha Gotama, secara langsung maupun tak langsung berarti ikut berperan dalam upaya pelestarian Agama Buddha. Kelestarian Agama Buddha adalah segi yang paling penting bagi kehidupan umat manusia. Punahnya Agama Buddha juga berarti hilangnya kesempatan bagi mereka untuk dapat menatap kebenaran sejati. Dan selanjutnya mereka akan terluntang-lantung dalam kepekatan pandangan sesat.

* * *

        Dari seluruh rangkaian tanya-jawab di atas dapatlah ditarik satu simpulan akhir bahwa alasan yang dikilahkan oleh pihak yang menyangsikan serta menolak Abhidhamma sesungguhnya hanya merupakan suatu dalih yang tidak berlandaskan pada kenyataan yang ada. Pengamatan secara saksama akan memperlihatkan bahwa secara garis besarnya ada tiga sebab yang membuat seorang umat Buddha sampai mempunyai praanggapan bahwa Abhidhamma Pitaka bukanlah Sabda Murni Sang Buddha Gotama. Tiga sebab itu ialah:

1. Tidak tahu, tidak mengerti, tidak memahami hakikat Abhidhamma, dan gampang terpengaruhi oleh dalih mereka yang oleh umum dinilai sebagai 'orang terpelajar' (scholar), 'orang terpandang', dan 'orang keagamaan '(bhikkhu, satu misal), sehingga akhirnya 'ikut-ikutan' menyangsikan serta menolak Abhidhamma;
2. Kurang jeli, bersikap a priori, kurang ilmiah dalam mengkaji Abhidhamma, dan terlalu mengumbar gagasan dan penafsiran pribadi dengan mengesampingkan kenyataan yang ada, sehingga akhirnya 'salah menyimpulkan' bahwa Abhidhamma adalah hasil perkembangan pada masa belakangan;
3. Menyadari bahwa beberapa pokok Ajaran dalam Abhidhamma Pitaka bertolak-belakang dengan pandangannya atas sesuatu yang telah mendarah-daging dipercayai sebagai kebenaran, sehingga akhirnya tega 'mengorbankan' Abhidhamma dengan dakwaan bukan sebagai Sabda Murni Sang Buddha Gotama.

        Ada contoh masing-masing atas kenyataan yang berhubungan dengan tiga sebab di atas. Contoh pertama ialah murid-murid Bhikkhu Buddhadâsa. Karena mereka menilai Bhikkhu Buddhadâsa sebagai seorang bhikkhu senior yang terpelajar, terpandang, dan banyak pengetahuannya tentang Agama Buddha; mereka hanya 'anut biyung' saja terhadap segala pandangan yang dikemukakannya. Padahal, banyak pandangannya yang 'aneh', dan jelas sangat bertentangan dengan Ajaran Murni Sang Buddha Gotama. Loyalitas yang membuta terhadap seorang 'figur pujaan' ini secara tragis menenggelamkan akal budi mereka sendiri[20]. Menyadari bahaya yang mengenaskan semacam inilah, Sang Buddha Gotama berulang-kali mengingatkan umat-Nya agar tidak gampang menaruh keyakinan pada pribadi tertentu. Alih-alih bersikap yang riskan ini, umat Buddha hendaknya membina keyakinan yang benar terhadap Dhamma dan Vinaya yang telah dibabarkan dengan sempurna.

[20] 'Paramattha' ini tidak hanya mencakup Nibbâna semata, melainkan juga kesadaran (Citta), corak batiniah (Cetasaka) dan rûpa (Rûpa). Karena itu, agaknya tidak mengena jika istilah tersebut dialihbasakan oleh Ir. Hudaya Kandahjaya, B.Sc. sebagai 'Realitas Terakhir'. Usaha penerjemahan kiranya kurang begitu sempurna apabila digarap hanya dengan bermodalkan pengetahuan kebahasaan semata, tanpa pengertian yang benar dan luas tentang Abhidhamma.

        Contoh kedua ialah David J. Kalupahana. Sebagai seorang dosen kawakan, haruslah diakui secara jujur bahwa ia tentunya bukan 'awam' lagi tentang filsafat Buddhis. Namun, sebagaimana yang tertampak dalam karyanya yang berjudul 'Buddhist Philosophy', dalam beberapa hal ia tampaknya terlalu mengumbar gagasan serta tafsinan pribadi atas suatu hal yang sesungguhnya belum diketahui dengan pasti. Dalam Bab Skolastisisme: Theravâda, Sarvâstivâda dan Sautrântika, misalnya, ia menuliskan, "Namun, menurut Abhidhamma, perbedaan antara sesuatu (dhamma) dan sifatnya (lakkhana) —kendati tidak benar-benar ada—, sangatlah perlu untuk kepentingan pendefinisian atau penentuan (kappanâ). (Ini tentu saja, dengan melupakan kenyataan bahwa Abhidhamma merupakan pemaparan tentang Hakikat Mutlak (Paramattha)[21], bukan pemaparan tentang kebenaran biasa (Vohâra)!) Analisis semacam inilah yang membuka jalan bagi munculnya teori 'hakikat alamiah' (sabhâva, Sk. svabhâva) pada masa Theravâda pasca-Buddhaghosa maupun Sarvâstivâda". Gagasan serta penafsinan pribadi ini tentunya dikemukakan oleh David J. Kalupahana dengan mengesampingkan kenyataan bahwa ajaran tentang "Sabhâva" sesungguhnya sudah ada sejak masa kehidupan Sang Buddha Gotama. Bukti tentang kenyataan ini dapat ditelusuri dalam Kitab Parivâra, Vinaya Pitaka —sebagaimana yang telah disitirkan dalam ARGUMENTASI nomor 18.

[21] Bhikkhu itu juga mengatakan bahwa kehidupan mendatang itu tidak ada, tidak ada pula Alam Surga maupun Alam Neraka, tidak ada makhluk yang terlahirkan secara spontan (Opapâtika), Dalil Kamma (Kamma-niyâma) itu bukan Ajaran Sang Buddha.

        Contoh ketiga ialah Bhikkhu Buddhadâsa. Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, ia adalah seorang bhikkhu yang sering mengorbitkan pandangan yang aneh. Salah satu pandangannya yang aneh ialah tentang 'pikiran/kesadaran yang kosong'[22]. Jelasnya, ia senantiasa mengajarkan murid-muridnya untuk melatih meditasi dengan “'mengosongkan pikiran/kesadaran' —dalam artian tidak berpikir apa pun juga. Jika dikaji berdasarkan Abhidhamma, akan tertampaklah dengan jelas bahwa praktek semacam ini sangat salah dan menyimpang. Sudah merupakan sifat alamiah pikinan/kesadanan untuk 'berpikir'. Tidak pernah ada satu saat pun bagi pikinan/kesadaran untuk 'tidak berpikir'. Juga, sifat alamiah lain pikiran ialah cenderung rnenuju objek (Ârammana).

[22] Apabila ia orang yang mempunyai cacat bawaan (sejak lahir), Patisandhi-citta yang dirujuk di sini ialah Upekkâsantirana-citta (kesadaran yang mengamati salah satu dari lima objek yang baik, yang timbul disertai dengan ketak-acuhan). Sedangkan kalau tidak cacat ialah salah satu dari delapan Mahâvipâka-citta (kesadaran-akibat yang bajik).

        Dengan perkataan lain, setiap pikiran/kesadaran yang timbul pasti memiliki objek. Bahkan, dalam keadaan tidur lelap (tidak bermimpi) pun, suatu objek pasti ada bagi kesadaran yang bertugas memelihara kehidupan (Bhavangakicca), yaitu 'objek lama' yang sama dengan objek dari kesadaran yang bertumimbal lahir (Patisandhi-citta). Apalagi dalam keadaan sedang bermeditasi, suatu objek pasti ada bagi kesadaran yang timbul pada saat itu. Meditasi pengembangan ketenangan (Samattha-bhâvanâ) memiliki ketetapan (Paññatti) sebagai objek, sedangkan meditasi pengembangan pandangan terang (Vipassanâ-bhâvanâ) memiliki hakikat mutlak (Paramattha) sebagai objek. Jadi, meditasi dalam Agama Buddha sama sekali bukan 'mengosongkan pikiran/kesadaran' —dalam artian tidak berpikir tentang sesuatu (objek). Meditasi adalah pengarahan pikiran/kesadaran pada objek dengan tepat benar (Yonisomanasikâra). Tampaknya, Bhikkhu Buddhadâsa menyadari bahwa pandangannya itu sangatlah bertentangan dengan pengertian Abhidhamma. Demi melindungi serta mempertahankan pandangannya ini, ia akhirnya tega 'mengorbankan' Abhidhamma dengan dakwaan bukan sebagai Sabda Murni Sang Budha Gotama.

        Secara sepintas lalu, kesahihan dan keabsahan Abhidhamma Pitaka sebagai Sabda Murni Sang Buddha Gotama sekarang seolah-olah hanya tertinggal pada masalah mau percaya atau tidak; dalam artian percaya yah silakan, tidak percaya yah tidak apa-apa. Apakah kenyataannya memang hanya sesepele ini? Tentunya tidak. Sikap menyangsikan —apalagi menolak— Abhidhanima Pitaka niscaya akan menimbulkan dampak yang fatal bagi kehidupan seseorang. Dalam Kitab Ulasan Atthasâlinî, Buddhaghosa Thera mengingatkan bahwa seseorang yang menolak Abhidhamma secara langsung maupun taklangsung berarti menghancurkan Ajaran/Roda Penaklukan (Jinacakka), tidak mengakui Kemaha-tahuan (Sabbaññûta-Ñâna), mendaifkan Pengetahuan Empiris (Vesarajja-Ñâna) Sang Buddha Gotama, dan menyebabkan timbulnya perpilahan dalam Agama Buddha serta menghalangi mereka yang ingin mengetahui Kebenaran Mutlak. Dengan bersikap demikian, ia secara disadari maupun tak disadari menciptakan kendala (obstacle) bagi penembusan Empat Kesunyataan Mulia (Cattâri Ariya Saccani), peraihan Jalan (Magga), Pahala (Phala), dan Pembebasan Sejati (Nibbâna)


Tidak ada seorang pun di dunia ini —betapapun piawai dan betapapun jeniusnya– mampu mewejangkan Abhidhamma, kecuali seorang Sammâsambuddha.

PUSTAKA ACUAN

Bodhinanda, Sthien. Sejarah Agama Buddha. Universitas Sangha Mahâmakutrâjavidyâlay, Bangkok. 2520 PB.[*]

Borihâravanakhetta, Sucinta. Paramatthasankhepa, Ringkasan Hakikat Mutlak. Yayasan Pendidikan dan Pembabaran Agama Buddha, Bangkok, 2530 PB.[*]

Buddhaghosa, Thera. Kitab Atthasâlinî, Mahâmakutrâjavidyâlay, Bangkok. 2527 PB.[*]

Buddhaghosa, Thera. Kitab Atthakathâ, Mahâmakutrâjavidyâlay, Bangkok. 2527.PB.[*]

Guttajayo, Phra Visuddhi. Buku Pegangan Kurikulum Pelajaran Abhidhamma Tingkat Dasar I. Yayasan Saddhamrnajotikâ, Bangkok. 2530 PB.[*]

Jañapaññâkicca, Phra. Abhidhamma adalah Sabda Sang Buddha. Yayasan Abhidhamma, Wat Phra Jetubonvimâlamaõgalârâma, Bangkok. 2504 PB (.)

Kaharuddin, Pandit J. dan Widya, Dharma K. Pengantar Abhidhamma. Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, Jakarta. 1987.

Kalupahana, David J. Buddhist Philosophy A Historical Analysis. The University of Hawaii, Hawaii. 1976.

Ledi, Sayadaw. The Manuals of Buddhism. Mahâmakut Press, Bangkok. 2521 PB.

Malalasekera, G.P. Encyclopaedia of Buddhism. Fascicule: A-Aca. The Government of Ceylon, Ceylon. 1962.

Narada, Bhikkhu. A Manual of Abhidhamma, (Abhidhammattha-saõgaha). Yayasan Dhammadîpa Ârâma, Jakarta. 1979.

Wejangan Tujuh Kitab Abhidhamma. Citta-bhâvanâ Mahâvidyâlay, Bangkok. 2517 PB.[*]

Nyânaponika, Thera. Abhidhamma Studies, Researches in Buddhist Psychology. The Buddhist Publication Society, Kandy, Ceylon. 1985.

Payutto, Phrayudha. Dictionary of Buddhism. Mahâculâlankara Râjavidyâlay. Bangkok. 2528 PB.

Puññânubhâva, Sujîva. Ikhtisar Tipitaka (Pâli). Mahâmakutrâjavidyâlay, Bangkok. 2528 PB.[*]

Saddhammajotikâ, Phra. Paramatthajotikâ Bab 1-2-6. Wat Ra’ghang Gositârâma, Bangkok. 2526 PB.[*]

Samvarasamâdhivatta, Phragru. Abhidhamma adalah Sabda Murni Sang Buddha. Abhidhammajotikâ Vidyâlay, Bangkok. 2524 PB.[*]

Srivisuddhikavî, Phra. Psikologi Abhidhamma. Universitas Sangha Mahâmakutrâjavidyâlay, Bangkok. 2528 PB.[*]

Vajirañânavarorasa, Somdec Phra. Sangiti-kathâ. Mahâmakutrâjavidyâlay, Bangkok. 2527 PB.[*]

Yubodhi, Thanit. Kitab Abhidhamma. Bangkok. 2527 PB.[*]

Yubodhi, Thanit. Wejangan Abhidhamma di Tâvatimsa. Bangkok. 2526 PB.[*]

[*] Buku-buku yang tertulis dalam Bahasa Thai.

***


Sumber:

KUMPULAN KARYA TULIS JAN SANJIVAPUTTA; Jan Sanjivaputta; Theravada.net